Senyum Part 3

138 1 0
                                    

"Deva? Oh hai."

Lelaki yang memiliki tubuh lebih tinggi dariku itu tersenyum.

"Mau ngapain?"

"Ini ngasih undangan."

Aku mengambil kertas yang disodorkan oleh Deva, lalu ia pergi dengan senyum yang tercetak di bibirnya.

Oiya hampir saja aku lupa untuk mengantarkan makanan ke mbah Marni.

"Assalamualaikum, mbah Marni." Tidak ada jawaban. "Mbah Marni, Assalamualaikum," masih tidak ada jawaban.  Aku memutuskan untuk berjalan ke belakang menuju dapur siapa tahu beliau tidak mendengarku karena sedang memasak dan benar saja sesampainya di belakang aku mencium aroma seduhan kopi dan suara dentingan gelas dan sendok ketika disatukan.

"Lagi masak apa mbah?"

"Loh, Dinda. Enggak, mbah cuma bikin kopi buat mbah Warno."

"Oh, ini mbah ada makanan dari Ibu."

"Ya Allah, ngapain sih repot-repot, tapi kebetulan juga saya belum masak . Makasih ya nduk. Semoga diberi keberkahan, lancar sekolahnya, bisa jadi pegawai sukses, rezekinya lancar," ucap mbah Marni. Beliau memang selalu memberi doa khas nenek-nenek pada umumnya setiap aku datang memberi sesuatu.

"Tunggu ya, mbah cuci dulu. Sini masuk."

Aku melihat sekeliling. Rumah ini tidak banyak berubah. Dulu ketika mbah Marni menikahkan anaknya usiaku masih 10 tahun. Saat itu pula aku bersama cucunya senang sekali membantu disana. Kami membuat beraneka jajanan dari sore hingga malam.

Cucu beliau adalah sahabatku saat masih kecil. Dahulu kami sering bermain bersama, berangkat sekolah, dan belajar ngaji bersama. Pernah suatu ketika kami berdua menaiki becak kecil dan menuruni jalan yang sedikit curam. Karena belum mampu mengendalikan keseimbangan, becak yang kami tumpangi terguling dan kami terperosok ke dalam selokan. Tangis kami pun pecah secara bersamaan. Lucu jika mengingatnya kembali.

Dahulu sepulang dari ngaji, kami melihat seorang kakek tua yang sedang mengambil rumput di persahawahan. Keesokan harinya kami kembali melihatnya tengah beristirahat di emperan toko. Melihat beliau membuat kami teringat dengan serial sinetron anak berjudul "Si Entong" kemudian tercetuslah ide untuk memberikannya makanan, siapa tahu beliau akan memberikan kami alat ajaib seperti di sinetron tersebut. Kami melakukannya selama beberapa hari sampai akhirnya kakek tersebut sudah tidak ada  lagi disana. Entah bagaimana kabar beliau sekarang.

Oiya aku belum mengatakan siapa sahabatku itu, namanya Eva. Sejak aku jarang berada di rumah tepatnya SMP, aku sudah tidak sedekat dulu lagi dengannya bahkan cenderung canggung untuk berbicara dengannya. Aku nggak tahu kira- kira apa yang bisa aku obrolkan dengannya.

"Gimana sudah punya pacar belum?" ucapan mbah Marni membuyarkan lamunanku.

Aku hanya tersenyum singkat.

"Assalamualaikum mbah."

Suara Deva membuatku terkejut. Ia muncul begitu sajq di balik pintu dapur. Mbah Marni pun segera menemuinya. "Apa Dev?"

"Ada undangan Mbah, dari bapak."

"Makasih ya."

"Sama- sama, saya pamit dulu mbah, din."

"Oh iya dev," jawabku.

Mbah Marni melanjutkan ucapannya. "Semoga dapat jodoh yang baik ya nduk, sholeh, sayang sama orang tua dan keluarga."

"Aamiin. Gimana kabar Eva mbah?"

"Kok nanya ke saya. Nanya ke Eva nya langsung to."

"Hehe." Aku hanya bisa nyengir dan tertawa.

"Sebentar lagi dia akan menikah."

"Oh ya? Kapan mbah? Sama siapa?"

"Sama Doni. Bulan depan."

"Yah, saya sudah nggak ada di sini lagi. Nggak nyangka secepat ini."

"Sebenarnya Eva pengen kuliah nduk, tapi mau gimana lagi, nggak ada biaya, orang tuanya juga pengen Eva segera mandiri biar tidak bergantung lagi sama mereka. Apalagi Eva kan masih ada adik kecil."

Aku hanya bisa mengangguk mendengar ucapan mbah Marni.

"Satu lagi pesan saya, jaga pergaulan. Apalagi dinda ada di kota besar. Jangankan kota besar di sini saja anak- anak mudanya banyak yang nggak sehat. Banyak yang hamil di luar nikah dan pada akhirnya harus menikah."

"Iya mbah."

"Kamu inget Lisa anak bu Poppy? Sebulan yang lalu dia juga begitu. Pernikahannya berlangsung tertutup, karena keluarganya pasti malu banget."

"Iya mbah." Tidak ada kata lain yang bisa aku ucapkan selain iya. Karena memang benar apa yang dikatakan mbah Marni.

"Deva sekarang juga kuliah nduk, sama kayak kamu."

"Oh ya? Bagus deh mbah. Mbah saya pamit dulu ya, takut dicari sama ibu, Hehe."

Sudah cukup aku berbincang dengan mbah Marni hari ini. Deva, aku jadi inget kejadian dulu. Lelaki itu pernah mengatakan kalau ia menyukaiku, tapi itupun udah lamaa banget, kalau nggak salah saat aku masih SD kelas 3. Kalian tahu bagaimana responku? Ah malu sekali jika mengingatnya.

Hai gaisss
Happy reading ya

Kumpulan cerpenWhere stories live. Discover now