Maaf Mama, Aku Memilih Bunda

Start from the beginning
                                    

Jam enam pagi, panggilan masuk 10x dari Papa, 6x dari Tante Farah. Yang ke tujuh baru kuangkat. Cepat-cepat sholat subuh, daripada tidak, kata Tante. Selesai sholat dan mandi, tampak Mama pun sudah bangun dan menyiapkan sarapan.

"Pagi, Ma ... sudah baikan?" sapaku pelan.

"Pagi Erick ... maafkan Mama semalam, ya? Hari ini seperti janji Mama, kita akan bersenang-senang. Sekarang sarapan dulu," kata Mama. Dengan senyum yang dipaksakan, aku tahu Mama masih sedih.

"Kalau Mama tidak enak badan, nggak apa-apa kok kita di rumah saja. Masih ada waktu beberapa hari lagi, kan?" jawabku. Jujur aku berbohong, rasanya sangat membenci situasi ini. Kenapa anak kecil harus memahami sikap hati orang dewasa.

Mama berkali-kali mengucapkan maaf dan terima kasihnya, lagi-lagi masuk ke kamar. Ah, sungguh ini semua terasa rumit dan membingungkan. Mau telepon Papa, lupa tadi tidak minta pulsa. Iseng aku pun keluar tanpa pamit, rencananya hanya beli pulsa di lantai bawah.

Sesampai di minimarket, ada Tante Farah yang rame-rame dengan teman gurunya. Ada juga Bu guru Aisyah, wali kelasku.

"Loh, kok Erick di sini?" sapa Bu guru.

"Mama tinggal di sini, Bu," jawabku.

"Mau beli apa? Kenapa turun sendiri? Mama mana?" tanya Tante Farah, wajahnya sedikit menyeramkan. Mungkin marah karena aku ada di lantai bawah.

"Anu ini ee, itu Tante eh Bu Farah, apaa itu." Dan entah kenapa aku tiba-tiba gagap.

Bu Aisyah yang tidak tahu kalau Tante Farah adalah calon ibuku malah bingung melihatku seperti takut pada Tante. Apalagi melihatku langsung masuk saat digandeng masuk mini market, setelah mengisi pulsa, aku pamit naik. Bu Aisyah hanya senyum, sementara Tante Farah tampak gelisah.

Sesampai di lantai atas, Mama masih di kamar, aku kembali menghubungi Rere, sayang nomernya tidak aktif. Tidak tau mau ngapain, bingung akhirnya telepon Tante Farah. Aku menangis, merasa bosan, kesal dan ingin pulang. Kata Tante aku disuruh pamit Mama, biar sore nanti atau besok pagi dijemput.

Kuberanikan diri mengetuk pintu kamar Mama, tak dikunci. Pelan kubuka, Mama sedang bicara di telepon, sepertinya dengan Om Arya lagi. Tapi ada yang aneh, Mama tidak pakai baju, buru-buru kututup pintu, dan bunyinya cukup keras.

Sepertinya Mama kaget, karena tak lama langsung keluar, wajahnya merah padam, entah marah atau malu.

"Ada apa!" tanya Mama dengan ketus.

"Erick mau pulang, bilang Papa jemput," jawabku pelan. Takut mendengar suara Mama yang kasar. Hampir menangis, kenapa Mama bisa berubah sebentar baik sebentar jahat, aku bingung.

Wajah Mama melunak, duduk di sampingku dan memeluk. "Loh, katanya masih ada waktu beberapa hari lagi, kalau besok Mama janji, kita bersenang-senang."

"Tidak, Erick mau pulang," jawabku dengan sedikit memaksa.

Tiba-tiba Mama menangis dan teriak, kalau aku sudah diracuni otaknya sama Tante Farah untuk membenci Mama. Makin bingung dengan sikap Mama, setelah menangis, memohon agar aku mau tinggal.
Kata Mama dua hari lagi orang tua Om Arya datang, jadi aku mau dikenalkan pada mereka. Tapi rasa marahku lebih besar, ternyata Mama mengajakku menginap bukan karena kangen, tapi hanya untuk diperkenalkan.

Kami saling diam, berkali Mama bicara membuatku bingung. Lagi- lagi aku dipaksa memahami dan memaklumi dunia orang dewasa. Ujungnya tetap aku harus mengikuti, tanpa bisa menolak. Hampir setengah jam kami duduk seperti orang asing. Sampai akhirnya ada bel berbunyi, sepertinya ada tamu. Dan itu Papa.

Aku langsung memeluk Papa, rasanya rindu sekali. Tentu saja Mama kaget melihat kedatangan mantan suaminya.

"Kaget aku datang? Erick tidak menghubungiku, tidak ada yang memberitahu. Tapi Allah, sudah satu tahun ini Erick selalu bangun jam lima, mau sakit pun, tapi hari ini tidak." Papa bicara tanpa duduk di sofa.

"Aku menelponnya 10x tak diangkat, aku tahu, pasti ada yang salah. Dan lihat, kamu terlihat kacau bahkan setelah bertahun-tahun," kata Papa dengan nada sinis.

Sementara Mama seperti tidak bisa bicara apa-apa lagi. Memohon ke Papa agar aku diijinkan tetap tinggal sampai hari minggu. Waktu Papa tau alasannya mau dikenalkan ke keluarga Om Arya, karena orang tuanya tidak akan setuju kalau menikahi single parent, kecuali melihat anaknya langsung. Dan lucunya nanti aku harus berbohong kalau selama ini tinggal dengan Mama. Alasan perceraiannya pun karena Papa selingkuh, tentu saja semakin marahlah dan menyuruhku mengemas baju.

"Kami pasti akan datang ke pernikahanmu, jangan bawa-bawa Erick dalam kebohonganmu. Kamu kira aku tidak tahu hubunganmu dengan Pak Broto? Uang dari mana kamu pakai buat beli apartemen? Brengseklah sendiri jangan bawa anakmu!"

Aku dan Papa pun langsung keluar, meninggalkan Mama yang menangis sendirian di lantai seperti anak kecil.

Maaf Mama, Aku Memilih BundaWhere stories live. Discover now