MERAH

11.8K 162 23
                                    

AKU pulang dengan kesal. Sebal. Dosenku yang bernama Maher mengembalikan tugasku. Katanya aku copas, menjiplak karya teman sekelasku. Padahal temanku itu yang menjiplak karyaku, bukan sebaliknya!

Sudah kujelaskan berulangkali tapi dia tak mau mendengar. Pak Maher memang keras kepala, aku sering dibuat pusing olehnya.

Aku menaruh tasku di sofa. Menuju dapur untuk mengambil sebotol air. Berharap ia mampu mendinginkan kepalaku serta meredam emosiku.

Semester ini aku diajar oleh dosen killer itu. Kata seniorku, Pak Maher termasuk dosen yang idealis. Selalu menuntut perhatian mahasiswanya ketika mengajar dan tak pernah tanggung-tanggung ketika memberi tugas. Semua harus dikerjakan dengan sempurna. Tanpa cacat. Tanpa kekeliruan.

Beliau termasuk salah satu dosen berprestasi di kampus. Masih muda, jenius, dan memberikan banyak sumbangsih bagi kemajuan almamater. Tapi aku tidak peduli, bagiku dia dosen yang menyebalkan. Aku ingin segera mengakhiri semester ini agar tak perlu lagi bertemu dengannya.

Aku duduk di sofa. Kusandarkan punggungku dengan lesu. Seharusnya hari ini menjadi hari istimewaku karena aku berulang tahun.

Tapi tak ada yang mengingatnya.

Pacarku tidak mengingatnya.

Kemarin dia berjanji akan datang tapi sampai detik ini tak juga nampak. Kutelepon tapi tak diangkat. Kukirim pesan tapi tak dibalas.

Dia benar-benar sibuk sampai tak ada sedikitpun waktu untukku.

Sebal.

Aku berdiri, membuka jendela. Berharap mobilnya datang dan diparkir dibawah pohon mangga.

Itu adalah kebiasaannya.

Dia tidak suka mobilnya panas.

Dia lebih suka membiarkan mobilnya dibawah pohon mangga. Dijatuhi daun-daun kering, ulat-ulat kecil, buah mangga matang yang tak jarang membuat atap mobilnya penyok.

Tapi dia lebih suka disana. Dia tidak suka mobilnya panas.

Tapi tidak ada mobil di bawah pohon mangga.

Tidak ada dia yang tersenyum sambil melambaikan tangan serta membawakan sebuket bunga mawar untukku.

Tidak ada.

Aku menutup jendela. Aku menyerah. Mungkin dia marah padaku.

Kunyalakan ponselku. Kubuka laman media sosial pacarku. Tak ada aktifitas baru. Hanya gambar dirinya sebulan lalu, ketika resmi berpacaran denganku.

Semalam aku tidur dengannya. Aku tertawa dengannya. Aku mengatakan ingin sekali melihatnya mengenakan gaun merah, memakai gincu merah, mencat kukunya merah.

Tapi dia marah.

Dia tidak suka merah.

Seumur hidupnya ia hanya membalut tubuhnya dengan warna hitam. Warna yang merepresentasikan dirinya. Merah hanya akan membuatnya kehilangan jati diri. Merah bukanlah warnanya.

Apa dia masih marah karena merah?

"Kau sudah pulang, Sayang?"

Aku menoleh. Aku menganga. Dia ada disini. Pacarku ada disini!

Sontak aku berdiri. Pangling melihat penampilannya yang teramat cantik!

Dia memakai gaun merah.

Dia memakai gincu merah.

Dia mengecat kukunya merah.

"Bagaimana penampilanku?" tanyanya.

Tak mampu kuberkata-kata. Seribu bahasa yang kurangkai tak akan sanggup menggambarkan kemolekan dirinya.

Dia bagai Dewi Yunani yang kecantikannya meluluh lantakkan alam semesta. Dia bagai bidadari yang keelokannya terkenal seantero jagat raya.

Aku mendekatinya. Merangkul tubuhnya. Melumat bibirnya.

"Kau sungguh luar biasa, Sayang," pujiku. Aku menariknya ke sofa. Menindih tubuhnya. Menjilat telinganya.

Entah kapan dia datang ke rumahku. Entah kapan dia berdandan untuk menyambutku. Entah kapan dia menyiapkan segalanya.

Padahal satu jam lalu ia tengah memarahiku dan menuduhku menyalin tugas temanku.

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 27, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MERAHWhere stories live. Discover now