Maaf Mama, Aku Memilih Bunda

Start from the beginning
                                    

Tampak datang dengan seorang laki-laki berumur tiga puluhan tahun, Mama memakai gamis panjang, sudah berubah.
Mama perkenalkan suaminya, dan minta ijin mengajakku liburan, karena masih delapan hari lagi waktunya masuk sekolah. Rencana mau mengajak jalan-jalan ke Bali. Tentu saja Papa dan aku tidak bisa menolak, karena sebenarnya Mama yang punya hak asuh penuh.

Hanya berkemas empat jam, aku bersiap ikut Mama, kulihat wajah Tante Farah sedikit khawatir, tapi aku tetap mencoba tersenyum. Selama di pesawat Mama berkali merangkulku, mungkin kangen.

Papa Boy, aku disuruh memanggil namanya, dia seorang koki, sama seperti Om Arya. Bedanya Papa Boy orang yang tekun ibadahnya, berkali-kali saat kami jalan akan singgah di masjid untu sholat.

Senang pastinya saat mengetahui Mama mendapat jodoh yang baik, selama enam hari bersama Mama dan Papa Boy, aku benar-benar merasakan kebahagiaan layaknya anak dan orang tua.

Mama memanjakanku, Papa Boy juga menuruti semua keinginanku. Hingga hari ke tujuh, sebelum besok pulang kembali. Sore itu kami berjalan kaki di sepanjang jalan raya Kuta. Bercanda sepanjang jalan dan tanpa sadar, Mama mendorongku ke arah jalan karena kesal aku ledek.

Aku yang berjalan di ujung dekat jalan raya, tanpa sadar terpental jauh, dan terdengar bunyi tulang yang patah dan remuk. Tak ingat apapun hanya dengar suara teriakan Mama dan Papa Boy.  Akhirnya aku terbangun, tapi badan rasanya sakit semua. Saat membuka mata, ada Papa, Bunda, Mama juga Papa Boy ... tentu kaget, ada apa ini?

Pelan aku mengingat kejadian terakhir yang kuingat, ada mobil yang melaju kencang dan menabrakku langsung terlempar. Disambut truck yang melindas kedua kaki ini yang ternyata sekarang mati rasa, aku tidak bisa merasakan kakiku.

"Papa, Bunda ... kaki Erick kenapa?" Tentu saja aku panik, berteriak, menangis dan menjerit. Itu kulakukan selama satu minggu. Menyalahkan Mama yang sudah mengajak ke Bali, aku saat itu benar-benar jadi anak yang menyebalkan.

Mama dan Papa Boy berkali-kali minta maaf, tapi tak kuhiraukan. Membenci mereka yang menyebabkan kecelakaan  ini. Andai Mama tak mendorongku maka tubuh ini akan tetap ada di trotoar.

Empat bulan berlalu, aku mulai belajar memaki kruk untuk berjalan. Patah kaki juga tempurung lutut yang geser, membuatku tak mampu berdiri dengan kedua kaki secara normal.

Masih belum memaafkan Mama yang berusaha menemui, walau berkali-kali Bunda membujuk. Tapi Papa tidak pernah menyuruhku untuk memaafkan Mama, karena sebagian hatinya juga marah saat tahu penyebab kecelakaanku.

"Erick, ayo sholat, Nak," ajak Bunda.

Aku lagi-lagi menggelengkan kepala,  tidak mau sholat. Tidak mau lagi menjadi anak baik, toh Allah selalu jahat denganku. Dulu membiarkan Mama pergi tinggalkan Papa, sekarang membiarkan aku mengalami kecelakaaan. Allah tidak sayang aku.

Bunda hanya diam, aku tahu ada air mata yang menetes melihat keras kepala anaknya yang selalu membangkang. Bulan ke enam saatnya ujian semester, atas permintaan Bunda dan mengajukan permohonan ke sana ke mari, aku diijinkan mengikuti pelajaran di rumah agar tidak ketinggalan. Hari ini aku mengerjakan tugas-tugas test semester di ruangan guru.

Masih menggunakan kursi roda kadang  memakai kruk, rasanya lelah sekali, selesai ujian semester aku kembali ke rumah. Masih belum boleh melakukan kegiatan apapun, hanya duduk membaca, menonton. Akhirnya ponsel dan game menjadi hiburanku satu-satunya.

Liburan sekolah pun tiba, akhirnya Rere pulang, saat melihatku memakai kruk dia menangis keras dan memelukku. Libur dua minggu lebih sering dia bermain ke rumah. Kata  Bunda, Tante Rina senang melihat perubahan Rere,  karena sekarang anak tirinya lebih ceria dan memanggil dia Bunda. Aku ikut senang mendengarnya.

Siang itu Rere datang jam sebelas, pas hari jumat, membawa jajanan cilok kesukaanku. Sambil makan kami bercanda, sesekali Rere bertanya bagimana keadaan kakiku, sudah bisa buat sujud? Begitu kujawab ya, sudah bisa semua. Selesai kami makan Rere langsung berdiri.

"Rick, sekarang kamu mandi dan pergi sholat jumat sama papamu, kalau perlu aku ikut antar ke masjid!" katanya memberi perintah.

"Nggak, aku nggak mau sholat, buat apa? Toh Allah masih terus jahat," jawabku.

"Kalau kamu tidak sholat jumat, kita tidak akan pernah ketemu lagi, dan aku selamanya tidak  akan pernah jatuh cinta denganmu," kata Rere lirih, hampir menangis.

Tentu saja tak akan kubiarkan gadis itu sedih, bergegas aku mandi. Sempat kulirik Bunda tersenyum ke arah Rere. Ah, rupanya ini persekongkolan mereka berdua.

Akhirnya setelah enam bulan tidak sholat, aku pun merasakan ada kesejukan di hati. Pulang dari masjid, Rere masih di rumah.
Kami semua makan sama-sama, Elena tampak senang sekali dengan Rere. Bahkan dengan telaten gadis remaja yang diam-diam sudah membuatku menyukainya, menyuapi Elena.

"Wah, Rere pinter ya, Elena juga senang" kata Bunda  senyum -senyum.

"Coba Erick yang begitu," jawab Papa tertawa.

"Ya beda lah, Erick itu nanti kerja cari uang, Rere yang di rumah asuh anak lah," kataku tanpa sadar. Dan semua pandang langsung terarah padaku dangan tatapan sedikit aneh. Selanjutnya Papa dan Bunda tergelak sementara wajah Rere merona.

Ups, aku keceplosan, sekarang semua tahu kalau aku menyukai Rere. Buru-buru kuhabiskan makan dan segera ke dapur. Masih terdengar gelak tawa Papa, ah, kenapa aku bodoh sekali.

"Rick ...." Suara Rere memanggilku.

Aku perpaling, dan tampak Rere terlihat makin cantik. Ah, aku benar-benar menyukainya, apa iya aku jatuh cinta? Ah anak kecil sepertiku tahu apa tentang cinta? Tapi dadaku tiba-tiba berdegub.

"Kita ke teras, yuk."

Sampai di teras, Rere cerita kalau dua bulan yang lalu, bundanya menjenguk ke pesantren. Katanya minta maaf karena pernah menolak dan menyia-nyiakan Rere. Menurut bundanya, bukan dia yang duluan selingkuh, tapi ayahnya. Rere tak peduli dengan ucapan bundanya, bagi dia semua sudah berlalu, sekarang waktunya melupakan apa yang sudah terjadi.

"Kamu sudah memaafkan, Mama?" tanya Rere.

Kugelengkan kepala, walau ada sedikit kerinduan tapi rasa marahku masih besar. Setelah dibujuk Rere akhirnya aku mau menghubungi Mama. Terdengar tangisannya karena akhirnya aku mau memaafkannya.

"Erick, maafkan Papa Boy ya, tidak bisa menjagamu dengan baik," kata lelaki itu. Aku menghela napas dan akhirnya bisa lega, ah, Rere memang luar biasa. Rasanya aku makin jatuh cinta.

"Rick, tiga hari lagi aku pulang ke pesantren, kamu rajin sholat juga rajin ngajinya, jangan bolong-bolong. Malu dong kalau nanti ilmu agamanya kalah sama calon istrinya," kata Rere sambil memainkan ujung kerudungnya.

Jantungku rasanya mau melompat mendengar Rere berkata seperti itu, tanganku tiba-tiba keringatan.

"Iya, Re ... aku akan rajin sholat, tidak akan bolong lagi."

Kami pun saling diam tak bisa bicara, entah kenapa mulutku seperti ada lemnya, tak bisa bicara. Padahal biasanya kami akan bercanda, bisa bicara tentang apa saja atau siapa saja. Sementara suara tertawa Papa dan Bunda dengan kalimat ciee cieeenya terdengar begitu menyebalkan. Tapi lucunya juga menyenangkan, sementara Rere pun tertunduk diam tak bicara lagi.

Maaf Mama, Aku Memilih BundaWhere stories live. Discover now