Chapter 1

28 2 1
                                    


Kegelapan melumat berbagai fasilitas menurut aturan waktu, dan jalan yang membentang tubuh sungai ini nyaris tidak dipedulikan.

Kehidupan tetap membahas penderitaannya. Kesedihan sudah mengosongkan hatinya, sementara ketakutannya mengenai luka-luka fisik itu sudah ditangani.

Dibanding luka, ia takut pada masa depannya sendiri.

Tidak ada yang memerhatikan pagar sungai dingin yang tersamar oleh gelap, dan mereka tidak akan peduli pada seseorang yang membuang waktunya untuk menaikinya. Sungai yang merunut arus kebalikan—dari hadapannya—hanya mengguratkan kerlap-kerlip cahaya dan itu tidak seindah bakteri juga kedalaman yang akan menyiksanya, pasti. Tetapi ia bertaruh; jika kehidupan memang sudah mengatakan tak layak, dari kesendirian yang terus menjalar sementara dosa seperti tidak pernah berhenti.

Tubuhnya berada di depan pembatas itu, pegangannya ke belakang mulai mengendur.

Ia tidak peduli jika namanya bukanlah yang paling banyak dikenang orang.

Sungai itu sudah menawari kematian padanya. Kesengsaraannya akan segera berakhir, untuk dunia yang tidak akan berubah sekalipun tanpanya.

Hanya saja, seseorang merenggut lengan kanannya ketika tubuhnya sudah lepas dari pijakannya.

"Dasar gila!"

Luka dalam dirinya malah berdenyar ketika seseorang berlagak peduli hanya karena perilaku spontan dan cara kasar orang itu.

Caranya yang bergegas menghela lengan berbalut kaos panjang putih sementara ia meronta dengan kehancuran dari wajahnya.

"Jangan memberi kematian untuk dirimu sendiri!"

"Aku tidak ada hubungannya dengan dirimu!" Ia berupaya membuat dirinya terlepas bahkan dengan kedua kaki yang menekan bebatuan—pinggiran jembatan. "Lepaskan!"

Sekeliling tidak ada yang menyahut apalagi bergegas meski hanya menonton. Pemuda ini—kenapa bisa datang, dan ia cukup muak dengan malaikat menjijikkan yang tidak akan mengerti perasaannya.

Kehidupan terus meludahinya.

"Aku tidak mungkin berpura-pura tidak tahu..." Dia tertahan untuk mengatakan sesuatu, tubuh yang terjulur itu sedang mempertahankan dirinya.

Dirinya yang tetap membangkang dengan lengan yang meminta haknya.

Untuk dilepaskan dan terjatuh.

Air matanya tidak ditanggapi, sementara cengkeraman orang itu bisa menangani tubuh kurusnya meski perbatasan itu pasti menyakiti perutnya.

Ia membentak seperti kerasukan, tapi pemuda itu sepertinya kehabisan kosakata.

Ia tiba-tiba membenci dirinya yang berhasil didekap dan kembali ke daratan, menoleh banyak objek seolah bukan di sini seharusnya.

Takdirnya masih berada di bawah sana; sungai yang kelam.

"Aku tidak pandai memotivasi orang." Berkas cahaya yang sedikit menghidupkan rambut pirang itu, wajah dingin itu tidak mengartikan apapun.

Sementara ia tertengadah dengan kerapuhan yang lebih memihak pada kebingungannya.

"Tapi sebenarnya, jalan itu bercabang. Masih ada cara lain yang bisa kaujalani untuk mengesampingkan niat burukmu itu." Pemuda itu menyergap pergelangan tangannya sebelum ia hendak protes.

.

.

Ia baru pulang dari perkumpulan band indie sebelum akhirnya bertindak sejauh ini. Tujuannya hanya untuk menjauhkan perempuan itu dan membuatnya melupakan arah menuju sungai itu. Sayangnya itu hanya pemikiran jangka pendek sebelum akhirnya ia melanjutkan rancangan di kepalanya; apa yang akan dikatakannya pada gadis ini jika rasanya pinggiran jalan perkotaan tidak mengantarnya ke manapun.

Yohioloid agak ragu untuk berpaling ke belakang, orang yang tidak menolak tangannya yang tertahan karena sorotan matanya tidak mengartikan apapun.

Ia tidak pernah berperilaku spontan pada orang asing seperti ini kecuali menolong anak kecil yang terjatuh dari sepeda atau anjing yang tertabrak mobil.

Dengan kebingungan yang tidak bisa disembunyikan, tangannya bergerak untuk tidak memaksa lagi. Dia mengusap pergelangan tangannya seperti memulihkan rasa sakit, padahal Yohioloid merasa tenaganya tidak seberapa. Gadis itu tidak menghindar meski mereka sedang berhenti melangkah.

"Kuharap kau tidak kembali lagi ke sana." Wajah itu berlagak tidak memahami, ia mendadak meragukan harapannya. "Kau harus pulang ke rumahmu. Ingatlah keluarga yang merindukanmu."

Dia mengelak perkataan itu dari kepalanya. "Aku selalu sendirian."

"Rasanya tidak mungkin."

"Aku tidak membutuhkan kepercayaanmu. Terima kasih sudah membuang waktuku." Langkah yang singkat untuk mundur sebelum akhirnya dia menghadapi berbagai kendaraan yang melesat secara langsung.

"Jangan seperti itu!" Yohiolod terkesiap untuk menangkapnya seperti saat ia melihat percobaan bunuh diri sebelumnya. Dua kali cara seseorang untuk bunuh diri; mencegah saja tidak bisa mengubah segalanya.

"Kenapa kau selalu...."

"Aku tidak punya rumah!" Dia meledak dengan air matanya lagi, seperti tadi. "Hidupku sama saja.... Aku tidak mau tinggal di sana lagi...."

Tidak banyak yang bisa dilakukannya. Dan jika ia menyerah lalu berlagak tidak peduli, pertolongan yang diberikannya tadi akan sia-sia.

"Apa yang bisa kulakukan untukmu?"

"Tidak ada, aku akan pergi."

Malam yang meliputi sudah menandakan perubahan pada jumlah kendaraan di jalanan, tiba-tiba ia mengkhawatirkan orang-orang jahat yang berkeliaran. Dalihnya menjadi mendesak dan berbelok; lagi-lagi spontan.

"Berbahaya kalau kau sendirian di jalanan. Aku ingin membantu."

Gadis itu tidak mengalami perubahan, dan hendak berbalik—tidak peduli kalau saja ia tidak menahan bahunya.

"Aku serius." Terjeda, Yohioloid mengutuk masalah ini. "Kau bisa menginap di rumahku, aku tinggal sendirian di sana."

Memang tidak waras—baginya, mengajak orang asing—yang bahkan tidak diketahui baik jahatnya—hanya untuk mencegahnya dari tindakan itu.

Dia bahkan tidak memiliki jawaban, tapi Yohioloid tidak ingin bersandiwara lebih lama lagi di tempat ini.

Caranya yang mengajak tangan rapuh itu tetap sama; tidak beriringan.

"Kenapa kau peduli? Kau tidak mengenalku." Suara itu selembut angin. "Kau siapa?"

"Yohioloid." Ia menoleh untuk perkenalan yang dilakukannya. "Dan kau siapa?"

"Maika." Tanpa senyuman. 

UnwantedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang