Part 2: Tak Pernah Terlihat

2 0 0
                                    


Untuk pertama kalinya Gilang berangkat sekolah pagi sekali pukul 06:00 wib. Hanya 10 menit untuk sampai di sekolah dengan berjalan kaki.

Pesan singkat dari dua temannya ia baru baca di sekolah.

AryaPesek: lang! Bangun, Bu Fuji udah nungguin noh.. Wkwkw. Cie nge-date.

CandraCieUnyuAhay: GILANG!!! Lu udah berangkat lomzz xi, gua lagi ngeden bentar! Tunggu hoyyy, ya Lang! Plisss...

Entahlah! Gilang mau balas apa yang pasti dia menutup smartphone dan melangkah ke gedung kelas. Dengan mulut yang masih mengunyah permen mint yang dia dapat dari tas sekolah Nika. Gilang menebarkan pandangan ke penjuru sekolah. Mencari sesosok guru yang menghukum dirinya. Jika bukan karena ancaman nilai matematika yang tidak bisa dibantu Gilang malas membersihkan kelas.

"Katanya mau ngawasin. Mana?! Gak ada tuh, ngibul nih guru ... mending kantin ah," katanya sembari berlalu.

Baru dua-tiga langkah, seseorang di belakang memanggil.

"Gilang! Sini kamu," seru sesosok wanita setengah abad bertubuh tambun mengenakan kacamata yang paling ditakuti oleh seluruh warga sekolah bahkan menurrut Gilang para angkatan yang sudah lulus masih menyimpan kengeringan yang tertinggal akibat trauma. Ya,  bisa saja begitu dilihat dari tidak adanya kunjungan silahtuhrahmi pada Bu Fuji tersebut dari anak-anak alumni.

"Kirain gak bakal dateng, Bu."

"Kalo saya gak dateng kamu gak bakal piket, gitu?" balas Bu Fuji.

"Ya, ketebak deh! Hehe."

Bu Fuji melototi Gilang. Dengan cepat Gilang berlari mengambil sapu ke pojok ruang kelas.

Selesai mengangkat bangku ke atas meja dan menyapu kelas, pria dengan tinggi 173cm itu bergegas mengambil air untuk mengepel. Namun, sejak pagi ia datang mengapa teman-teman satu kelasnya belum ada yang datang? Apa mereka yang piket di hari Senin ini mengambil kesempatan atas hukuman yang Gilang jalani?! Oh tidak, kejam sekali mereka.

"Awas lo pada ya bocah! Ilang aja tuh semua pulpen jangan salahin gue," gumamnya.

"Jangan kesel! Ibu yang kasih tahu kamu tugas piket sendiri," ujar Bu Fuji santai di hadapan Gilang. Seakan mengerti anak muridnya dalam keadaan kebingungan.

"APAAAAAAA?! IBU FUJI JAHADDDDD!!!"

Ini adalah dunia drama Gilang. Harap maklum.

Langkah menuju sumber air bagi seluruh kelas XI IPS terasa sangat jauh kali ini menurut Gilang. Mungkin ini cobaan paling berat dalam hidup seorang cowok jahil. Dan kenyataan pedih selanjutnya adalah setelah sampai di tempat Gilang kembali diuji, keran air telah diputar ke arah kanan. Namun, tidak ada satu tetes air pun yang keluar.

"Apa jangan-jangan air gak keluar juga kerjaan Bu Fuji? Wah! Sadis ini mah hukumannya. Ish, tak menyaka daku ia berbuat cem mertua jahanam di tv ikan berenang, eh terbang ogeb!!!!" Gilang kembali berdrama sesukanya.

Ya, akhirnya Gilang memutuskan mengambil air untuk mengepel di toilet putri. Tentu ada alasannya, di toilet putra Gilang jelas tidak kuat menahan bau pesingnya jika di pagi hari begini, tapi di toilet putri itu tidak terlalu berbau. Mungkin saja semua pengunjungnya tidak jorok. Uh! Gilang berandai-andai ala kadarnya ingin pipis di toilet putri saja barang sekali sehari saja, jika diizinkan.

"Woy lo lagi ngapain sih! masuk-masuk toilet cewek lagi, gay lu ya?" ucap salah seorang siswi yang menghadang Gilang keluar dari toilet putri.

"Lo gak liat gua bawa ember! Ngisi aer buat nyiram kembang ini."

"Halah! Palingan buat ngerjain yang lagi ultah. Airnya nanti dicampur terigu, telor, air comberan, 'kan?! Hayo ngaku lo," ucapnya lagi berang.

"Idih, galaknya nih cewek. Siapa sih lu?" tanya Gilang kesal.

"Wakil ketua osis!"

"Oh, gitu. Dah ah, gue mau balik dulu, bye cewek galak wakil ketua osis." Gilang berlalu sambil menenteng setengah ember air.

Sekolah mulai ramai, banyak yang sibuk piket cepat-cepat. Mata Gilang terbelalak saat sumber air yang tadi ia putar menyala. Ya Tuhan, Gilang berdecak bising. Lalu, menghampiri beberapa orang yang sedang mengambil air.

"Woy! Sono lu pada, ambil air di toilet putri kek putra kek ah bodo. Yang penting jangan di sini!!! seru ketua Gabojil yang jengkel setengah mati itu.

"Apaan sih lo Gilang, ganggu orang mau piket. Bentar lagi mau upacara nih ...."

"Bodo amat ah! Bubar lu semua," ucap Gilang lagi lalu mematikan keran air.

"Huh!" sorakan dari para teman-temannya dianggap kemenangan bagi Gilang. Karena mereka memilih mengambil air di toilet putri.

Gilang lekas kembali ke kelas, tapi tiba-tiba tanpa disengaja ia menabrak seseorang yang sedang berjalan cepat atau mungkin dia sebenarnya yang tertabrak.

Tanpa menoleh ke arah Gilang, si perempuan mengibas roknya yang basah.

"Maaf, Neng! Gak sengaja."

Perempuan itu berlalu meninggalkan Gilang yang sedikit cengo karena baru pertama kali melihatnya. Arahnya berjalan menuju kelas Gilang, dan tanpa basa-basi kaki Gilang berlari mengejar perempuan itu.

°°°°

Wajahnya tanpa gairah. Mata indah bak permata itu terlihat hampa. Mengapa? Ah barang kali dia masih mengantuk. Namun, pikiran Gilang mulai berkelana. Sejak kapan dia ada di kelas dirinya?

Saat sesudah upacara, Gilang bertanya pada kedua sahabatnya.

"Lo kenal dia?!"

"Siapa?" Gilang menujuk dengan dagu ke arah siswi yang membuatnya merasa bersalah. Sejak kapan cowok tengil seperti ketua gabojil merasa bersalah? Apa hanya karena yang dia tabrak itu cantik? Ah Gilang terpesona rupanya. Alasan dia terlalu konyol jika merasa bersalah, selama ini dia baik-baik saja ketika sengaja berbuat hal yang sama (read:menabrak) seseorang bahkan pernah ia melakukan hal itu pada Bu Fuji. Selonong boynya langsung dihadiahi lemparan penggaris panjang dari kayu yang selalu Bu Fuji bawa-bawa ketika mengajar.

Saat piketnya selesai dan juga waktu upacara tersisa lima menit lagi untuk berkumpul. Gilang mencoba mendekati dia yang terduduk menatap hampa ke arah jendela. Membuat Gilang urung berbicara. Perlahan kaki Gilang juga ikut mundur, mungkin lain kali saja saat dia dalam keadaan baik. Ya, yang Gilang lihat seperti sedang terjadi sesuatu pada perasaannya.

"Gak kenal," balas Arya tidak memperhatikan objek yang sahabatnya maksud.

Gilang menatap Candra, berharap dia tahu siapa siswi itu.

"Gue apa lagi," katanya.

"Kuper kalian! Ya udahlah mau tanya wakil km, kali aja dia tau 'kan."

ia menghampiri Nhatania yang tengah menulis nama murid yang tidak hadir di buku agenda. Gilang dengan santainya berbisik di telinga Nhatania.

"Lang! Ngapain sih?!"

"Conge lo! Siapa tuh cewek yang duduk di baris empat ke tiga, tuhhh. Gue colok juga nih kuping sama mata lo sekalian," ucap Gilang yang kini berposisi berdiri setelah tadi ia membungkuk untuk berbisik pada Nhatania.

"Oh Itu Pratista," jawab Nathania santai kembali fokus pada menuliskan nama-nama temannya yang bolos untuk hari ini yang terlalu banyak.

"Murid baru Nat," tanya Gilang lagi masih penasaran.

Nathania berdecak, mencubit lengan bocah jahil di hadapannya yang bertampang lucu itu. Lalu, dengan perubahan wajah yang ceria menjadi murung Nathania berujar "Dia Pratista, sahabat gue." jeda sejenak Nathania menarik napas dalam dan mengebuskannya pelan, "tapi itu ... dulu!"

"Jadi dia murid baru?!" tanya Gilang lagi. Merasa wakil km-nya menjawab di luar pertanyaan alias tidak nyambung.

"Gilang!!! Dia dari kelas sepuluh sekelas sama kita!!!"

"Kok gak keliatan ya Nat ...."

Gubrak! Nathania pura-pura beradegan pingsan dengan bersandar pada kursi guru.

"Gilang terlalu bodoh soal cewek!" celetuk teman sebangku Nathania.

°°°°°°°TBC°°°°°°

Love PratistaМесто, где живут истории. Откройте их для себя