"Lo jangan ngingetin gue kenyataan itu," Dengan wajah kesalnya Juan membuang muka.

"Sory, lagian lo aneh-anah banget. Minta gue jadi pacar lo segala." Tak dapat dimungkiri bahwa wanita yang terakhir Juan saat ini adalah Rora yang entah saat ini masih di sana atau tidak.

"Gue bercanda kok." Mata Juan kembali menatap Rora yang tengah asik melahap tiramisunya. "Disini adal lowongan, jadi pelayan. Lo mau?"

Rora terdiam, memikirkan keputusannya. "Mau sih, tapi nggak ngangkat yang berat-berat kan?" Tak punya pilihan lain, Rora menerima pekerjaan itu. Yang terperpenting ia mempunyai penghasilan sekarang.

"Enggak kok. Paling cuma makanan kecil sama minuman doang."

"Oke, kapan gue bisa mulai kerja?"

"Lo bawa surat lamaran kerja lo kan?" Rora mengangguk.

"Sini titipin ke gue aja." Juan mengambil  stopmap di atas meja sebelah tangan tangan Rora.

"Nggak papa?"

"Udah, tenang aja. Serahin semuanya sama gue," ucap Juan percaya diri.

Rora menurut saja kali ini. Ia tak meragukan lagi kemampuan Johan. Cowok itu sangat pandai dalam hal seperti itu.

"Udah sore, gue balik yha." Rora berdiri dari duduknya lalu mengambil tasnya.

"Oke. Kalau ada kabar, nanti gie hubungi lo. Nomer lo sama kan?" Melihat Rora akan pergi, Juan mengakhiri percakapan mereka dan ikut berdiri dari duduknya.

Rora mengangguk memberi jawaban. Ia melambaikan tangannya. "Dha..!" Rora melangkahkan kakinya bergegas keluar.

"Dha..!" balas Juan sesampainya Rora diluar. Ia mengembangkan senyumannya.

*****

Langit malam bertabur bintang yang menemani bulan yang bersinar diatas sana, pemandangan yang sangat Rora nikmati di kala ia sendiri seperti ini.

Yha, dia sendiri sekarang. Ia seperti telah kehilangan verlitiya. Entah kemana serigala itu pergi. Setelah mendengar perkataan Devan yang terakhir kali mereka dengar, sampai sekarang serigala itu belum juga bersuara.

Sesaat terlintas di ingatan Rora kenangan-kenangan yang ia lewati dengan Devan. Bagaimana ia saat pertama kali bertemu dengannya, saat dimana pria itu membuatnya jatuh cinta, saat dimana ciuman pertamanya direnggut, saat dimana dia menikah hingga melakukan mateing. Semua itu terlintas di ingatan Rora baikan kaset yang diputar.

Namun, itu hanyalah ingatan. Semua itu tidak akan ada lagi sekarang. Entah apa yang sedang pria itu lakukan sekarang. Apakah dia masih mengingatnya? itulah yang sering Rora pikirkan.

Disini dirinya sekarang. Teras rumahnya yang tidak terlalu besar. Menikmati malam dengan daging slice segar yang ditaburi garam dengan perasan jeruk nipis. Terlihat cukup aneh memang. Bahkan Rora sendiri juga berpikir seperti itu, ia tidak memakan daging mentah sebelumnya.

"Eh.., nak Rora sudah pulang,." Tanpa Rora sadari , wanita paruh baya yang merupakan tetangga Rora melintas di depan rumahnya.

"Iya bu," jawab Rora sesopan mungkin.

"Nak Rora, pergi kemana lama kok sekali tidak ada di rumah?" tanya wanitu itu lagi.

"Menginap di rumah kakak, bu," balas Rora sopan dan logis.

"Ooo... ibu pikir nak Rora sudah tidak punya sanak saudara lagi. Eh, ternyata masih mempunyai kakak." Orang-orang disini pasti berpikir seperti itu karna yang mereka tau Rora hanya mempunyai seorang ibu, setelah ibunya meninggal dapat diartikan Rora sudah tak mempunyai anggota keluarga lagi.

"Masih bu. Waktu itu saya juga baru tau kalau kakak saya masih hidup," jawab Rora jujur.

"Ooh gitu." Pandangan wanita beralih ke bawah, tepat ke piring yang berada di tangan Rora. "Nak Rora, makan daging mentah?"

Merasa telah tertangkap basah, Rora berpikir dengan keras, berusaha mencari jawaban yang logis. "Mau saya goreng bu. Ini baru dibumbui."

"Oo, ibu kira dimakan mentah-mentah," ucap wanita itu lega. "Yha sudah, ibu mau pulang dulu."

"Ya bu, mari." Wanita itu pun melanjutkan langkahnya, meninggalkan Rora yang masih asik menggulung dagingnya.

*****

"Permisi," salah seorang pelayan meletakkan pesanan di meja palanggan. "Selamat menikmati," ucap pelayan itu ramah tak lupa dengan senyumannya yang tulus lalu meninggalkan meja itu.

"Haduh.. capek gue. Hari ini bener-bener rame banget," keluh pelayan tersebut kepada temannya di meja bar.

"Biasalah hari libur, jadinya rame," jawab temannya itu sembari mengelap meja yang terkena berbagai macam tumpahan kopi. "Ra, lo mau pulang?"

"Iya udah sore, capek gue. Lagian Sterli juga udah nyampek tuh." Pandangan Juan beralih kepada seseorang yang Rora tuju.

"Gue pulang duluan yha, dha Juan.!" Selesai mengemasi barangnya, Rora langsung bergegas keluar.

Sudah hampir tiga puluh menit Rora berdiri di halte. Namun, tak ada satu pun bus yang melintas. Padahal hari semakin sore, matahari sebentar lagi akan terbenam. Tak ingin menunggu lebih lama, Rora memutuskan untuk berjalan kaki.

Matahari telah terbenam, tapi rora belum sampai di rumah. Masih satu kilo lagi ia harus berjalan. Bukannya lelah atau apa, Rora hanya takut berjalan sendirian di malam hari.

Langkah Rora terhenti sesampainya ia di sebuah gang yang sangat sepi. Gang itu merupakan jalan pintas menuju rumahnya.

Sekali lagi Rora meyakinkan dirinya tidak akan terjadi apapun di gang itu sehingga ia dapat melewatinya dengan lancar.

Rora mulai melangkahkan kakinya masuk lebih dalam gang itu. Kegelaan semakin menyelimutinya. Pencahayaan di gang ini hanyalah lampu jalan kuno yang pencahayaannya sudah remang-remang.

Krak..!!

"Siapa disana?!" terian Rora mendengar suara kaleng minuman yang ditendang.

Brak..!!

Tak berselang lama sebuah kardus yang berisikan buku-buku lama terjatuh dari tumpukannya. Membuat nyali Rora semakin menciut.

"Siapapun kalian, aku minta kaian keluar sekarang juga!" teriak Rora sedikit ketakutan. Pikirannya kalut sekarang.

"Malam ini sepertinya kita akan berpesta." Dengan susah payah Rora menelan salivanya. Ia melangkah memundur.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

______________________________________

Aku kembali teman-teman...
Maaf updatenya terlambat. 😅
Jadwalnya padet. Banyak tugas-tugas dan acara. Jadi nggak bisa ngehalu lagi wkwkwkwk

Tinggalkan Vote dan Comment
Terima kasih
❤❤❤❤❤

My Perfect Luna (COMPLETE)  Where stories live. Discover now