Part 4

95 13 15
                                    

Inni Ghoroma
(Sungguh Aku Mencinta)

"Kau adalah seseorang yang menyakitiku dengan kerinduan ini. Kau adalah pertanyaan yang sulit dijawab. Namun, ternyata kau adalah jawaban dari pertanyaanku."

Seolah-olah belatih diletakkan di leherku. Aku merasa sangat terancam saat itu. Ia membuatku patah tulang sebelum berkelahi. Darahku kini membeku, semua organ tubuhku kehilangan kekuatan hampir berhenti berfungsi, walaupun detak jantungku secepat kuda berlari. Ada yang berbeda dari genggamannya. Maksudku, pemuda manapun tidak ada yang berani menyentuhku. Mereka yang mengenalku pasti khawatir, jika aku melayangkan pukulan sekeras lemparan batu. ini genggaman perlindungan.

"Memangnya siapa kau, ini?!," genderang suaraku menggetar di telinganya.

Aku berusaha menarik paksa tanganku. Tetapi, aku benar-benar dibuatnya tidak berdaya. Maza'ma bi harfin. Ia hanya menoleh sesaat. "Betapa menyesalnya aku, jika kau sampai terluka tadi!" wanita tanpa perasaan sepertiku mendadak lumpuh, terlunglai ucapan semanis kismis.

Entah apa yang terjadi di arena pertarungan yang ku tinggalkan. Aku meninggalkan sorakan bergemuruh dan lemparan botol minuman, bungkus rokok, atau apapun, untuk menyuarakan protes.

"Hei! Kau!" teriakan seseorang membuatku menoleh.

"Aqirra, apa yang kau lakukan?!"
Duha, salah satu temanku mengikuti jejak kami. Ia heran kenapa aku tidak mampu menghadapi pria yang mencekalku ini. Tapi Fursan tidak bergeming. Aku tidak dapat berkutik. Bahkan wajahku pantas dikasihani. Seakan kedua mata kakinya berfungsi, Fursan dengan sigap membalikkan badan dan menarikku ke belakang. Duha hampir melayangkan pukulan ke arah Fursan, namun gagal. Fursan menangkap pukulan Duha dan membuangnya. Kami berada di kedai minuman yang terletak diantara kedua bangunan tua dengan pepohonan yang tumbuh di sepanjang gang sempit dan bunga-bunga menaunginya. Kursi-kursi besi di kedai unik ini dipenuhi pengunjung.

"Siapapun tidak akan ku biarkan membuat pelangganku berlarian!" pria dengan sedikit uban di jambangnya menghardik kami. Fursan dan Duha beradu tatapan. Kami mengabaikan teriakan pria tadi.

"Oh, ya ampun..., aku tidak mau celaka di sini" seorang gadis beranjak dari tempat duduk dan menggandeng temannya.

Suasana kian menegang, empat orang kawan Duha tiba di kedai.
"Habisi saja dia!" teriak seseorang yang baru datang di antara mereka.
Para pelanggan kedai satu persatu meninggalkan tempat, hingga tak tersisa.
"Bisa apa kau, Duha? Kau bahkan tidak berani Menyentuhku," gerutuku seraya mengkhawatirkan Duha.
Duha mencengkram kerah kemeja putih Fursan. Fursan kembali menampiknya.

"Kalian benar-benar akan buat onar di sini?!" Si pemilik kedai menghampiri kami.

Fursan terlihat menarik nafas lalu menahannya. sejenak kedua matanya terpejam, sementara tanganku masih dalam genggamannya.

"Brak!!" tiba-tiba saja Fursan menunduk dan memecahkan batu sebesar bola kaki di sisi kaki kanannya. Dengan genggaman yang tak dibiarkan terlepas kami meninggalkan mereka dengan mulut menganga. Ia juga tidak meninggalkan perkataan apapun pada mereka. Walaupun aku sedikit terkejut, aku menyimpan rasa kagum yang luar biasa.

*


Lorong-lorong Beirut seakan tidak ada habisnya. Begitu juga areal tangga distrik yang membuat nafasku tersengal. Kami berjalan jauh ke arah utara taman kota. Kedua betisku mulai protes. "Aku ingin berhenti" pintaku lemah. Fursan tidak melonggarkan genggamannya sama sekali. Namun kedua kakinya terpaku, pandangannya mengedar mencari tempat yang nyaman untuk berteduh.

Bongkahan batu besar beratapkan pohon cedar yang rindang, menjadi saksi pertama kami berbicara. Lebih tepatnya, aku meluapkan kekesalanku yang ditarik paksa dari keramaian. Aku duduk diatas batu itu menghentikan jeritan betisku, sementara Fursan tegap bak bodyguard yang berjaga.

"Jika aku memenangkan pertarungan tadi, aku akan mendapatkan yang ku inginkan"

"Kau akan mendapatkan lebih dari itu" aku terkesiap. Hampir saja aku meneriakinya lagi, namun bunyi ponselnya mengalihkan perhatian kami.

"Kau bahkan memperlakukanku seperti kriminal!" sungutku, ketika ia tidak bicara lagi dengan ponselnya. Ia tetap berdiri tenang tanpa goyah walaupun aku mencoba memberontak.

Selang beberapa menit. Sebuah mobil Limosin berwarna hitam dengan sayap di kedua sisi belakangnya, menghampiri kami. Walaupun kedua kakiku ingin sekali berlari, namun hatiku berkata sebaliknya. Aku mengedarkan pandangan mencari siapapun yang bisa menolongku. Aku hanya mendapati seorang nenek renta dan dua anak kecil dengan sepeda roda tiga mereka. Di sini, bukan komplek perumahan yang sekali teriakan orang-orang akan berkerumun. Ini Taman Sanayeh. Semua orang tahu tempat ini begitu luas dan sangat sepi di pagi hari. Gedung-gedung yang mengelilinginya, tidak mungkin menembus suaraku. Fursan mendorongku masuk ke Dzurrotun Aswad, ia menamai kereta kencana masakini itu. Aku hanya memandang sekilas apa yang ku lihat. Aku bukan orang yang mudah terperangah dengan fasilitas mewah.

Aku terduduk di sofa berhadapan dengan Fursan. Cara dia menatapku membuatku tertunduk. Aku menarik tanganku dan dengan mudah ia lepaskan.

"Aku sungguh tidak mengerti apa di balik semua ini?"

"Kesumaku merintih penuh duka setiap kali aku membiarkanmu seperti tadi. Bahkan saat kau terbahak-bahak sekalipun. Aku selalu membaca luka di mata indahmu. Wajahmu tertanam kuat di ingatanku. Dan aku tidak mampu lagi menghapusnya walau dalam sujudku. Kau lah orangnya, yang menyakitiku setiap saat dengan kerinduan ini. Kau adalah pertanyaan yang sulit dijawab. Dan aku yakin, kau 'lah, jawaban dari pertanyaanku. Inni ghoroma." Emosi Fursan meluapkan bahasa cintanya. Raut wajah yang terlihat lelah. Suaranya gemetar, kawatir jika aku menolaknya. Ia berusaha membuatku menerimanya.
Bibirku kaku tak bergumam. Kedua mataku menyelam lebih dalam mencari makna yang sebenarnya di balik tatapan Fursan.

Seperti batu karang yang sangat kokoh dihantam deburan ombak, namun terkikis sedikit demi sedikit. Gambaran kerelaanku saat Fursan menyatakan irama-irama indah itu. Aku cukup muak dengan perasaan siapapun ingin mencampakanku. Tapi Fursan, ia ingin mengusir kesendirianku. Dia bahkan tahu aku hidup seorang diri. Karena itu dia merampasku dari ingar-bingar jalanan Beirut.

Berbeda dari aksi perampasan tadi, Fursan lebih menahan diri. Walaupun, sesekali tangannya hampir meraih tanganku.

Wajahnya seperti embun yang menyejukkan. Ada sedikit hiasan yang rapi di dagunya, tetapi tidak menggantung ke bawah. Hanya tumbuh berkerumun membentuk bulan sabit yang merebah di dagunya. Unfuqoh yang sangat tipis menambah pernak-pernik wajah pria yang membuatku merasa dilindungi.
Aku memperhatikan setiap garis wajahnya saat ia lengah dari memandangku. Aku tersenyum tipis walau sempat berperang dengan hatiku sendiri.

Kami berhenti di jalan komplek masjid Al-Amin di depan kafe Eelyye yang mewah. Aku kira, ia akan mengajakku menyantap makanan lezat di sana. Ia menuntun punggungku ke salon kecantikan Ummi zayyin di sebelahnya.

Tanpa gugup dan ragu, aku mendorong pintu kaca dengan segala stiker tentang wanita yang menghiasinya. Seorang wanita parubaya menyambut kami. Ku rasa mereka sudah mengadakan janji sebelumnya. Aku menoleh ke arah Fursan ketika Ummi Alyan hampir menuntunku ke ruangan lain. Fursan hanya mengangguk pelan.

*


Berbagai perawatan kecantikan memanjakanku selama dua jam. Tidak banyak yang berubah. Aku hanya dibuat lebih rapih dari sebelumnya. Saat aku terlihat sempurna baginya, ia membalikkan kursi yang ku duduki. Aku tertunduk seperti mangsa yang siap dilahap. Ia menatapku dengan jeli. Mahkotaku terurai sebahu. Diperindah dengan sentuhan warna brown yang hanya berkilap jika cahaya menyisirnya. Aku mengenakan abaya kaftan berwarna putih dengan belt yang melingkar di pinggangku. Saat itulah, untuk pertama kalinya aku mengenakan pakaian berlengan panjang.

"Kau, lebih memikat dari putri zaman Adhonia" ku rasa pakaianku yang membuatnya berkata demikian. Tanganku terasa dingin tak mampu mengimbangi tatapannya. Aku memberanikan diri menegakkan leherku dan membalas sorotannya yang teduh.

"Apa kau mengenal Allah?"

Mediteranian CoupleWhere stories live. Discover now