Semua cerita punya awal. Semoga ada ujungnya, dan penuh warna.
---
Gue tinggal dengan keluarga yang sakit. Tapi gue hidup dengan teman-teman yang positif, yang gue pikir mereka seperti ga punya masalah seberat gue. Gue bukan anggota yang paling kelihatan sedih di antara mereka, sedih gue terlihat mungkin saat denger kabar idola gue udah taken. Gue luka, yang berusaha tumbuh di antara bahagia. Berkat luka ini, gue pikir gue jadi lebih dewasa dari mereka. Mereka juga setuju. Tapi mereka nggak tahu, kalau gue cuma dewasa dengan keadaan sekitar tapi jauh dari kata dewasa terhadap diri sendiri. Iya, gue yang selalu mencoba mengobati luka mereka tanpa pernah memikirkan kapan obat untuk gue tiba.
Gue masih empat belas tahun, tapi pikiran gue udah lebih dari empat belas pikiran. Pertama, gue selalu mikir mana sih jalan ninja gue. Kedua, kenapa sih gue hidup selalu diiringi luka. Ketiga, kenapa ada yang namanya ragu dan takut di dunia. Kenapa gue selalu ingin yang pasti, disaat gue sendiri benci sama mata pelajaran yang basisnya pasti. Gue selalu berpikir, apa tujuan manusia hidup, untuk kesuksesan kah, atau kebahagian, atau hanya sekedar menabung untuk perjalanan ke dunia berikutnya. Gue selalu berpikir, dari yang tiga itu mana yang harus gue pilih?
Tapi melihat mereka, sepertinya alasan kita hidup cuma satu, ya untuk dinikmati.
Gue Ava, dengan adik gue, Kin, gue banyak bersabar. Dengan ayah dan mama, gue banyak bertahan. Dengan mereka, gue banyak belajar.
Terimakasih untuk kalian, yang sudah berusaha mengembalikan hitam putih gue, walaupun gue udah sepenuhnya abu-abu.
***
3 Januari 2020
Fun World, Moro Purwokerto.
Hari di mana hitam dan putih berubah jadi abu. Sepenuhnya.
Ditulis pada 2 Maret 2020
Status : Masih belum menemukan warna selain abu-abu itu.
Tujuan menulis : Semoga ini memang kanvas putih yang Tuhan berikan, untuk gue beri warna.
---
Tenang, ini bukan cerita melow. Jadi bacanya dengan rumus santuy ya.
Dinda Ai
