Maaf Mama, Aku Memilih Bunda

Start from the beginning
                                    

Kakek tak henti-hentinya menyalahkanku walau tidak secara terang-terangan. Ah, pikiran orang dewasa kadang rumit dan sulit dipahami, kupandangi wajah Bunda.

"Erick banyak tugas, Bunda kan tahu, masak Ibu guru tidak paham?" kataku sedikit menggoda.

"Bukan karena Kakek, kan?" tanya Bunda masih tampak cemas. Cepat-cepat aku menggelengkan kepala. Walaupun ada sedikit rasa sedih, yah, aku tidak pernah merasa punya Kakek. Dari Papa, kakek sudah meninggal saat Papa masih kecil. Dari Mama pun aku tidak dekat. Kami jarang berkumpul saat lebaran.

Terakhir seingatku berkumpul saat Eyang Kakung yang tak begitu kukenal meninggal dan tak lama Eyang Putri pun pergi. Kalau boleh jujur tidak ada kehangatan keluarga yang aku rasakan, kecuali kasih sayang Papa, Mama dan Bunda.

"Ya sudah, nanti kalau ada apa-apa telepon Bunda, Mbak Rah juga ikut," kata Bunda sambil mencium keningku. Selesai kami sholat jamaah, mereka pun bersiap pergi, aku pun masuk kamar. Sempat kulirik wajah Papa yang tampak merasa bersalah, ada gurat sedih dan kecewa saat tahu aku tidak ikut. Toh kaki ku memang masih sakit jadi itu bisa jadi alasab kuat.

Sepeninggal mereka aku sendirian di rumah, mungkin jika normalnya anak-anak lain akan senang, bisa main game dengan bebas, tapi tidak denganku. Mengambil gitar, memainkan beberapa lagu, bosan aku pun mencoba hubungi Bayu.

Tak lama suara motor berhenti depan rumah, yah, Bayu memang sudah punya motor sendiri. Di antara teman-teman dia yang paling banyak uangnya. Aku pun keluar, kulihat Bayu dengan gaya seperti anak SMA. Ada sebatang rokok terselip di jarinya, dia memang unik, di sekolah bisa berlagak bak murid teladan yang selalu patuh dan menuai pujian.

Sementara saat di luar sekolah dia bisa liar, tapi setahuku dia hanya merokok, entah kalau lainnya. Dia datang dengan Zain, teman sekelas kami. Tampak masih canggung, tapi dia pun memegang rokok.

"Mau nyoba?" tawar Bayu.

"Emang enak? Nggak ah," jawabku mengelak. Aku ingat Papa yang dulu suka merokok juga minum, tidak bagus senang marah-marah. Alhamdulillah, sejak ada Bunda semua berubah, dan aku janji pada diriku sendiri tidak akan merokok.

"Eh, Bay ... Rick, kamu tahu nggak? Anjaay banget ... kemarin aku ditolak sama Raisa, padahal dia katanya suka sama aku," kata Zain tiba-tiba, wajahnya tampak lucu.

"Kamu nggak usah sok-sokan ikut maki, nggak cocok, biar Bayu saja," jawabku sambil tertawa. Sementara Bayu hanya garuk-garuk kepala. Malam itu kami pun bercerita dan saling ejek tentang cewek.

Zain anak baik, ayahnya seorang guru mengaji, sementara ibunya jualan. Kuingatkan tidak usah ikut-ikutan kalau tidak sesuai kata hati, toh Bayu tidak memaksa. Beda kalau sudah bergabung dengan kelompok Agus sama Bram, bahkan alkohol pun sudah mereka konsumsi, pacarannya pun menakutkan.

Malam itu dari Bayu kami paham cewek mana saja yang sudah pernah diraba oleh Agus, Zain berkali-kali hanya bilah wah.

"Bay, kamu pernah ciuman?" tanyaku.

"Pernah, sama Sandra. Rasanya aneh, geli, tak seperti yang kubayangkan seperti cerita Bram yang katanya bisa buat melayang," jawab Bayu.

Zain tertawa, karena dia pernah dicium pipi tetangganya saat ulang tahun, tiba-tiba bulunya merinding dan ada rasa aneh yang menjalar di pikirannya.

Aku sendiri tidak tau apa rasanya, andai aku berciuman, pasti Rere adalah cewek pertama yang ingin kucium. Tanpa sadar aku senyum-senyum sendiri membayangkan Rere.

"Woooy ...!" teriak Bayu dan Zain bersamaan mengagetkanku. Ternyata sudah jam sembilan malam, mereka pun pamit pulang. Tak lama Papa pun pulang, tapi aku sudah di kamar, pura-pura tidur.

"Rick, maafin Papa, ya," bisik Papa di telinga dan mencium keningku. Hanya bisa menahan air mata, yah, aku secengeng itu. Terkadang aku merindukan pelukan Papa seperti dulu, tapi rasanya malu. Apa kata si kembar kalau lihat abangnya cengeng? Kuambil ponsel, kukirim pesan ke Papa, juga ke Mama.

[Erick sayang Papa, juga Mama. Erick kangen saat kita hanya bertiga, seperti dulu. Saat malam tidur bertiga, Erick kangen sekali] kutambah emot love juga gambar bertiga. Aku update story WA foto saat kami bertiga dan kutulis, miss you Mam and Dad. Aku pun pergi tidur.

Pagi itu seperti biasa bangun jam lima untuk sholat subuh, tidak ada seorang pun yang terbangun bahkan Bunda. Hanya Mbak Rah yang sudah bangun, Aku pun sholat sendiri, selesai masuk kamar.

Jam enam aku buka ponsel, ada pesan masuk dari mama, menanyakan kabar, langsung kubalas kalau baik semua baik-baik, dan berharap mama pun begitu.

"Erick ... kamu sudah bangun, Nak?" tanya Bunda, saat kubuka pintu tampak matanya sembab, suara Bunda juga serak.

Tiba-tiba Bunda memeluk, dan minta maaf berkali-kali dan berjanji tidak akan membiarkan siapapun menyakitiku, bahkan orang tuanya sendiri.

"Siang ini Kakek dan Nenek pulang, Bunda adakan perjanjian, kalau Kakek tidak mau menerima kamu sebagai cucunya, Bunda juga tidak akan menganggap Kakek sebagai orang tua," kata Bunda yang membuat aku makin bingung.

Siap berangkat ke sekolah dengan, mencium tangan satu persatu, tapi tidak dengan Kakek. Dia menolak dan membuang muka, aku hanya tersenyum walau dadaku rasanya meledak ingin teriak apa salahku, tapi aku hanya diam.

Diantar ojek, karena Papa mau mengantar Kakek dan Nenek ke stasiun, aku minta Mas Bud menurunkan aku di pertigaan arah rumahnya Bayu. Aku hubungi dia dan mengajak bolos sekolah. Bayu mengiyakan.

Pagi itu sebelumnya kami cari sarapan, juga cari rokok. Pergi ke arah pinggiran kota, setelah mengisi bensin full, menggunakan jaket untuk menutupi badge sekolah, kami berdua nongkrong. Pertama kalinya merokok, agak pahit dan aku tidak batuk, ternyata asyik juga.

"Bay, kamu sering kangen sama Mama kamu?" tanyaku, sambil mengisap rokok dan mengembuskannya kuat-kuat.

"Tiap malam, kadang aku sering menangis kalau malam, Tante ku baik, hanya suaminya yang menyebalkan. Kadang ingin bilang ke Ibu, biar cuma makan mi, tapi kumpul keluarga lebih menyenangkan," kata Bayu, matanya menerawang, ternyata kami menyimpan sedih versi masing-masing.

"Pernah aku bilang sama Bapak, nggak usah nyopir bus malam, biar tiap hari pulang, tapi Bapak tidak mau. Aku tau kalau Bapak punya pacar lagi, entahlah, Rick, orang dewasa kadang egois."

Kami berdua pun terdiam, asyik dengan kepulan asap rokok yang mungkin saat ini satu-satunya hal yang bisa kulakukan untuk menghilangkan rasa amarah. Kulihat ada pesan masuk dari Bunda.

"Kamu tidak di sekolah? Kamu di mana?"

Bersambung

Maaf Mama, Aku Memilih BundaWhere stories live. Discover now