Bab 1

690 258 181
                                    

Aku baru saja menyelesaikan makan malamku. Hanya menu sederhana yang kumasak sendiri malam ini. Mama sedang pergi ke rumah Bu Risa, tetangga samping rumahku. Tak tahu mau ngapain. Setelah membereskan peralatan makan yang kugunakan, aku bergegas menuju kamarku. Malam ini aku harus menyelesaikan formulir pendaftaran ekstrakulikuler yang akan kuikuti.

Sesampainya di kamar, aku mematikan lampu kamarku. Ini adalah kebiasaanku, saat akan belajar atau melakukan sesuatu yang serius. Tanda aku tak mau diganggu. Aku sudah terbiasa dengan kegelapan kamar ini, tanpa meraba sekitarku pun aku sudah tahu dimana letak kursi yang berada dihadapan meja belajarku.

Setelah pendaratan yang mulus di kursi, kunyalakan lampu belajar yang ada di atas meja belajarku. Cahaya temaram pun muncul, menyinari beberapa bagian meja. Aku menarik salah satu buku dari deretan buku yang ada dihadapanku. Buku itu berisi daftar ekstrakulikuler yang berhasil kukumpulkan saat masa orientasi siswa. Aku tak mencatat semuanya, hanya beberapa yang kuminati saja.

Tangan yang semula menggengam buku pun mulai kupindahkan untuk menopang daguku. Aku bingung ekstrakulikuler mana yang harus kuikuti. Setidaknya dalam daftar tersebut aku telah mencatat lima ekskul. Sebenarnya di masa SMA ini aku ingin mulai berubah, Aku ingin lebih membuka diri dan percaya diri. Aku ingin mengikuti kelima kegiatan tersebut, tetapi karena kejadian MOS dan hari Senin lalu rasa percaya diriku malah semakin menurun.

Ingin rasanya tak mengikuti kegiatan apapun semenjak kejadian itu, tetapi sekolah mewajibkan siswanya untuk mengikuti minimal satu kegiatan ekstrakulikuler di sekolah. Aku melihat kembali daftar yang ada pada bukuku. Mulai berpikir sejenak, namun tak lama kemudian kuputuskan untuk mengeluarkan pulpen dari kotak pensil. Lalu kugoreskan tinta yang ada pada pulpen tersebut untuk mencoret kata 'English Club' dan Klub Debat.

Kalau aku berada disana, aku pasti akan habis diolok-olok mereka tentang kejadian MOS. Seperti yang dikatakan oleh siswa yang terlambat bersamaku, aku peraih NEM SMP tertinggi disekolah namun tak bisa menjawab soal anak SD. Otak ku mendadak error saat itu. Bodohnya aku!

"Ah, aku sangat ingin mengikuti klub ini," gumamku sembari dengan setengah hati menggoreskan tinta pada kata 'Karya Ilmiah Remaja'. Alasan yang sama seperti aku mencoret kedua kegiatan sebelumnya.

Kali ini hanya tersisa ekstrakulikuler 'Remaja Pecinta Kemping' dan 'Paskibra'. Namun tanpa ragu aku segera mencoret Paskibra dari daftar. Tak sama seperti sebelumnya, kali ini alasanku tak memilih Paskibra karena kebanyakan anggota kegiatan ini adalah siswa yang juga mengikuti OSIS. Bahkan kakak kelas yang membuatku malu saat MOS juga ada di ekstrakulikuler tersebut.

"Ok, gak ada masalah sama ekskul yang terakhir."

Setelah membuat keputusan, aku segera menyelesaikan formulir pendaftaran. Besok formulir ini harus kukumpulkan saat istirahat di sekretariat 'Remaja Pecinta Kemping'.

***

Besoknya, seusai lonceng tanda istirahat dibunyikan, Aku bergegas menuju sekretariat sendirian. Fara, teman sebangkuku tak bisa menemaniku. Ia harus ke ruang guru katanya. Berbicara soal Fara, aku ingin mengatakan kepada kalian bahwa dia adalah anak yang baik. Saat aku meminta untuk duduk sebangku dengannya, dia mengangguk dengan senang hati. Berbeda dengan siswa lainnya ia tak melihatku dengan pandangan mengejek. Ia juga memanggilku dengan nama panggilanku. Tak seperti yang lain, memanggilku dengan sebutan 'Nem'.

Aku pikir Fara tak masuk saat masa orientasi, namun ternyata tidak. Ia masuk dan melihatku juga. Saat kutanya mengapa ia tak memandangku seperti siswa lainnya memandangku, ia hanya menjawab dengan senyuman. Aku ingat betul senyumnya yang penuh arti saat itu, lalu ia berkata bahwa setiap manusia pasti melakukan kesalahan dan tak ada yang bisa mengatur kapan kesalahan itu akan terjadi. Aku benar-benar bersyukur bisa menemuinya!

Oke, kita kembali ke cerita. Setibanya di sekretariat, dapat kulihat seorang siswa laki-laki yang menggunakan bet angka romawi sebelas sedang berdiri diambang pintu. Tanpa ragu aku pun menghampirinya.

"Kak, ini formulir saya," ucapku seraya memberikan selembar kertas kepada seorang kakak kelas yang berdiri di ambang pintu sekretariat.

Ia tak langsung mengambil formulirku. Dia memandangku dengan tatapan familiar. Saat itu aku berpikir pasti dia mengenaliku dan mengetahui kejadian di MOS.

"Loh, kamu kan...."

"Kak, saya mau daftar kegiatan," ucapku dengan nada tegas. Bukan bermaksud tak sopan, tetapi aku hanya tidak ingin ia melanjutkan perkataannya.

"Ooh, oke."

Ia pun mengambil kertas formulir dari tanganku. Lantas melihat isinya sejenak. Tak berapa lama kemudian timbul gerakan dari kepalanya. Ia tampak mengangguk-angguk.

"Gue Rafa Widayadharma, lo bisa panggil gue Rafa. Jadi, nama lo Allaney Fortunata. Panggilannya?" tanya kakak kelas tersebut yang ternyata bernama Rafa.

"Ey."

Sungguh saat itu bukan aku yang menjawabnya. Suaranya berasal dari dalam sekretariat. Aku dan Kak Rafa sama-sama menoleh menuju sumber suara. Tampak seorang siswa laki-laki sedang memegang sebuah gitar. Dan aku sangat familiar dengan wajahnya. Dia adalah siswa yang telat bersamaku hari senin kemarin.

"Nama rimba lo, Ey," ucapnya sekali lagi.

Aku menatapnya heran. "Nama rimba?" tanyaku tak mengerti.

Namun, dia hanya mengangkat kedua bahunya. Entah apa maksudnya.

"Itu nama panggilan khusus untuk anak yang masuk di ekskul ini. Tapi, biasanya sih yang bersangkutan yang memilih nama rimbanya sendiri," Kak Rafa membantu menjelaskan.

"Panggilan saya Allaney."

Namun ia tak menjawab lagi perkataanku. Ia hanya diam sambil mulai memainkan gitarnya.

"Dia Nico Daniel Saputra. Lo bisa panggil dia Daniel. Jangan terlalu ditanggapin. Emang begitu anaknya," ucap Kak Rafa saat itu.

Sekali lagi aku menandai hari itu. 25 Juli 2008, pertama kali aku mengetahui namanya. Kak Daniel yang masih menyebalkan saat itu.

Aku, Dia, dan Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang