Aku berhenti tepat di depan pintu kayu putih dengan kaca jendela kecil di salah satu sisinya. Aku mengintip ke dalam. Aku melihat Rugos berdiri di sisi ranjang Sisi yang kini masih di tangani seorang dokter werewolf perempuan dan dua orang suster yang kulihat adalah wizard perempuan. Aku melihat tubuh Sisi yang terkulai lemas, napasnya tak beraturan, aku melihat matanya menatap langit-langit dengan begitu sendu.

Pemandangan itu menamparku. Aku merasakan ada yang menusuk dadaku. Rasanya sakit dan memilukan. Aku merasakan napasku mulai sesak, mataku panas dan tubuhku bergetar. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku, tetapi aku berusaha menahan diriku. Aku menyandarkan kepalaku di dinding ruangan itu, menunggu dengan tak sabar.

Kemudian aku mendengar suara pintu dibuka. Aku menoleh, melihat Rugos, dokter dan dua suster itu keluar dari ruangan. Aku bergegas menghampiri mereka.

"Bagaimana? Sisi kenapa?", tanyaku sambil menatap tak sabar kepada Rugos dan dokter itu secara bergantian. Rugos menghela napas perlahan dan menoleh pada dokter itu, mempersilahkannya menjelaskan padaku.

"Dia tidak apa-apa.", jawab dokter itu.

"Ngga apa-apa gimana? Itu dia kelihatan lemas begitu?!", omelku tak terkontrol.

"Digo.", Rugos berkata pelan namun penekanan. Jelas ia mengharapkan aku bisa berkata lebih sopan. Aku mengumpat pada diriku sendiri.

"Iya. Baik. Tapi apa yang terjadi padanya?", tanyaku lagi, kali ini berusaha keras bicara dengan tertata.

"Ia keracunan. Seseorang memasukkan serbuk sari beracun ke salah satu makanannya, yang kutebak adalah rebusan jamur yang dimakannya tadi pagi.", kata dokter itu padaku.

Pikiranku melayang ke ruang makan pagi tadi. Aku memang tak makan bersamanya, aku tak melihat apa yang dimakannya. Aku mengepalkan tanganku. Hiro! Aku tak akan mengampunimu kalau sampai terjadi sesuatu pada Sisi. Aku buat kamu menyesal pernah mengenalku! Aku mengumpat dalam hati.

"Berapa lama ia sembuh, dok?", tanyaku lagi.

"Saya belum tahu. Apabila racun serbuk sari itu sudah dicerna dan mengalir dalam darah, mungkin akan membutuhkan waktu lebih lama.", jawab dokter itu. Aku hanya menatapnya nanar. Separah itukah racun serbuk sari itu? Aku bertanya dalam hati.

"Saya permisi dulu.", kata dokter itu, membuyarkan lamunanku.

Aku menatap Rugos, ia mengangguk dan menggeser tubuhnya mempersilahkan aku masuk. Aku menyentuh pegangan pintu, seperti biasa pintu itu mengayun perlahan dan aku bergegas masuk menghampiri Sisi.

Aku berdiri di sisi ranjangnya, melihat matanya terpejam begitu damai. Selang infus dan oksigen membuatnya tampak menderita. Aku tak suka melihatnya seperti ini. Aku menarik sebuah kursi dan meletakkannya di samping ranjang Sisi. Aku duduk dan menatapnya sedih.

Kugenggam tangannya yang lemah, kudekatkan ke wajahku dan kutempelkan punggung tangannya ke pipiku. Aku merasakan mataku panas, ada sesuatu di pelupuk mataku yang membuat pandanganku kabur. Semua tampak buram. Lalu rasa sesak di dadaku membuat aku meneteskan sesuatu. Air mata. Aku menangis. Aku tak peduli. Sisi, peri ku. Peri cantikku. Aku tak suka melihatnya begini.

Ini semua salahmu Digo! Aku memarahi diriku sendiri. Teringat akan Hiro. Pasti Hiro melakukan ini untuk menyakitiku. Untuk menggangguku. Kasihan Sisi, karena aku dia jadi menderita begini. Aku mengutuk diriku sendiri. Menatap Sisi dengan wajahku yang basah berderai air mata.

------------------------------------------------------

Sinar matahari begitu terik menusuk kulitku. Aku berusaha mengabaikannya dan berkonsentrasi mencabuti rumput liar di hadapanku. Baru sepertiga bagian yang berhasil kubereskan. Aku merasakan peluh mengalir di wajah dan sekujur tubuhku. Tapi yang aku pikirkan hanyalah bagaimana menyelesaikan ini secepatnya.

nightingaleOnde histórias criam vida. Descubra agora