part 8 (Murka Seorang Ayah)

Start from the beginning
                                    

"Baik, Dok. Terima kasih."

Dokter wanita tersebut meninggalkan mereka. Masren mengumpat pelan namun masih terdengar.

"Sial! Aku yang khawatir malah suaminya yang ditanya. Lihat saja dia tidak berguna. Rasa takut kehilangan Hafsah tidak ada sama sekali. Cih,"

"Haha ... Kasihannya, lagipula wajar setiap dokter bertanya anggota keluarga. Itu yang paling penting."

"Sudahlah, urus istrimu dengan benar. Kalau kamu tidak suka biarkan aku mengambil milikku dan menikahinya agar bahagia."

Bugh.

"Pergi sana! Enak saja kamu mengakui dia milikmu."

Masren tidak menyangka Fathur membela Hafsah. Dia tersenyum. Kini dia merasa tersaingi. Daripada akan berlanjut baku hantam Masren pergi. Sedangkan Fathur terdiam tidak percaya reaksinya memukul Masren pertama kali untuk Hafsah.

"Mungkin karena aku benci, wajar aku semarah ini kepadanya."

*Flash back off*

Hafsah belum juga sadarkan diri, Fathur kini tertidur memasuki dunia mimpi. Pukul sepuluh pagi, tangan kiri Hafsah bergerak sedikit, matanya pelan-pelan terbuka.

"Ada dimana aku?"

"Akh, kepalaku sakit sekali."

Sang Papah Mahesa yang sedari tadi sibuk berkutat dengan ponsel dalam urusan bisnis. Saat terdengar suara Hafsah, beliau mendekatinya.

"Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar juga, Nak. Tiduran saja. Kamu tidak boleh banyak bergerak."

"Papah? Kenapa Papah di sini?"

"Papah rindu menantu, apa tidak boleh?"

"Hehe, boleh, Pah."

"Kamu haus atau lapar, Nak?"

"Iya, Pah. Rasanya tenggorokanku kering."

"Nih, minum yang banyak, Nak."

Fathur mendengar suara orang sedang mengobrol, dia mengerjapkan matanya.

"Hoaam ...."

"Loh kok ada Papah?" Tanya Fathur heran melihat sosok paruh baya di sebrang brankas Hafsah.

"Kenapa memangnya kalau ada Papah? Kau takut aku tahu putriku sakit."

"Tidak ada apa-apa, Pah. Cuma aku sedikit kaget saja."

"Pah, aku lupa sesuatu." Potong Hafsah mengingat satu hal setelah kejadian kemarin siang.

"Apa, Nak?"

"Ba-bayiku gimana dia? Apakah aku keguguran? Janinku Pah ....?!" Teriak Hafsah histeris.

"Tenang, Nak. Kau tidak keguguran, Sayang." Sergah Papah mahesa mengusap kepala sang menantu.

Saat Fathur ingin ikut andil menenangkan Hafsah ternyata ditolak mentah. Hafsah melempar semua barang di dekatnya ke arah Fathur.

"Pergi kau! Sudah puas aku lemah. Bayiku hampir jadi korban."

"Tidak, Hafsah. Aku tidak tahu kamu hamil."

"Pergi ....!"

Fathur diam melihat reaksi Hafsah yang terguncang. Tiba-tiba rahangnya dipukul seseorang yaitu sang Papah Mahesa marah besar.

Bugh.

"Sudah cukup kau membuat putriku terluka. Harusnya dari tadi aku usir kalau ternyata Hafsah menjadi sedih begini. Pergi!"

DiaGay?Where stories live. Discover now