Harusnya Bagian 1

8 2 0
                                    

Masih dengan cahaya matahari yang sama panasnya tepat pada ubun-ubun, namun dengan bunyi deruman motor yang kabur dari jangkauan polisi. Dua orang nampak saling menatap tajam di belakang mobil patroli, seorang anak muda dengan perawakan tinggi 180cm dengan rambut merah lengkap dengan potongan gondrong nya dan seorang pria paruh baya sedang menunjukan isyarat angka dengan tangan nya.

"12? D-u-a b-e-l-a-s k-a-l-i, dua belas kali dalam satu bulan, dengan atau tanpa melihat ayahmu pun tau seberapa tidak disiplin nya dirimu, kalau kau melakukan ini di kota besar mungkin tak akan ada yang tau, tapi di sini, di kota kecil ini, siapa yang tidak tau kamu."

Dengan nada rendah dan datar seorang petinggi kepolisian Ajun Inspektur Polisi Satu mencoba membuat anak muda itu paham apa yang dia perbuat

"Taruh saja suratnya di rumah, seperti biasanya saja paman Bram."

"Angga, kau tau pasti apa itu disiplin kan? Ayahmu pasti akan marah jika melihat mu seperti ini."

"Jangan salah paham paman, aku tau pasti apa itu disiplin, disiplin yang paman maksud adalah disiplin seorang pahlawan tapi di biarkan membusuk di lapangan."

Mendengar itu Bram sadar betul tak bisa berkata banyak karena benar kata Angga, disiplin dan tidak tanduk orang baik saja tidak cukup kuat untuk membuatnya hidup, terlebih dia yang puluhan tahun mengabdi kalah jauh dibanding mereka yang mengandalkan relasi.

"Angga, sebagai manusia yang masih makan nasi, aku paham betul maksudmu tapi sebagai polisi sebaiknya kau bedakan antara mencari rizki dan mengabdi."

Sejenak angga terdiam bukan karena dia meresapi perkataan paman nya itu, justru karena dia paman nya, dia tau pasti kenapa Pamannya tak pernah mendapat kenaikan pangkat. Dan satu-satunya alasan dia tak mendapat hak nya adalah karena ayahnya sendiri yang mengenal atasan nya dan menyuap nya untuk membuat dia tetap tenang menjalankan bisnis nya, mengambil uang rakyat.

Sementara itu di saat dan waktu yang sama, suara gemuruh motor putar balik tanda jelas dan pasti akan ada razia kendaraan bermotor. suntuk yang terlihat di mata febri hilang seketika ketika dia melihat segerombolan pasukan mantel hijau siap menerkamnya, niat diri mencari inspirasi berujung mengeluarkan duit untuk instansi. Suntuk dan kantuk pun hilang dari mata wanita itu. Tepat dari perkiraan ku tak butuh lebih dari 10 menit untuk dia meminta bantuan ku yang masih berada di apartemen nya.

Tak butuh waktu lama untuk mencari wanita manja satu ini cukup membuka handphone dan melihat kolom media social akan terlihat banyak nya foto dirinya yang sedang menunduk tanda takut namun tampak lucu bagiku dengan bibir dan pipi yang di kembang kempis kan, sudah sepantasnya akan ada yang tertarik untuk mendokumentasikan penampakan wajah polos nya itu dan berkat itu aku tau dimana keberadaan nya.

Suara mesin kumatikan tapi degup kencang di dada tak bisa ku hentikan, bukan nya apa, jika aku tak bergegas itu akan berakibat pada mundur jadwal penulisannya dan dari semua itu akulah yang jadi sasaran empuk editor dan penerbitnya yang sudah menyerahkan wanita satu ini padaku.

"Hei, sehat?"

Tanyaku singkat pada nya sambil memegang lutut tanda diriku yang tak bisa menutupi rasa lelah ku.

"20 menit, kenapa kau lama sekali?"

"Ini Cuma razia motor jangan berlebihan kau Cuma harus menyerahkan surat-surat kendaraan bermotor mu."

"Aku ini penulis semuanya harus terlihat sedramatis mungkin. kalau tidak bukuku tidak akan laku, apalagi dengan persaingan novel digital yang mengharuskan menulis banyak halaman dalam sehari kalau aku tak banyak melakukan drama apa yang akan ku sajikan."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 12, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

THE WRITER : political dramaWhere stories live. Discover now