8

5.4K 581 75
                                    

Dia datang membawa cinta. Dia datang menebar rasa. Aku sakit, tapi mungkin Ibuku lebih sakit.

Manusia tempatnya salah dan dosa. Izinkan hamba menghapusnya dengan kepedihan ini.

.

Rendra memanggil sebuah taksi yang akan mengantar kami ke rumahku. Aku duduk di kursi belakang, bersisian dengannya. Setelah meminta sopir mengantarkan arah tujuanku. Aku kembali menatap jalanan. Malam terlihat begitu sepi, sunyi, hanya cahaya dari lampu jalanan yang menerangi.

Hati ini rasanya hancur berkeping-keping. Seandainya Rendra tak ada. Mungkin aku sudah berbuat nekat tadi. Mengejar Bapak dan menghabisi wanita itu.

Mendengar alasan Bapak yang menyatakan kalau Ibu sudah tak bisa lagi melayaninya? Aku jadi penasaran dengan kondisi Ibuku. Ibu adalah wanita kuat, dia yang bekerja sebagai petani di ladang. Mencari nafkah untuk keluarga, sementara Bapak? Dia hanya seorang pemabuk dan tukang judi.

Aku tak heran kalau Bapak berbuat kasar pada Ibu. Hanya karena masalah kecil, dan pada akhirnya semua akan baik-baik saja setelah aku memberikannya uang dari nafkah suamiku. Tapi, aku nggak habis pikir kenapa Bapak tega mengkhianati wanita yang selama ini sudah menampung kehidupannya.

Sama kasusnya denganku. Aku pun tak pernah menyangka Mas Aryo, suami yang kuanggap mampu menjadi Imam dalam rumah tangga. Terperangkap dalam dosa zina bersama seorang pelacur.

"Jangan nangis terus. Nanti bulu matanya copot, maskaranya luntur," ucap Rendra membuatku kaget.

"Kamu pikir aku wanita tadi?"

"Jangan marah-marah. Persoalan itu jangan diselesaikan dengan emosi. Kamu tenangin diri kamu dulu. Kamu nggak mau kan, nanti Ibumu melihatmu sedih?"

Aku menunduk, benar katanya. Aku datang untuk bertemu orang tuaku. Setiap Ibu akan merasa bahagia saat anak kesayangannya datang berkunjung. Terlebih anak perempuannya yang ikut dengan sang suami. Kalau aku terlihat sedih, hatinya akan semakin koyak. Belum lagi masalah yang dia sendiri hadapi.

Tangan Rendra terulur di depanku, sebuah sapu tangan warna biru muda ia sodorkan. Sapu tangan ini? Aku ingat, sapu tangan hadiah dariku di ulang tahunnya dulu, masih disimpannya dengan baik. Bahkan, warnanya pun masih sama seperti barunya.

"Kenapa? Heran? Aku masih menyimpan semua barang-barang pemberian kamu dulu. Aku tahu, kamu nggak mudah dapatin barang-barang itu. Makanya kujaga semuanya dengan baik. Nih, pake! Hapus semua sisa air matamu. Apa perlu aku yang usap?"

Sebelum tangannya kembali menyentuh wajahku. Dengan cepat kuraih sapu tangan itu. Lalu mengusap wajah ini perlahan. Kuhirup kuat-kuat aroma di sapu tangan itu. Wangi, seharum tubuh pemiliknya. Seketika hati yang tadi gelisah, kini berangsur pulih dan berganti dengan rasa nyaman.

"Nggak usah diciumin gitu juga kali. Mending peluk aku lagi aja. Kamu bisa puas ciumin badan aku," goda Rendra membuat wajahku memerah.

"Nih, udah. Makasih!" Aku mengembalikan sapu tangan itu di atas pahanya.

Tangan Rendra tiba-tiba menangkap tanganku dan menggenggamnya erat. "Udah, diam. Aku nggak akan ngapa-ngapain kamu, kok."

Aku percaya padanya, kubiarkan dia menggenggam tanganku. Aku tahu dia sedang berusaha menguatkan. Sementara aku menyandarkan tubuh ke belakang. Jarak dari terminal ke rumah memang memakan waktu agak lama. Hampir dua jam lamanya. Aku mencoba untuk memejamkan mata sejenak sebelum tiba di rumah

💕💕💕

Sebuah usapan lembut di pipi membuatku terbangun. Kulihat Rendra tersenyum ke arahku. "Bangun, Mel. Aku nggak tahu rumah kamu di mana. Ini udah di desa Karang Gede."

SUAMIKU JAJAN AYAM KAMPUSWhere stories live. Discover now