Bab 1

14.3K 1K 124
                                    

Kamu, orang yang masih terus kuperjuangkan. Semoga izin Tuhan bisa segera kudapatkan.

Usia 34 tahun bukanlah usia yang muda lagi untuk seorang laki-laki sepertiku. Kerja pagi pulang malam, libur dihari sabtu dan minggu sering kuhabiskan untuk membantu ibu membersihkan rumah, dan berolah raga tentu saja, tapi tetap saja usia tidak bisa dibohongi.

Setiap kali aku menatap cermin, beberapa keriput di area sekitar lipatan mataku sudah jelas sekali terlihat. Lalu sudut bibirku yang juga sudah mulai berkeriput. Sampai terkadang rasanya lebih baik aku panjangkan kumis dan jenggot agar bisa menyamarkan keriput tersebut.

Namun tetap saja, tubuh yang baru terkena udara dingin sedikit, langsung drop. Seperti hari ini.

Seharusnya sabtu pagi begini aku berolah raga, mengendarai sepeda sampai ke pusat kota Jakarta. Tapi karena kondisi yang tidak memungkinkan aku menggantinya dengan membantu ibuku menyapu dan mengepel rumah ini.

Mungkin banyak yang aneh melihatku mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tapi bagi orang yang sudah mengenalku, semua itu terlihat biasa saja.

Selalu dididik mandiri oleh ibu dan ayahku, aku berhasil tumbuh menjadi anak yang kurang lebih masih memiliki pikiran untuk tidak menyusahkan kedua orangtuaku. Mulai dari zaman ketika sekolah dulu, sampai sudah kerja kini, ibu dan ayahku cukup bangga melihat aku yang menjalani kehidupan dengan sangat baik.

Kalau dipikir-pikir kedua orangtuaku bukanlah orang kaya. Ayahku kebetulan bekerja sebagai seorang supir dari orang Korea. Sedangkan kini ibuku, berjualan kue subuh, kecil-kecilan di dekat rumah.

Sebenarnya tanpa ibu berjualan pun, semua kebutuhan untuk hidup masih tercukupi. Namun karena ibu berpikir masih mampu mencari uang dan tidak ingin merepotkan anak-anaknya, maka dia juga ikut berusaha. Dan terkadang uang hasil jualannya dia kirimkan ke kampung untuk memenuhi kebutuhan keluarga di sana.

"Ga, Diya hari ini pulang, kan?" tanya ibuku dengan wajahnya yang begitu penasaran. Celemek bergambar bunga yang dia pakai sebagai pelapis bajunya ketika memasak membuatnya semakin cantik di mataku.

"Enggak tahu, Bu. Diya enggak WA." Aku menjawabnya santai. Melanjutkan kegiatanku kembali. Mengepel lantai rumah. Kebetulan pagi-pagi sekali ayahku sudah harus berangkat, menjemput majikannya yang akan melakukan olahraga golf.

"Kamu WA sana, Ga. Tanya dia, minta dijemput enggak di terminal?"

Karena ibuku sudah memberikan perintah, aku langsung menghentikan kegiatan mengepel lantai sebentar. Mencari di mana ponselku berada, lalu mencoba mengirimkan pesan pada Diya.

Ardiya Sidharta. Atau yang aku, ibu dan ayah panggil, Diya, adalah adikku. Usianya baru 26 tahun, dan kebetulan baru setahun ini dia mendapatkan pekerjaan.

Setelah lulus dari kuliah jurusan teknik elektro, Diya mencoba banyak peruntungan agar bisa mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai negeri. Namun langkahnya masih belum dipermudah olehNya. Hingga akhirnya Diya pasrah bekerja di salah satu pabrik besar di daerah Cibinong.

Berdasarkan pekerjaan itulah, Diya harus tinggal di sana dan pulang ke rumah seminggu sekali atau sewaktu dia mendapatkan libur panjangnya.

Untuk itulah ketika libur seperti ini, aku yang membantu ibu mengerjakan semuanya.

Ibu memang hanya memiliki aku, dan Diya. Dua anak laki-lakinya yang kini sudah tumbuh tinggi dan besar, melampaui dirinya. Tapi aku tahu ibu yakin anak-anaknya tumbuh besar dengan baik atas dididikannya selama ini.

"Udah Riga WA, Bu. Tapi belum dibaca sama Diya. Emangnya dia mau pulang minggu ini?" tanyaku kembali pada ibu.

"Ya pulang lah. Yang ibu dengar kemarin ini, Diya bilang mau nemuin pacarnya si Tiara. Katanya Tiara mau balik ke kampungnya, ngelanjutin bisnis ayahnya itu."

Aku berhenti menggerakan tongkat kain pel. "Jadi mereka pisah, gitu?"

"Ya, enggak gitu juga dong, Ga. Diya mana mau pisah sama Tiara. Yang ibu tahu mereka kenal udah lama dari zaman SMA, kan?"

"Tapi aku sih enggak yakin Diya bisa jalani hubungan jarak jauh." Kataku kembali melanjutkan hingga akhir kegiatanku, sebelum membantu ibu menjemur pakaian.

"Hus, kamu ngomong apa sih, Ga. Kamu tuh harusnya doain adik kamu. Jangan karena kamu jomblo, Diya enggak, kamu jadi doain adikmu putus."

"Riga enggak gitu ya, Bu."

Kulihat ibuku tertawa. Menggeser ember berisi pakaian yang siap kujemur di depan.

"Kamu ya cari pacar lagi. Kalau yang kemarin belum sukses, ya jangan patah semangat dong."

Aku cuma bisa tersenyum, "Riga maunya langsung nikah aja, Bu. Capek pacaran."

Jawabanku mengenai jodoh tadi ternyata dilanjutkan oleh ibu. Dia bahkan sampai mematikan kompor di belakang demi berbicara denganku di depan rumah.

Perumahan komplek sederhana di mana rumahku berada memang sangat ramai pagi hari. Orang berjualan banyak sekali, seakan bersahut-sahutan sampai kadang mengacaukan pendengaran.

"Terus kamu mau nikah sama siapa? Memangnya udah ada calonnya?"

"Ibu cariin aja. Yang penting baik anaknya, Riga terima."

"Yang benar, kamu? Kok kayak orang frustasi gitu. Kenapa?"

"Enggak papa, Bu. Udah bukan waktunya lagi Riga main-main dalam menjalani hubungan. Riga mau kenal perempuan, terus siap Riga ajak nikah. Bukan malah enggak jelas mau dibawa ke mana hubungan itu."

"Ya udah, nanti ibu bantuin cari. Kamu juga toh banyakin berdoa. Biar enggak seret jodohnya. Dulu mah ibu waktu seusia kamu udah punya dua anak. Ayahmu juga."

Aku cuma tersenyum, memandangnya berlalu masuk ke dalam rumah lagi.

Jujur saja, sebenarnya aku juga malas dijodoh-jodohkan seperti ini. Namun sejak 2 tahun yang lalu, sejak hubunganku dengan dia tidak jelas akhirnya, dan malah menyakitkan untuk dipaksakan, banyak sekali orang menyarankan kepadaku untuk berkenalan dengan rekanan mereka. Teman dan sahabatku berharap, dari perkenalan yang mereka siapkan untukku bisa berakhir dipelaminan.

Tapi anehnya, 2 tahun sudah, belum ada satupun yang berhasil bertahan dan masuk ke dalam hatiku untuk bisa kuperjuangkan. Ada saja hasilnya, sampai-sampai aku lelah untuk dicomblangkan oleh temen-temanku itu.

Namun kini, aku malah meminta ibu untuk mencarikanku jodoh. Aku yakin ibu paham seperti apa perempuan yang terbaik untukku. Sampai-sampai rasanya aku berharap pilihan yang akan ibu berikan kepadaku membawa kebaikan tersendiri.

Karena aku pernah dengar sebuah pepatah mengatakan, orangtua memang belum tentu benar. Tapi orangtua jarang sekali salah. Apalagi dalam memilihkan jodoh untuk anaknya sendiri.

Untuk itulah doaku sampai detik ini masihlah sama, tolong, kamu yang di sana. Tetaplah setia menungguku. Sebentar lagi ibuku akan menemukanmu. Dan dia akan membawamu menemuiku. Laki-laki yang akan meminangmu dengan sah.

Tuhan tolong dengarkan permintaan hatiku ini. Aamiin. Aamiin.

Continue..
Hahaha.. Masih gue tulis. Tenang aja..
Btw.. Banyak yang tebak-tebak berhadiah, tapi malah jadi salah.. Whakaka.

Yg tanya siapa aku, gimana kehidupan aku dan keluarga, aku yakin kalian pembaca baru. Jadi nikmati aja jalan ceritanya. Gak perlu kulik cerita hidup penulisnya. Alhamdulillah saya sudah bahagia. Saya punya keluarga.. Jadi cukup tahu sampai situ saja.

Terus jadinya ini cerita siapa? 😆😆😆
Nanti diakhir aku kasih tau yee..

SAHजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें