Dinastika

16 1 2
                                    

Puisi itu sengaja kuciptakan. Karena setiap masa tidak akan terulang momen yang sama. Puisi itu berjudul "MIMPI" karena realitanya aku hanya bisa mengagumi tanpa memiliki. Mungkin ini masih terlalu awal, tapi seorang Tomi tidak akan mudah menyerah dalam mengejar cintanya. Terkadang aku heran dengan sosok manusia yang dapat merangkul banyak perempuan. Bisa-bisanya ia mendapatkan tanpa memikirkan beban. Istilahnya, manusia punya dua tangan. Jika diminta untuk mengangkat sebah meja, pasti ia akan menggunakan kedua tangannya untuk mengangkat meja itu. Sedangkan di sisi lain, ia hanya punya satu hati, tapi kenapa ia begitu berani untuk menampung banyak hati. Tanpa memikirkan seberat apa beban yang akan ia rasakan.

Senja larut begitu cepat. Bergegas pulang lekas menelepon seseorang. Dengan ragu bercampur nafsu "Haruskah aku meneleponnya?" Berbagai pertanyaan muncul dalam benak. Mencoba menjawab, namun ego terus menggiring untuk membuat handphone seseorang berdering. 

"Halo, selamat malam. Dengan Dinastika Rahayu keluarga Bapak Asmat. Ada yang bisa saya bantu?" lontar Dinda.

"Oh, Dinastika namanya. Nama yang sangat bagus." ucapku dalam hati. "Gaya-gayaan lo pake selamat malam segala hehe." jawabku

"..."

Ia mematikan teleponnya. Sepertinya sikapku terlalu sok akrab untuk orang yang berangan dekat dengannya. Kucoba mengulang, berkali-kali dering diabaikan. Mungkin lebih-lebih notifikasi dimatikan. Enyahlah kesempatanku malam itu. Ini adalah kegagalan pertama. Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda dan menyerah bukanlah sebuah pilihan. Jadi, tidak ada kata menyerah untuk mengulang sebuah kegagalan untuk mencapai hasil yang membahagiakan.

Setelah malam kelam berlalu, pagi yang baru telah datang. Menyambut kesedihan yang terlukis pada wajah yang biasa berseri. Berusaha bermuram, namun sikap serta sifat tidak bisa diajak kompromi. Menampakkan wajah yang penuh senyuman disertai sedikit tawa. Menikmati hari yang indah dengan menghembuskan nafas bebas yang datang dari dada. Tak lama kemudian bidadari masuk kelas dengan aura yang memikat serta rambut yang terurai. Memandangnya adalah sebuah nikmat yang setiap hari dapat kurasakan.

Pandangan ini tidak terlepas darinya. Sampai Rafa memperhatikanku, mengeluarkan buku dari tas dan membantingnya ke atas meja dengan kekuatan penuh sehingga menimbulkan suara ledakan mengacaukan pandangan.

"Derrrrrrrr!" suara buku terbanting.

"Astagfirullah, wei caplin, ngagetin aja lu" bentakku kesal.

Dengan respon dan wajah yang terkejut , Rafa menertawakanku hingga terbahak.

"Hahaha... Ngeliatin Dina lo yaa? sahabat gue. Cantik kan dia? Jangan bilang kalo lu suka sama dia? hahaha" ucapnya "Tapi dari cara natap lo udah keliatan si kalo lu suka sama Dina haha" lanjutnya.

"Yeh apaan si lo, udahlah belajar aja, udah bel tuh" jawabku.

Suara bel mengakhiri kecerewetan Rafa. Kami mengawali hari dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Pelajaran yang sangat kuminati karena aku merasa bahwa disinilah kemampuanku berada. Saat pelajaran berlangsung, tatapanku tetap saja mengarah kepada Dinastika Rahayu. Perempuan yang mampu membuatku terpesona dalam waktu yang singkat. Seringkali aku ditegur oleh guru karena ia berprasangka bahwa aku sedang bengong. Namun aku tetap saja melakukannya setiap kali ada peluang datang. Di tengah tatapan, Pak Bimo menyebut namaku dan memintaku untuk maju ke depan. 

"Disini sudah ada Tomi dan ia akan mencontohkan permainan kali ini. Permainannya tidak sulit. Cukup menggunakan ingatan dan kemampuan menghafal. Tomi cukup mengucapkan 'Kepala digaruk, kelapa diparut' dengan kecepatan yang maksimal. Silahkan kamu coba." terang Pak Bimo.

"Kepala diparut, kelapa digaruk ehh, kepala digaruk kelapa di perut, aduhhh. Kepala di perut, kelapa di urut." ucapku dengan cepat.

Satu kelas menertawakanku dan aku juga ikut tertawa bersama. Permainannya diteruskan sedangkan aku tidak diperbolehkan duduk karena sebelumnya tidak bisa menyebutkan dengan kata-kata yang benar. Selanjutnya Pak Bimo memanggil empat orang untuk manju bermain bersama.

SANDIWARA PAMUNGKASWhere stories live. Discover now