Maaf Mama, Aku Memilih Bunda

Start bij het begin
                                    

Aku tidak tahu berapa lama tertidur, saat membuka mata, tampak Mama tersenyum.

"Erick, akhirnya kamu datang, Mama menunggu kamu, jangan pergi lagi ya?" kata Mama sambil memeluk. Ada sedikit kebingungan apakah aku sudah di surga. Tapi aku senang ketemu Mama. Aku memeluknya, tak ada rona kesakitan lagi, Mama benar-benar terlihat bahagia.

Kami tertawa, Mama banyak cerita, tapi aku tidak bisa bicara, mulutku seperti terkunci. Hanya melihat Mama terus bercerita sudah membuatku senang, aku merasakan tak ada sakit tak ada sedih, aku tak merasakan apa-apa selain bahagia dengan Mama. Hanya tanpa sengaja aku melihat Papa menangis memanggilku.

Aku melihat lagi ke luar, aku melihat tirai yang besar, ada Papa yang menangis memanggil namaku, ada B yang juga, Hei ... itu siapa yang tertidur? Oh, bukankan itu aku? Apa yang terjadi.

Lamat aku mendengar suara Bunda mengaaji, tapi aku bisa tahu pasti dia menyebut namaku dalam setiap embusan napasnya. B selalu bilang, "Sonya,tolong antar Erick kembali." Hei ... ada apa ini semua? Tiba-tiba aku mendengar teriakan Bayu, dia berdiri di samping Mama.

Keduanya mengajakku masuk ke pintu yang sangat terang, rasanya ingin berlari mengikuti mereka berdua. Hanya saja aku seperti terpaku, kakiku tak bisa bergerak, mulut tak bisa meneriakkan nama Mama dan Bayu, "Erick ... ayo, Nak," ajak Mama berkali-kali, tapi aku juga mendengar Bunda memanggil namaku.

Hati kecilku berkata harus memilih Bunda, tapi aku sangat menyayangi Mama juga Bayu, aku bingung. Tiba-tiba kurasakan pelukan Bunda sangat kuat, menarikku dari balik tirai. Mama hanya tersenyum begitu pun Bayu, "Hidupmu hanya kasih karunia, Rick. Jangan sia-siakan!" Kudengar itu yang mereka berdua ucapkan, sangat  tegas dan tatapan mereka menusuk.

Kubuka mata, badan rasanya sakit semua, apalagi tangankiriku tidak bisa digerakkan. Kulihat ada Bunda yang sedang mengaji di samping kiriku, sementara Papa berkali-kali mengusap air matanya.

"Erick ... akhirnya, Bun ... lihat anak kita sudah sadar!" teriak Papa sedikit histeris. Spontan Papa dan Bunda berdiri dan langsung sujud syukur. Setelah selesai Bunda langsung memelukku.

"Terima kasih Ya Allah, terima kasih Mbak Sonya, Ya Allah, anakku sudah sadar," tangis Bunda sambil terus menciumi tangan kiriku yang mati rasa.

Hari ke sepuluh akhirnya aku benar-benar sadar, perlahan mengingat apa yang terjadi, ingatanku tertuju pada Bayu.

"Papa, Bayu, mana? Bagaimana keadaan Andre dan Dian?" Tak ada jawaban, hanya tangisan Bunda yang terdengar. Jujur itu membuatku penasaran, aku tak ingat apapun. Akhirnya dengan pelan Bunda jelaskan, kalau hari itu Bayu menahan sangkur dengan tubuhnya. Yah, Bayu menahan sabetan sangkur dan beberapa senjata yang diarahkan padaku.

Bayu mengorbankan nyawanya untukku, dia memang sahabat sejati. Kata Bunda, punggung Bayu penuh luka sambil memelukku yang sudah tak sadar, karena tanganku terpotong di nadi. Juga ada luka di pundak dan perutku. Sementara Andre pun lebih naas, wajahnya hancur, Jabrik bahkan hampir membakarnya hidup-hidup.

Aku kehilangan dua temanku, hanya masalah sepele, Dian menolak cinta Jabrik. Saat ini Jabrik dan gerombolannya sudah ditahan di Polres. Tak bisa berkata-kata, hanya minta untuk diantarkan ke makam Bayu. Berharap dia bangkit, dan memelukku juga tertawa bersama. Hatiku sangat hancur, bahkan ini lebih sakit dari perceraian Mama dan Papa.

Kedatangan Rere sedikit mengobati luka, dia yang sengaja minta pindah dari pesantren sejak ibu tirinya keguguran. Aku bahkan melupakan Rere, gadis yang pernah sangat kusukai itu muncul di saat aku membutuhkan teman.

Masa pemulihan, aku habiskan hanya untuk merenung dan mendekat pada Allah, atas setiap peristiwa yang terjadi di hidupku, bagaikan sebuah cerita drama. Sebentar aku bahagia dan tiba-tiba aku merasa sedih. Satu bulan sejak peristiwa itu, aku harus menghadiri sidang pembunuhan Bayu dan Andre.

Di sana ada Dian, tapi aku enggan melihatnya, entahlah aku belum bisa memaafkan gadis itu. Andai dia tidak punya pergaulan yang brengsek, andai dia tak perlu dekat dengan Andre, mungkin Bayu masih ada. Dan saat ini mungkin kami sedang menikmati umur ke-17 kami.

Papi dan maminya  Andre pun datang, mereka tampak memaafkan Dian yang berkali-kali minta maaf. Sementara keluarga Bayu tidak ada yang datang. Saat para tersangka, apalagi Jabrik muncul, darahku spontan naik. Tanpa sadar melompat pembatas, langsung memukul Jabrik, tentu saja aku langsung ditarik keluar oleh petugas. Tidak boleh mengikuti sidang yang berlangsung.

Hukuman tujuh belas tahun diterima Jabrik, sedangkan yang lainnya ada yang satu sampai dua tahun. Sang pemegang sangkur ternyata dia dinyatakan tidak waras. Yah, dia depresi karena orang tuanya berceria, dan menitipkannya pada sang nenek. Aku hanya bisa menelan ludah, lihatlah imbas perceraian pada anak-anak seperti kami.

Belajar memaafkan semua pelaku, dan mencoba jalani hidup yang baru, jika aku berubah semua karena Bayu dan demi hidupku sendiri. Agar kelak saat dewasa aku tidak menciptakan, Erick lagi. Anak yang terluka, yang mencoba memahami apa kemauan orang dewasa.

Para orang tua, jadikan kami teman bicara, bukan tempat menumpahkan kesalahan, kami tak pernah meminta dilahirkan oleh siapa, tapi kita bisa bersama-sama menjadi keluarga yang bahagia.

Masa depan masih panjang, masih jauh dan yang pasti aku tidak akan mengecewakan Mama juga Bayu. Hari ini aku meletakkan rokok terakhir, dan berjanji tak akan menyentuh lagi. Trima kasih Bay, kamu mengajarkan padaku apa arti sahabat, kelak kita bertemu dalam keabadian dan kebahagiaan sejati.

Tamat

Je hebt het einde van de gepubliceerde delen bereikt.

⏰ Laatst bijgewerkt: Feb 28, 2020 ⏰

Voeg dit verhaal toe aan je bibliotheek om op de hoogte gebracht te worden van nieuwe delen!

Maaf Mama, Aku Memilih BundaWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu