Maaf Mama, Aku Memilih Bunda

Start from the beginning
                                    

"Tidak apa-apa Bun, Erick sudah lupa." Sebenarnya berusaha melupakan. Tiba-tiba Bunda menangis, bicara tidak jelas dan lucunya Papa tiba-tiba menyalahkan aku. Tanpa bicara langsung masuk kamar, tidur.

Paginya aku bangun seperti biasa, kali ini pun Papa dan Bunda tidak sholat bareng, setelah aku selesai baru keduanya terbangun, itu pun Bunda tidak bicara lagi seperti biasanya. Tiba-tiba Papa ke kamar.

"Rick, Bunda sudah menyuruh Kakek pulang demi kamu, paling tidak hargai dia," kata Papa dengan nada seolah menyalahkanku.

"Salah Erick di mana?" tanyaku bingung. Jujur tidak tahu apa kesalahan yang membuat Bunda menangis. Bukankah aku tak meminta Kakek pergi? Bukankah  tak menceritakan apa saja yang Kakek ucapkan sejak kecelakaan itu?

Mulai hari itu, suasana di rumah terasa berbeda, sosok Bunda yang begitu sayang mulai berkurang. Bahkan saat sore atau sesudah maghrib, Papa, Bunda dan kembar bercanda berempat aku tak bisa lagi ikut duduk di sana. Seakan kehadiranku hanya mengganggu, Papa pun sepertinya tak peduli dengan keberadaan anak lelakinya, yah aku terlupakan.

Sudah dua bulan situasi di rumah seperti tidak ada masalah, tapi aku sudah merasa tidak nyaman. Sikap cuek Bunda ditambah kesibukan Papa yang sekarang punya usaha baru, membuat aku benar-benar terabaikan. Sering bolos dan merokok itu yang jadi hiburan, hanya aku tak mau bersentuhan dengan cewek.

Iseng aku telpon Mama, bagaimana kalau aku tinggal dengannya di Jakarta, tidak menyangka jawaban Mama sangat menyenangkan, bahkan memekik senang saat aku bilang mau tinggal dengan Mama.

"Bener ya, Rick, kamu tinggal dengan Mama ya? Nanti Mama urus surat-suratnya, tunggu kenaikan kelas ya?"

"Akhirnya, Ya Allah, doa mamamu terjawab, Rick," kata Papa Boy terdengar tak kalah antusias. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Ah, masih ada Mama yang menginginkan kehadiranku.

Mama yang biasanya telpon dua hari sekali, sekarang tiap hari, bahkan WA selalu setiap saat, aku mulai merasakan kehadiran Mama di hatiku, penuh kehangatan seperti dulu. Tapi tiap ditanya apa alasannya mau pindah, apa Papa dan Bunda baik-baik saja? Aku selalu menjawab, rindu Mama.

Sampai pada kenaikan kelas, aku minta ke Papa untuk pindah dengan Mama ke Jakarta. Saat aku minta ijin mau ikut Mama, wajah Bunda tampak kaget, sepertinya dia paham kalau ada yang salah berbulan-bulan ini. Malamnya berusaha mengajakku bicara, tapi rasanya sudah terlambat.

"Rick ... boleh Bunda masuk?" tanya Ibu tiriku itu sambil berdiri di pintu, aku hanya menganggukkan kepala.

"Maafkan Bunda, maaf kalau sikap Bunda sudah membuat kamu tidak nyaman di rumah kamu sendiri, mari kita perbaiki dari awal," katanya mencoba berdamai. Tapi hatiku sudah terluka, enam bulan dibiarkan dan diacuhkan itu tidak enak.

"Bunda tidak salah, mungkin Erick yang tidak paham pemikiran orang dewasa."

"Bukan begitu, Rick. Bunda hanya kecewa dengan sikap kamu, seakan tidak menghargai pengorbanan Bunda yang sudah menyuruh orang tuanya pulang hanya demi kamu," kata Bunda mulai menangis.

"Bunda tau apa yang dikatakan Kakek? Dia bilang saya pembawa sial, kenapa tidak mati saja saat kecelakaan, kenapa Papa harus punya anak seperti Erick, kenapa Bunda harus merawat anak seperti aku, apa Bunda paham artinya untuk Erick?"

"Kalau hari itu Erick bolos, toh tidak melakukan hal yang bahaya, Erick tau itu salah, tapi ijinkan sesekali anak ini nakal, toh bukan lakukan pencurian, mabuk atau hamili anak orang, hanya bolos!"

"Tapi apa, Erick seakan melakukan kejahatan besar, hukuman diacuhkan berbulan-bulan, tidak ada canda lagi. Kalau Erick salah jalan kenal alkohol atau narkoba, apa baru menyesal?"

Malam itu aku bicara semua apa yang  terpendam selama ini, tentang sikap Papa dan Bunda yang seakan menyalahkan aku. Sekarang semuanya sudah terlambat, Mama lusa akan datang, mengurus kepindahanku dan aku pun akan pergi.

Papa diam, kami semua dia, aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti saat tinggal dengan Mama, tapi aku juga sudah lelah berusaha menjadi anak baik dan penurut. Aku juga ingin ditanya kemauannya, atau pendapatnya atau bahkan apa yang aku rasa. Seperti dulu saat kecil.

Jangan memaksa aku untuk memahami apa yang belum pantas, di mana aku harus mengerti tentang rumitnya pemikiran orang dewasa. Aku tidak akan tahu mereka senang atau sedih dan bagaimana aku harus bersikap agar mereka senang. Aku tidak bisa menjadi anak yang selalu baik agar mereka senang.

"Baiklah, kami ikuti kemauanmu. Papa harap saat di tempat Mama tiba-tiba kamu tidak seenaknya merasa bosan dan minta pulang ke sini," kata Papa. Aku hanya diam, dalam hati hanya berpikir senang atau tidak nanti, aku tidak akan mau kembali ke rumah Papa dalam waktu lama.

Sementara Bunda diam, mungkin ada rasa bersalahnya, tapi tak bicara apapun. Tak ada penyesalan dengan semua permintaanku, karena aku sudah besar harus belajar mandiri.

======================

Tiba waktunya Mama menjemput, surat pindah sudah siap semua, aku hanya sempat bertemu Rere dua hari.  Saat dia tiba tidak ada yang aku katakan, sehari sebelum keberangkatanku dia menangis. Aku tahu dia sedih hatiku juga sangat sedih, tapi aku laki-laki aku tidak boleh cengeng. Mulai hari ini aku putuskan memulai hidup baru.

Sesampai di rumah Mama subuh, tempatnya tidak sebesar rumah Papa, tapi nyaman, kamarku sudah disiapkan. Pun semua lengkap, Mama tampak senang sekali, pagi itu pertama kalinya aku sholat berjamaah dengan Mama di rumah.

Ada rasa haru melihat perubahan Mama, sehabis sholat terdengar suara Mama mengaji, sementara Papa Boy sudah siap-siap bikin sarapan. Kata Mama itu kesenangannya membuat sarapan sebelum pergi kerja.

Sarapan pagi dengan pancake dan jus benar-benar membuatku senang. Papa Boy memang koki hebat, siangnya aku dibuatkan steak yang lembut hari itu aku benar-benar disambut bagai Pangeran yang pulang merantau.

Hari-hari di rumah Mama sangat menyenangkan, kadang ikut ke restoran tempat kerja Papa Boy. Sajian masakannya sangat keren, di depan teman-temannya aku diperkenalkan sebagai anak, bukan anak tiri, tapi anaknya.

Hingga tiba waktu sekolah, agak sedikit grogi, takut dibully, takut tidak bisa ikuti pelajaran. Tapi Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Kelas tiga SMP ini tinggiku sudah 167 cm, jadi lebih mudah dikenali karena rata-rata temanku 150-160. Ada beberapa yang lebih tinggi juga. Dan mereka yang menjadi temanku, mengajak ikut ektra basket. Walau hanya untuk seru-seruan olah raga karena sudah fokus mau ujian.

Tiga bulan tinggal dengan Mama, hidupku indah, Papa Boy juga baik, sempat menawarkan sepeda motor tapi Papa sudah wanti-wanti tidak boleh pakai motor sebelum masuk SMA. Hari ini Papa dan Bunda juga kembar katanya mau datang.

Bersambung

Maaf Mama, Aku Memilih BundaWhere stories live. Discover now