Chapter 3

14 2 3
                                    


Beberapa pil melompat-lompat dalam ruang yang sempit, Maika memainkannya bersama kepala kosong. Bunyi dari pantulan itu seperti detakan jam, tapi ia tidak memiliki ide apapun untuk mengisi waktunya. Benda ini seperti mainannya, ia tidak bisa melepasnya.

"Obat apa yang kaupegang itu?" Yohioloid menuju ke arahnya dengan cukup tergesa, sementara ia terkesiap dengan kepolosan yang dibuatnya tanpa berpikir; menyembunyikannya di balik punggung.

"Dari tadi aku memerhatikannya." Dia duduk sejajar—di karpet—dengannya.

"Kau salah lihat." Tangannya yang melindungi wadah kecil itu mulai terganggu oleh rasa ingin tahu dari pemuda—di depannya.

"Kukira kau sudah terbebas dari hal-hal semacam ini." Wajah itu melemah dengan kekhawatiran dan kekecewaannya, mungkin itu yang ingin disampaikannya dengan tangan yang berusaha membongkar kepalan yang tetap dieratkannya.

"Ternyata kau masih seperti ini."

Maika membuang muka, tidak memiliki pernyataan yang bisa menjadi patokannya saat ini. Perasaan ingin mengakhiri segalanya memang memudar, tapi menyukai kehidupan itu sendiri; ia masih belum bisa.

"Aku memberimu kehidupan yang lain dan kupikir—kau akan menerimanya."

Ketika ia mencoba mengelak tangan itu—lebih ke belakang, wajah yang masih meluapkan ketidakmengertian itu tak sengaja ikut terdorong ke depan, mungkin karena tangannya mengekori pergerakan itu.

Maika keberatan dengan situasi ini, dan orang ini tidak menyingkir.

"Tapi, kenapa..."

Dia menangkap mulutnya yang masih tidak bisa berdalih dengan lumatan lembut sekaligus sensasi dingin yang ditawarkannya.

Yohioloid menjauh dengan rona memerah yang membuatnya berpaling untuk sesaat. Maika tetap mengarah menagih maksud, terkejut masih mendominasi; dan ia baru menyadari handuk—yang tampak basah—yang melingkar pada tengkuk orang itu.

"Aku mencintaimu." Spontan, tapi keyakinan itu mulai mekar. "Jangan tinggalkan aku gara-gara perilakumu itu." Dia tepat menembak matanya.

Kalimat itu malah membentengi segalanya, hanya meninggalkan debaran dalam dirinya. Pelampiasan rasa malu yang dimilikinya tidak jauh berbeda dengan Yohioloid—yang sejak kapan; orang itu bisa berterus terang seperti itu--.

"Aku tidak sempurna. Kau akan menyesal jika memilihku."

"Aku tidak peduli. Kehidupan di rumah ini menjadi berbeda sejak kau berada di sini, dan aku bahagia. Kau terlihat tulus ketika melakukan segala hal—pekerjaan rumah—di rumah ini."

Dia tidak berbohong, kilauan dari matanya tetap berbinar.

Tetapi tingkat kepercayaan tidak bisa terbuka begitu saja.

"Kau mencintaiku hanya karena bantuan seperti itu." Aksen pelan.

"Untuk perasaan itu, aku tidak punya alasan." Jeda untuk berpaling sesaat, sebelum hendak membakar wajahnya dengan pernyataan lagi. "Kau mau aku menikahimu—supaya kau percaya?"

Ia tidak pernah merasa dituntut menatap keyakinan yang meminta jawaban selain seseorang di masa lalunya pernah mengingkari perbuatan semacam ini. Kenangan itu menyakitinya, namun respon dari matanya yang mulai mencair justru karena pernyataan—yang terdengar bersungguh-sungguh—dari seseorang yang bisa menerima dirinya.

Ia merasa—dirinya 'diinginkan'.

"A-Aku... selalu merasa dibenci..." Maika sibuk mengurusi air matanya sebelum akhirnya orang itu menyediakan lengan untuk mendekapnya.

UnwantedWhere stories live. Discover now