Part 10

20.9K 246 23
                                    

Apakah ada perempuan lain?

Atau mungkin ... lelaki lain barangkali?

Lara tercenung dengan mata kosong di sisi ranjangnya yang dingin. Ia merasa sama sekali belum mengenal siapa Juan. Ia kira pertemuan singkat dan sedikit rekomendasi dari Mama dan Budhe Nyai, bisa menjamin bahwa pernikahannya ini baik-baik saja.

Tapi, apakah demikian adanya?

Jika Juan memiliki perempuan lain, kenapa lelaki itu mau menikahi dirinya? Atau jika ia mungkin memiliki lelaki lain ... Lara bergidik. Tidak. Juan tidak mungkin seperti itu.

Ia ingat pernah meng-googling nama 'Juan de Borgh'. Benar kata Osman, lelaki itu memiliki banyak skandal dengan perempuan-perempuan cantik. Bukan perempuan biasa dari kampung seperti dirinya, tapi artis, model, pengusaha, dan entah ia sulit mengingat. Sebenarnya, ia tak mau mengingatnya sama sekali.

Deretan nama perempuan di Google pada laman-laman gosip itu sebenarnya tidak membuat Lara jengah. Itu mungkin masa lalu suaminya, ia tak keberatan. Tapi, bagaimana jika Juan tidak mau berubah?

Apakah dirinya tidak cukup cantik menyaingi mantan-mantan kekasihnya itu?

Lara berdiri di hadapan cermin kuno berukir yang tergantung rendah di sisi lemari. Ia melihat bayangan dirinya. Setengah geli dan malu. Jika mungkin tadi ia masih melihat semu merah di pipi karena menahan rasa malu saat hendak menggoda suaminya, kini pipinya memucat.

Ia seperti baru melihat hantu.

Lara memutar tubuhnya, apakah ada yang salah dengan bentuk tubuhnya ini? Menurut Gendis dan Woro, ia memiliki tubuh paling proposional di antara putri-putri de Weisch yang lain. Walau warna kulitnya paling gelap. 

Menurut tetangganya yang terkadang bermulut tajam, wajahnya tidak terlalu komersil dibanding saudari-saudarinya. Ia hanya tertawa. Lara sama sekali tidak hendak mengkomersilkan wajah atau tubuhnya.

Tiba-tiba Lara merindukan keluarganya.

Lara melipat lingerie pembawa bencana itu ke dalam koper mungilnya. Empat lingerie licin berwarna gelap itu sudah rapi tak mengintip apapun dari dalam. Di sana pasti gelap dan pekat. Gadis itu membatin.

Ia melongok melihat jam weker di atas nakas, sudah pukul satu malam, tapi ia tak kunjung bisa memejamkan mata. Ia sudah mengenakan piama flannel yang hangat dan nyaman. 

Membersihkan rambutnya dari jepit-jepit kecil bermotif mutiara, dan mencuci bersih tangannya menyingkirkan harum parfum berwangi vanilli.

Apakah ada yang salah jika ia memulai? Ia dan Juan sudah menikah setidaknya tujuh hari. Selama itu, mereka sibuk dengan beragam hal hingga melupakan malam pertama. Bukankah itu malam yang penting?

Menurut apa yang dibaca dan dipelajarinya bersama ustazah Alia, tak mengapa jika perempuan yang mengambil inisiatif, itu juga bagian dari pelayanan pada suami. Sebuah service excellent untuk memperdalam cinta pada pasangan. Begitulah Lara mengingatnya.

Jadi, selama perjalanan ke resor ini, dan sepanjang siang tadi ia sudah merencanakan malam ini. Ia bahkan makan sedikit sekali sehingga pinggangnya bisa terlihat lebih rata.

Yah, ia memang tak bermasalah dengan berat badan, tapi menjaga agar tubuhnya tampak prima pada malam pertama sepertinya juga bagian dari ibadah.

Apakah hal ini terlalu cepat bagi Juan? Secara teori mereka memang baru mengenal, bahkan mungkin tidak sampai sebulan ia bertemu kali pertama dengan Juan lalu menikah. Adakah pernikahan modern yang lebih cepat dari itu?

Atau apakah lelaki itu keberatan jika perempuan yang melakukan inisiatif terlebih dahulu? Lara menggeleng kuat. Sepertinya tidak. Juan dibesarkan dari keluarga berdarah asing yang tentu jauh lebih bebas menerjemahkan relasi laki-laki dan perempuan.

Malam Pertama Lara (18+)Where stories live. Discover now