"Kau pasti lapar. Ayo ke ruang makan." Aku menganggukkan kepalaku tak lupa memberi senyuman. Sepertinya pack ini tak seburuk yang aku kira.

*****


Aurora POV

Jam menunjukkan pukul delapan. Devan belum juga pulang dari perbatasan sedangkan perutku sudah meronta-ronta minta diberi makan.

Karena tak kuat lagi manahan lapar aku memutuskan untuk sarapan sendiri. Mama, Ayah dan Derin sudah pulang sejak kemarin malam.

Sesampainya di salah satu koridor aku bertemu dengan seorang gadis yang tampak asing di mataku. Ia sedang bejalan di depanku dengan jarak sekitar lima meter di depanku.

Aku mencoba menyusulnya dengan mempercepat langkah kakiku. "Kamu siapa?" ucapku setelah satu meter di belakangnya.

Ia berbalik badan dan menatapku intens. "Aku.." ucapnya bingung. Why? Ada apa dengannya?

Pandanganku teralihkan dengan pakaian yang ia kenakan. Bukankah itu pakaian yang aku kirimkan ke kamar kak Efan(Fano)?

"Permisi Luna, sarapan sudah siap," aku hanya mengangguk dan maid itu langsung pergi.

Mataku beralih kepada gadis di depanku ini. Ia tampak terkejut. Mungkin karena ia tahu jika aku adalah Luna di sini.

Melihatnya tampak lucu saat wajahnya terkejut seperti itu membuat ide terlintas di kepalaku.

"Baju yang kau pakai itu milikku," ucapku dengan percaya dirinnya.

Kulihat dia tampak sangat terkejut. Bukan bukan, lebih tepatnya takut. Melihat reaksinya seperti itu aku urungkan niatku untuk mengerjainya lagi.

"Maaf Luna aku tidak mengetahuinya. Aku akan melepaskannya segera," ucapnya panik. Dia ketakutan?

Tawaku pecah melihat ekspresi kakak iparku itu. "Kakak ipar, mengapa wajahmu setegang itu? Aku hanya bercanda kakak ipar."

"Kemarin kakaku meminjamkan pakaian itu untukmu, kalau kau suka bisa mengambilnya." jelasku agar ia tak bingung lagi.

"Dan jangan panggil aku 'Luna'. Panggil saja aku Rora." Sengaja aku melakukan ini agar aku bisa lebih dekat dengan dia.

"Tapi Luna jika-"

"Tidak ada tapi-tapian," ucapku memotongnya.

"Baiklah... Rora," ucapnya sedikit ragu dan aku hanya tersenyum hangat meyakinkannya.

"Sepertinya kau lapar. Ayo ke ruang makan." Dia menganggukkan kepala dan berjalan dibelakangku.

"Hai! Kenapa di belakangku? Tempatmu di sampinggu kak." Aku menarik tangannya, menjajarkan posisinya denganku.

"Tapi, saya merasa tidak pantas dersanding denganmu," balasnya dengan menundukkan kepalanya.

Sekilas aku berpikir, semasa tinggal di packnya dulu ia sebagai apa? Ah itu tidak lah penting, yang terpenting sekarang membuatnya tidak canggung lagi kepadaku.

"Kau sudah tau nama kakaku?" tanyaku asal untuk mencairkan suasana.

"Belum," jawabnya singkat dan tersenyum simpuk ke arahku.

"Namanya Elfano. Dia beta disini. Dia kakakku," ucapku tenang dan tulus, seperti membanggakan dia.

Kulihat gadis itu menatap ke arahku dengan tatapan kaget, kagun, dan tak percaya. Apa ia belum tau itu semua?

"Sepeetinya aku lupa menanyakan sesuatu. Siapa namanu?" tanyaku mengubah topik pembicaraan.

"Nesya," jawabnya singkat.

"Nama yang indah," pujuku.

"Terima kasih," balasnya sopan.

Tak terasa kami sudah sampai di ruang makan yang sudah disajukan beberapa menu makanan.

Aku mengambik kursi yang biasa aku tempati dan Nesya, dia masih berdiri di sana.

"Kanapa kau tidah duduk? Duduklah di depanku," ucapku melihat dia sedari tadi berdiri.

"Aku bilang duduk di depanku Nesya," ucapku yang mulai geram padanya.

Ia berjalan ke kursi yang barada di depanku dan duduk dengan ragu-ragu.

"Kau bisa memakan apa yang kau suka," ucapku setelah ia duduk dan muali mengambil sarapan untukku sendiri.

*****

Hari sudah malam. Lunar sudah bersinar dengan cahaya terangnya dan para kunang-kunang menambahkan cahaya-cahaya kecil yang cantik.

Devan sudah pulang dari tadi siang. Saat ini ia sedang mandi. Tumben sekali ia mandinya lama. Biasanya sangat singkat.

Sekarang aku sedang berdiri di baklon, menikmati malam yang sangat indah ini.

Sebuah tangan melingkar di pinggangku dan kepalanya mendarat di atas salah satu bahuku. Siapa lagi kalau bukan Devan. Tak biasanya ia bermanja manjaan kepadaku.

"Hai, Amour!" ucapnya dengan suara lebih berat dari biasanya.

"Dev, ada apa? Kau membuatku merasa geli." Aku berusaha melepaskan kedua tangannya yang memelik pinggangku erat. Namun, sia-sia saja.

"Aku sudah tidak tahan lagi," ucapnya terdengar ngelantur.

"Hem?" tanyaku lagi karena tak mendengar apa yang ia gumankan.

"Aku sudah tak tahan lagi. Apa kau bisa memberikannya sekarang?" Mata Devan merbinar dan berubah menjadi lebih pakat.

Melihat itu dan mendengar apa yang dikatakan Devan membuat jantungku berpacu lebih cepat. Napasku menjadi berat dan kepalaku mencoba mencerna makna setiap kata yang diucapkannya tadi.

Seperti sebuah kertas tubuhku ini dengan mudah dibalik oleh Devan sehingga kami berhadapan.

Salah satu tangan Devan mengangkat daguku yang sedari tadi tertunduk hingga mataku menatap kedua mata miliknya.

Ia menatapku dengan lekat. "Kau mau kan?" Ia tersenyum memohon.

Deg!

.

.

.

.

.

.

.

.

.

______________________________________

Hai semuanya 👋👋👋
Enggak biasanya tengah-tengah malem aku update.
Maaf jika ada typo. Netiknya sambil ngantuk-ngantuk. 😴
Semoga tetap suka dengan ceritaku.
Tak lupa aku minta vote dan komennya.

"Selamat Tahun Baru 2020."
Sekian dan terima kasih untuk semuanya.

❤❤❤❤❤

My Perfect Luna (COMPLETE)  Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ