"Selamat datang." Sapa wanita itu berjalan memeluk satu persatu suami istri itu. Tawa riangnya lebih memecah suasana pagi itu. "Kau mulai terlihat subur yeach seperti aku, Arif." Katanya menggoda.

"Aku jarang olah raga lagi, Dwi. Kerjaan membuatku tidak punya waktu ke gym lagi."

"Alasan kerjaan?" Kata istrinya protest. "Tetapi iya juga sih, kerjaannya mulai sama denganmu deh Dwi!"

"Kerjaan apaan sih?"

"Istriku kayaknya rasis deh." Kata Arif lalu menepuk pundak istrinya. "Kamu mau bilang khan kalau kerjaku makan terus."

"Ehh..maaf, sepertinya anda tidak menyindir suami anda, tetapi menyindir saya kayaknya." Ucap Dwi dengan gesture mendramatisir.

"Aku kangen Dwi sama kamu." Kata Istri Arif memeluk tubuh gempal Dwi." Lama yeach, kita tidak ketemu...hampir dua tahun"

"Yeach begitulah kayaknya, yeach. Aku harus ikut dengan waktu luang suamiku, tidak memungkinkan bisa kemana-kemana dulu dari kota ini. Tidak seperti kalian yang bisa traveling kemana mana yeach bersama anak-anak artis ini." Ia kemudian beralih memeluk satu persatu dari dua bersaudara. Si bungsu nampaknya tengah berjalan menghampiri sebuah bangunan kecil yang hanya berupa satu ruangan lembab yang terhalang belukar rimbun. Tempat itu bahkan nyaris tidak terlihat, kesannya memang seperti rimbunan belukar, kalau tidak diperhatikan dengan saksama.

"Gimana kabar, Mat." Arif menegur lelaki yang tengah muncul dari arah bagasi belakang.

"Mulai subur juga, bro." Katanya seraya menunjukkan kantong yang berisi makanan dalam kemasan kotak. "Yuk, kita eksekusi makanannya di dalam langsung."

Dwi berjalan membuka pintu pagar, cukup tinggi dengan besi ramping yang jarang sehingga halaman dan pemandangan rumah sangat jelas terlihat dari arah jalan.

"Dendy!!" Si Ibu memanggil si bungsu yang nampak asyik mengamati bangunan itu. Ia tidak menjawab panggilan, nampak terdiam memandang sesuatu. Si Ibu menghampiri kemudian.

"Dendy, kamu jangan sembarangan menjelajah seperti ini, sayang. Kamu belum tahu tempat ini, nanti ada lubang di sana terus kamu terperosok jatuh."

Si Ibu tiba-tiba terdiam memandangi bangunan kecil itu. Terlihat aneh keberadaannya yang hampir tertutup dengan belukar. Yang membuatnya tertegun karena bangunan dengan ruangan kecil, dimana untuk satu mobil saja tidak akan mampu terparkir di dalam sana. Entah difungsikan untuk apa, ada ventilasi di atas pintunya yang terbuat dari kayu. Letak pintu berada di tengah tengah dinding yang menghadap ke arah jalan. Bentuk daun pintunya berupa kayu yang terbelah dua dimana saat akan dibuka akan mengayun ke masing-masing sisi. Tetapi sisi yang satunya sudah hilang hingga dari pintu tersebut menampakkan sedikit isi ruangannya yang gelap. Atapnya terbuat dari beton dan dari dinding seperti ada sebuah pipa besi yang mengucur menembus dinding tembok ke dasar tanah. Dari dalam, terdengar seperti ada desir air.

Si Ibu terdiam, ia hanya menghalau tubuh Dendy untuk berbalik mengikutinya masuk ke halaman rumah.

Masuklah mereka mengamati suasana di dalam rumah tersebut. Ruangan tamunya sempit, dan dinding di semua ruangan nampaknya berwarna pink. Untuk ruangan tamu hanya berderat sofa dan dua kursi kayu. Di dindingnya kosong, tidak ada pajangan apapun. Kemudian, berbelok ke sisi kanan, adalah ruangan makan dengan sekat satu meter yang menyembunyikan dapur. Pada dinding ruangan terdapat tiga foto besar berisikan foto sepasang suami istri (pastinya), berusia kisaran 40 – 50 tahun. Tetapi dari cara berpakaiannya menunjukkan era tahun delapan puluhan. Pakaian mereka formal, untuk pria berupa jas sedangkan wanitanya mengenakan kebaya hijau dengan selendang merah yang menyampir di sisi kanannya. Di sebelah kirinya adalah lukisan beberapa orang yang mengenakan pakaian portugis, sedangkan lukisan yang satu, wajah seorang pria tua dengan pakaian hoodie coklat, lalu kemejanya tersematkan dasi. Nampak seperti seorang akademisi. Deretan kursi di ruangan ini malah terlihat antik, mejanya sederhana tetapi bentuknya sudah pasti tidak ada lagi yang memproduksi, kursinya terbuat dari rotan. Di sisi ada sebuah ruangan luas yang berisikan kasur bertingkat yang kiranya bisa memuat 6 orang. Tidak ada meja rias ataupun deretan rak. Lalu ruangan yang satu lagi berupa kamar yang hanya memuat satu kasur.

DATULANAWhere stories live. Discover now