2

7.1K 553 22
                                    

Dunia seakan runtuh, saat menyadari betapa bodohnya bertahan dalam kesakitan yang diciptakan sendiri.

Imelda

**

Aku harus pergi sekarang juga. Mas Aryo berjalan mendekati kami. Aku langsung berbalik badan ke arah Siska.

"Maaf, Sis. Gue langsung cabut, ya, ke kampus. Ada bimbingan soalnya," ucapku sedikit bergetar.

"Yaah, sayang banget. Padahal kita mau ngajak kamu makan bareng."

"Lain kali, ya. Bye …."

Cepat kuraih tas di kursi, lalu melangkah pergi meninggalkan keduanya. Kulihat sekilas wajah suamiku yang menegang. Kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku ada di sini. Sama sepertiku, kenapa kamu bisa ada di kota ini.

.

Sebelum kembali ke kampus, aku masuk ke toilet terlebih dahulu. Menggantung tas di sebuah paku belakang pintu. Dan bersandar di sana. Sesak sekali rasanya melihat kejadian tadi, bahkan suamiku tak menahanku pergi, atau menjelaskan apa pun.

Pipiku mulai menghangat, air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya berurai. Sungguh, ini sangat menyakitkan buatku. Susah payah aku menyembunyikan keberadaan Mas Aryo, bahkan wajah suamiku dari Siska. Nyatanya, takdir mampu mempertemukan mereka.

Tiba-tiba suara dering dari ponselku menyadarkanku. Aku mengambil benda pipih itu dari dalam tas. Sebuah nama tertera di layar, Rina. Sahabat karibku di kampus menelpon. Dia pasti ingin bertanya di mana aku, karena kami akan bimbingan skripsi bersama.

Kuhapus air mata yang mulai mengering dengan tisu toilet. Lalu menjawab telepon Rina.

"Ya, Rin."

" …. "

"Gue nggak apa-apa, iya sebentar lagi gue jalan."

" …. "

"Iya, iya."

Telepon terputus. Kumasukan kembali ponsel ke tas yang kubawa. Lalu ke luar kamar mandi. Sebelum keluar, aku mencoba mencuci wajahku di wastafel. Dinginnya air sedikit meredam rasa panas yang sejak tadi masih bersemayam di dalam tubuh. Berharap ketika keluar dari tempat ini, tak kulihat mereka berdua. Dua orang yang telah mengkhianatiku.

Aku menghela napas pelan, menatap wajah di cermin. Mata terlihat sembab dan memerah, ini akan menimbulkan pertanyaan nanti. Apalagi hidungku juga kelihatan merah dan berair. Mungkin aku bisa menyembunyikan perasaan, tapi wajahku tak bisa menipu.

.

Pelataran kampus terlihat begitu ramai. Para mahasiswa dan mahasiswi berlalu lalang. Ini memang jam istirahat. Sepertinya aku harus melaksanakan sholat dhuhur terlebih dahulu sebelum masuk ke ruangan dosen.

"Mel, Imel!"

Suara panggilan mengharuskanku menoleh. Wanita berjilbab abu-abu itu mendekatiku, ia tersenyum manis. Rasanya aku ingin bercerita banyak tentang masalah yang sedang aku hadapi.

"Dipanggil malah bengong," ucapnya lagi.

Aku berusaha tersenyum, "Sorry, Rin. Udah sholat?"

"Lagi halangan. Gue tungguin loe, deh, di kantin."

Aku hanya mengangguk. Saat Rina hendak melangkah. Tanpa sadar tanganku menarik tangannya, ia tersentak dan menatapku. Aku ingin kamu di sini, Rin. Dengerin aku cerita tentang suamiku.

"Kenapa, Mel? Gue lagi halangan."

"Oh iya, lupa. Sorry."

Aku melihat alis Rina mengkerut, lalu menatap erat. Jangan sampai dia tahu kalau aku sedang ada masalah sebelum aku benar-benar siap untuk bercerita.

SUAMIKU JAJAN AYAM KAMPUSWhere stories live. Discover now