3

4.3K 1.2K 205
                                    

Sebagian memori Minho menghilang ketika dia menyadari bahwa ia sudah bukan manusia lagi. Ia melupakan minggu-minggu terakhir semasa hidupnya. Ia tidak tau apa yang terjadi, bagaimana ia mati, mengapa Hyunjin hidup penuh kebencian dan mengapa Felix masuk penjara sebagai pembunuh. Yang Minho ingat hanyalah hal-hal yang menyenangkan saja. Jadi, saat ini ia tak lebih dari sekedar arwah penasaran yang memiliki berjuta pertanyaan di dalam otaknya.

Minho tidak tau harus sampai kapan dia tinggal di tempat di mana tidak seharusnya ia tinggali lagi. Dunia ini bukan tempatnya. Tapi entah kenapa selalu ada sesuatu yang menahannya untuk pergi.

Ia berjalan lunglai menyusuri pertokoan serta rumah-rumah penduduk yang kian berubah setiap pergantian waktu. Ia bisa melihat bayangan bagaimana dulu dia berlari di sepanjang kompleks sambil menjilat eskrim yang mulai mencair di kepalan tangannya. Mengatakan pada penjual eskrim bahwa Hyunjin atau Felix lah yang akan membayar bagiannya—sementara ia kabur begitu saja tanpa mengindahkan protes Hyunjin dan Felix dibelakang sana.

Minho tersenyum mengingatnya.

Lagi-lagi, presensi Hyunjin menampakkan diri dari ujung jalan. Masih dengan tubuh sempoyongan pertanda bahwa ia sedang mabuk berat. Minho tau, Hyunjin selalu lewat sini karena rumah sewanya berada beberapa meter saja dari gedung club tari. Tapi kali ini Hyunjin tidak datang dari arah tempat bekerja. Artinya, ia dari rumah.

"Kenapa kau keluar jam segini?" Tanya Minho sambil menyesuaikan langkahnya dengan Hyunjin. "Kau tidak bisa tidur?"

Minho lebih dari tau, bahwa pertanyaan itu tak akan berbalik arah. Ia hanya akan merasakan kesepian ntah sampai kapan. Ini sudah enam tahun Minho melalui sekian hari tanpa digubris. Tak ada yang menjawab kalimatnya sebanyak apapun ia berbicara. Dan fakta tersebut tak lebih baik dari masalah-masalah yang ia alami semasa hidupnya.

Berkeliaran di dunia sebagai hantu itu sangat menyengsarakan.

Lagi-lagi Hyunjin berdiri di depan gedung tari sambil mendongakkan kepalanya keatas. Semilir angin malam yang menusuk hingga ketulang sama sekali tak ia hiraukan. Baju kaos tipis itu berkibar bersamaan dengan Hyunjin memejamkan mata. Hyunjin membayangkan seseorang memanggilnya dari atas sana. Memukul pagar besi dengan tongkat kayu sampai terdengar irama monoton yang sudah Hyunjin hapal di luar kepala.

Untuk saat ini, Hyunjin hanya bisa membayangkan. Orang bilang, kenangan manis sekalipun tetap akan jadi menyakitkan di masa depan karena tak akan pernah terulang. Tapi Hyunjin tak keberatan dibuat sakit dengan memori masa lalunya itu. Setidaknya kini ia tau, ia pernah merasakan benar-benar hidup dan bahagia.

"Hyung."

Minho tersentak kala suara sayup itu mengudara dari bibir Hyunjin. Seakan-akan Hyunjin sedang memanggilnya sama seperti yang dulu sering ia lakukan.

"Kenapa kalian melakukan ini padaku?" Kelopak matanya terbuka. Tapi kepalanya masih mendongak ke atas. Tepat atap gedung yang hanya bisa terlihat pagarnya saja. "Aku tidak masalah mentraktir kalian eskrim setiap hari. Aku tidak masalah mendengar umpatan tetangga setiap hari. Aku juga tidak akan protes kalau kau mengajakku ribut setiap hari. Aku akan tidur tepat waktu seperti yang diminta Felix."

Minho memandang manik Hyunjin yang semakin lama semakin redup—meski tau Hyunjin tak akan membalas tatapnya. Kesunyian adalah saksi betapa mencekutnya perasaan kedua pemuda yang berdiri berjejer satu sama lain ini. Suara-suara malam redam dan kebas dihimpit oleh luka masing-masing.

"Sebenarnya apa yang aku dan Felix lakukan padamu?" Tanya Minho penuh arti.

Minho ingin mengumpat dalam banyak bahasa. Dia menyesal sudah mati dan melupakan semuanya. Tapi pertanyaannya adalah, apakah Minho akan tetap menyesal jika tau mengapa ia mati?

when the sky feels close [✓]Where stories live. Discover now