Part 8: Kalut

9 2 0
                                    


Pratista membalikan badannya dan berkata, "Pulang dulu ya." Ia menampakan senyum datar.

"Iya, hati-hati awas jangan peluk-peluk abangnya nanti aku marah," balas Gilang terkekeh.

Raut wajah Pratista kemudian berubah menahan senyum yang kentara.

"Bang, anterin sampe depan rumahnya ya, jaga calon pacar saya jangan sampe ada yang nyalip tengah jalan kan saya udah capek-capek buat dia ketawa hari ini," pesannya pada abang gojek yang ditanggapi hanya dengan seulas senyum dan anggukan.

"Bye," Gilang mengedipkan matanya dibalas kerlingan jengah Pratista.

Sampai di rumah Pratista disambut senyum lebar mamanya. Sejenak tubuhnya bergeming melihat rentangan tangan yang selalu menangkapnya berlari, jatuh, sakit, dan bahagia bahkan ketika sedang dirundung nestapa seperti ini pun.

Hangatnya sentuhan tangan seorang ibu tak dapat terganti oleh apapun. Ia terus jatuh dalam pikirannya, pantaskah dia masih mendapatkan perlakuan yang diberikan setulus hati walau dalam faktanya Pratista bukanlah anak kandung Hilda.

Menyadari itu membuat Pratista semakin terluka.

Pratisa melangkah dan mengenggam erat tasnya. Hilda yang merasa sambutannya tidak akan dibalas lagi tetap merengkuh tubuh Pratista yang semakin kurus dan mengusap-usap lengan anaknya menenangkan. Mengaliri ketenangan untuknya, sisi keibuannya merasa Pratista mengalami kesulitan yang tidak bisa ia ungkapkan pada siapapun. Dirinya memilih tidak akan memaksa putrinya bercerita sampai Pratista sendiri telah siap.

"Gimana hari ini, Sayang? Baik-baik aja, hmm?"

"Biasa aja," balas singkat Pratista dan berlalu cepat ke kamarnya.

"Jangan lupa turun makan malam ya, Sayang," teriak Hilda dengan melambaikan kedua tangannya dan tersenyum lebar saat Pratista sudah naik tangga namun anak keduanya hanya menatap nanar dan selalu tidak membalas ibunya.

Terkadang di beberapa tahun terakhir ini anak gadisnya jarang makan malam bersama lebih memilih dibawakan makanan ke dalam kamar atau tidak sama sekali. Membuat rasa khawatir semakin menjadi setelah dia sendiri memutuskan untuk masuk sekolah negeri biasa dengan sekolah kakaknya. Padahal sebelum itu Pratista sangat mengidam-idami bisa menjadi salah satu siswi di sekolah terkenal akan akademisnya menurut cerita dari Flora sang kakak.

Ia menjelma menjadi manusia dingin tak tersentuh, tenggelam dalam pikiran-pikirannya sendiri.

"Kenapa aku ada di antara kalian?!" Kembali setelah mendudukan diri di atas ranjang ia menatap getir foto yang terpajang di dekat lampu tidurnya.

Sepanjang hari hanya pertanyaan itu yang muncul di benaknya, Pratista kerap tidak tahu apa yang dia inginkan. Bahkan untuk mencari jawaban ia pun tidak sanggup hanya terus meratapi kenyataan yang ada sampai kepalanya berat dan tertidur dengan bersandar pada sisi tempat tidur sampai terlelap.

"Ini!!! Bunga cantik cuma namanya gak cantik, masa! Bunga ekor buaya," kata seseorang di depannya tiba-tiba mengagetkan tidak terdengar langkah kakinya oleh Pratista.

Pratista hampir tertawa keras namun ia berhasil menutup gelaknya dengan menggigit bibirnya.

"Kenapa bisa gitu?!"

"Mungkin karena batangnya menyerupai buntut buaya," katanya lagi kali ini Pratista tak bisa membendung hasrat tawanya.

"Ini tuh namamya Euphorbia Milli atau di Indonesia lebih dikenal bunga Pakis Giwang yang bikin nama ekor buaya males googling," ujar Pratista sambil meletakan kembali ponselnya.

"Lo cantik kalo senyum apalagi kalo pake bunga." Gilang merebut bunga di tangan Pratista dan menyelipkannya di telinga Pratista perlahan.

"Kan apa gue bilang, cantiknya nambah." Gilang mengembuskan napas pelan dan kembali berkata "Pra, apapun yang membuat lo menjadi menarik diri gue harap gue bisa masuk untuk menemani setidaknya walau gak berarti apapun gue akan tetap di sisi lo sebagai apa yang lo mau."

Suara pintu diketuk menyentak kesadaran Pratista. Entah bagaimana perasaanya sedikit membaik setelah Momen yang sama sekali tidak pernah terbayang akan terbawa ke dalam mimpi itu bisa membawa kembali tawanya setelah sekian lama hilang.

Pratista bergegas menyiapkan diri untuk turun ke bawah memenuhi permintaan mamanya yang kali ini sedikit mengiba. Ia sama sekali tidak ingin menjadi seperti ini andai saja dia tidak pernah tahu kebohongan yang ditutup rapat oleh keluarganya.

Semua makanan yang tersedia di meja adalah kesukaan Pratista yang disediakan langsung oleh mamanya sejak tadi sore.

"Anak papa yang manis, yuk sini duduk deket Papa," ujar sang Papa. Namun, Pratista masih bergeming di tempat ia berdiri. Semakin lama menatap wajah papanya ia tak sanggup membendung kemarahan yang ada. Memilih duduk dekat kakaknya dan diam tidak berbicara sepanjang makan malam berlangsung.

"Kita udah lama gak ngumpul bareng kayak dulu. Bercanda, curhat, kadang suka receh denger Papa nyanyi gak jelas liriknya atau sok-sokan romantis sampe kamu pura-pura buang air besar karena mual bukannya muntah," lirih Flora saat Pratista kembali memilih ke kamarnya.

"Kakak kangen kamu yang dulu, apa kita gak bisa kayak dulu lagi? Jadi keluarga bahagia kayak iklan kb cukup dua anak itu, " katanya lagi sembari sedikit bergurau agar adiknya mengerti bahwa dia membenci perubahan adiknya secara mendadak.

'Gimana kita bisa kayak dulu kalo aku bukan bagian dari kalian? Bahkan mungkin aku adalah benalu di antara kalian' Ironis hanya itu kata yang menggambarkan situasinya.

"Aku banyak tugas, Kak. Aku gak bisa," jawabnya berbohong.

"Kamu bisa minta tolong kakak soal itu."

"Aku bisa sendiri, aku mau mandiri bukannya kakak gak suka kalo aku banyak tugas minta kakak yang ngerjain."

"Dek,' ucap Flora parau.

"Aku masuk dulu, Kakak bisa ke bawah lagi sama Papa-Mama." Pratista menutup pintunya cukup keras sampai Flora tersentak. Tubuhnya merosot begitu saja pada pintu. Sesak di dada tak pernah hilang, telah banyak juga airmata jatuh di setiap harinya.

Kembali menitikan airmata sampai ia tidak sanggup membendung lara tak berkesudahan.

===

Flora berjalan gontai menghampiri orangtuanya di ruang keluarga. Semua anggota keluarga merasa sangat kehilangan keceriaan Pratista. Satu per satu dari mereka sudah mencoba mengajak Pratista berbicara dari hati ke hati. Namun, selalu tidak berhasil.

"Apa dia ada masalah di sekolah atau dia kesulitan beradaptasi di sana, Pa, Ma?!" ucap Flora frustasi.

"Semenjak masuk sekolah dia menutup diri dari teman-teman dan gurunya, Papa meminta pihak sekolah untuk membantu Papa menjaga dia. Kamu gak usah khawatir sepertinya Pratista mulai sedikit bisa tersenyum di kelasnya," ungkap Martis sedikit tersenyum. Dia sedikit mendapat info dari teman satu angkatanya yang kebetulan seorang guru--Pratista sudah memiliki teman walau seorang laki-laki. Sempat ada keresahan dalam diri Martis, tapi temanya tersebut menegaskan bahwa anak laki-laki yang sedang mendekati putrinya itu adalah anak baik-baik.

"Tapi kita harus cepat, Pa, gimana kalo Pratista justru punya masalah besar bukan hanya karena masa pubertasnya," katanya lagi.

Papanya menghela napas lelah, "Apa kita harus bawa Pratista ke psikiater?!"

"Mama gak setuju, kita yang harus ada untuk dia," kata Hilda yang juga frustrasi, tapi tidak ingin sama sekali Pratista menganggap dirinya aneh jika dibawa ke ahli psikologi.

"Bagaimana kalau masalah dia adalah kita, Ma?!" ucap getir Flora menahan isaknya.

Martis dan Hilda saling tatap mencerna kata-kata anak sulung mereka. Mungkinkah?!

***

Love PratistaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz