9

5.4K 530 101
                                    

***

"Nduk, bangun! Sholat Subuh." Samar aku mendengar suara panggilan Ibu.

Mataku mengerjap, menguceknya lalu terduduk. Menatap wanita paruh baya di hadapanku sedang melepas mukenannya. Senyum mengembang di wajah tuanya. Aku pun beringsut dari ranjang. Melangkah menuju kamar mandi, dengan telapak kaki yang dingin saat menyentuh lantai rumah.

Udara di kampung memang berbeda dengan di kota. Meskipun tanpa pendingin ruangan, udara di dalam rumah tetap sejuk dan dingin. Akan tetapi, siangnya tetap saja panas jika cuaca cerah.

Selesai berwudhu aku kembali ke kamar Ibu untuk menunaikan kewajibanku. Sholat dua rokaat. Selesai sholat kusempatkan untuk berdoa, dan membaca alquran. Lama kegiatan itu tak kujalani.

Aku merasa diri ini kurang bersyukur. Entah mengapa hanya pada saat aku merasa dilanda kesempitan dan kesusahan, baru kubuka lembar berisi Firman-firman Allah ini. Tanpa terasa tetesan air bening meluncur begitu saja dari kelopak mata. Alquran usang milik Ibu pun basah. Kuusap perlahan kertas di pangkuan, lalu mengusap pipiku dengan mukena.

Sambil membaca ayat-ayat alquran, tak lupa pula kuselipkan sebuah doa. Harapan akan kelangsungan rumah tanggaku ke depannya. Jika memang semua yang terjadi dalam hidupku adalah takdir yang harus kuterima. Aku ikhlas. Mas Aryo mungkin bukan yang terbaik untukku, atau pun sebaliknya.

***

Usai sholat Subuh tadi, aku langsung membantu Ibu di dapur menyiapkan sarapan. Aku menanak nasi. Sementara Ibu sedang ke kebun samping rumah. Kulihat ia mencabut beberapa sayuran untuk dimasak.

"Dek, tangekno Mas Rendra!" (1)titahku pada adikku yang baru saja lewat hendak ke kamar mandi.

"Mas Rendra wis balek dek bengi."(2)

"Lah, kok iso?"(3) tanyaku

"Wonge jare arep turu nyang hotel. Ra penak nginep kene."(4)

"Po wani balek dewe?"(5)

"Tak terke nyang alun-alun."(6)

Aku mengernyit, Rendra ternyata tidak menginap di rumah. Dia lebih memilih tidur di hotel karena merasa tidak enak. Kupikir dia laki-laki yang memanfaatkan keadaan untuk dekat kembali denganku. Tapi, justru tidak. Dia menghargai aku dan keluargaku.

"Nopo tow? Jik isuk wis tukaran?"(7) tanya Ibu saat masuk ke dapur.

"Mboten, Bu. Imel minta tolong Idho buat bangunin Rendra. Eh ndak taunya dia nggak nginep sini."

"Ngono tow? Ibu pikir masih tidur. Apik wonge ketimbang bojomu, Nduk."

"Jangan gitu, Bu."

"Lha kalau nggak begitu, kenapa kamu diantar dia. Bukan suamimu. Mesti ada masalah, cerita karo Ibu."

"Eum … sae kok, Bu."

"Ibu ki nggak iso mbok bohongi, Nduk. Pas sholat koe nangis tow?"(8)

Aku menunduk, mencoba menahan segala sesak di dalam dada. Rasanya ingin sekali aku menumpahkan segala perasaan yang bergejolak. Namun, aku tahu betapa hancurnya hati Ibu nanti. Setelah rumah tanggannya yang hancur, kini ia juga harus melihat rumah tangga anaknya ikutan hancur.

Aku menggeleng lemah, "Wis, Bu. Nggak usah mikirin aku. Lha wong aku ke sini mau belajar. Dua bulan lagi aku sidang skripsi. Dongake, ya, Bu."

"Yaaa … Ibu selalu doain kalian semua."

"Makasih, Bu."

Ibu tersenyum kecil. "Ibu inget Bapakmu, paling seneng kalau dibikinin sego urap. Lauknya tempe goreng. Bisa habis nasi sebakul," ucapnya lirih sambil mencuci sayuran yang baru saja dipetiknya itu.

SUAMIKU JAJAN AYAM KAMPUSNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ