"Kau tau betapa laparnya aku?!" Minho mengakhiri omelannya di depan Felix yang sekalipun tak mencoba untuk membantah. Alih-alih ia mengambil salah satu kaleng minuman dari kantung belanjaannya dan menyerahkan pada Minho.

"Aku minta maaf. Aku kan tidak tau karena kau tidak bilang." Felix tidak seperti remaja pada umumnya. Minho sudah banyak dengar tentang Felix. Dia tinggal tak jauh dari kompleks tempat club tari Minho. Orang bilang, Felix itu sangat baik. "Tapi tetap saja, mencuri itu perbuatan yang tidak benar. Kalau kau lapar, kau bisa datang kerumahku. Aku akan memasakkan mie instan."

"Kau menceramahiku?" Minho menahan diri untuk tidak emosi. Ia menerima kaleng minuman soda itu meski ia tak sedang haus. Sekaleng soda yang akhirnya ia berikan pada Hyunjin.

Pertemuan mereka tak selesai sampai di situ saja. Sesuai dengan apa yang Felix suruh, Minho benar-benar datang ke flat sederhana Felix hanya untuk meminta makan. Felix pun benar-benar memasakkan ramyun sesuai janjinya. Minho mengitari seluruh isi flat milik Felix. Terdapat banyak sekali komik di sana. Ruangan sempit tempat Felix tinggal ini, memiliki dinding-dinding kusam yang bahkan tidak dicat. Tak ada satupun foto yang terpajang. Sepertinya Felix memang tinggal sendiri.

"Kau tak sekolah?" Tanya Minho. Pasalnya, dia cukup heran karena tak mendapati satupun buku maupun peralatan sekolah. Padahal Felix sepertinya lebih muda darinya yang kala itu berusia tujuh belas tahun.

Felix menggeleng sambil mematikan kompor. Membawa panci berisi ramyun ke atas meja lusuh yang mana di hadapannya telah duduk Minho yang tengah memegang sumpit. "Aku tidak sekolah lagi sejak tiga tahun lalu. Sekarang aku bekerja paruh waktu di banyak tempat."

Minho mulai penasaran, Felix masih terlalu muda untuk putus sekolah. Lalu, jika dia saja seperti ini—yang hidupnya juga tidak benar-benar berduit—mengapa dia dengan dermawannya mengajak Minho makan dengannya jika Minho lapar? Minho memikirkannya berulang kali.

"Berapa usiamu?" Tanya Minho lagi sambil memasukkan ramyun ke mulutnya.

"Lima belas tahun," jawab Felix.

Minho sudah menduganya. "Kau sebaya Hyunjin."

Kening Felix berkerut. "Hyunjin siapa?"

"Hyunjin temanku."

Felix diam dan melanjutkan makannya. Dia tiba-tiba merasa menyedihkan mendengar kata teman. Karena sejauh ini, ia hidup sendirian. Penuh dengan rasa sepi yang perlahan menyeruakkan rindu pada kehidupannya yang dulu.

Felix pernah menyebut seseorang sebagai temannya. Dulu sekali saat pikirannya masih sangat polos dan menandai semua orang yang ia temui sebagai teman. Tapi, ayahnya bilang—seorang teman selalu ada di situasi sesulit apapun. Namun, tak ada seorang pun yang datang pada Felix ketika ia ditinggalkan oleh keluarganya seorang diri. Hanya beberapa orang tetangga dengan sukarela memberinya makanan karena kasihan.

Awalnya, Felix merutuki dirinya yang masih hidup. Kenapa tuhan tak membawanya pergi juga seperti ia membawa ibu dan ayahnya jauh dari jangkauan Felix? Lama kelamaan, Felix lelah terus menangis dan menyalahkan. Akhirnya ia hidup tanpa memiliki rasa.

Minho menyapu pandangnya kesekitar. "Lalu, kalau kau tidak sekolah, apa orangtuamu tidak mengirimi uang?"

Butuh waktu yang lama bagi Felix untuk menjawab pertanyaan yang satu itu. Ia tidak menyalahkan ketidaktahuan Minho mengenai kondisi pribadinya. Bagaimanapun, Minho hanyalah sosok baru yang tidak memahami apapun tentangnya. Pertanyaan tersebut termasuk pertanyaan yang wajar.

"Apa kau pernah dengar, dulu ada sebuah keluarga yang mengalami kecelakaan tunggal tak jauh dari sini? Hanya satu orang yang berhasil selamat dari kecelakaan itu," ujar Felix.

when the sky feels close [✓]Where stories live. Discover now