1. Lawan atau... Kawan?

81.5K 3.4K 103
                                    

Aku mendengus kasar melihat sosok yang mengolokku dari posisinya berada saat ini, membuatku tidak bisa menahan diri untuk melemparnya dengan sesuatu. Mencari sesuatu yang bisa kugapai dari posisiku sekarang, kuraih saja sendal jepit yang kupakai, lantas kulempar ke arahnya.

"Wah kurang aja nih orangutan, kualat lo lempar-lempar sendal ke gue." Omelnya sewot, padahal dia berhasil menghindar dari lemparanku. Seperti biasa, reaksinya selalu berlebihan!

"Ups, gue lupa kalo lempar sendal sama Bapak monyetnya bakal kualat ya?"

Dia berdecak, mengandalkan tinggi badannya yang seperti kingkong itu untuk meraih kakiku yang menjuntai. Membuatku harus berpegangan pada batang pohon berjaga-jaga jika pemuda menyebalkan itu menarikku paksa dan membuatku berciuman dengan tanah.

Tidak! Nasibmu sudah buruk Cinta! Jangan buat lebih menyedihkan lagi dengan menyerahkan ciuman pertamamu pada permukaan tanah di bawah sana.

"Isshh... Apaan sih lo! Minggir nggak? Jatoh nih!" omelku berusaha menyingkirkan tangannya dari kaki kiriku yang ia pegang, menggunakan kaki kananku yang bebas berusaha meronta. Tapi pemuda menyebalkan ini malah menangkap kedua kakiku dengan tangan besarnya, membuat pelukanku pada batang pohon semakin mengerat, bahkan saat ini aku sudah memeluk batang pohon mangga ini persis seperti julukan yang pemuda ini tujukan untukku. Apa tadi? Anak monyet?

Cinta! Kok malah mengakui?!

"JAJA! LEPASIN!" teriakku geram karena dia semakin mengguncang kakiku kesetanan.

"Nama gue Senja! Bukan Jaja! Lagian panggil Irgi aja susah banget sih lo?!" protesnya yang rupanya geram karena panggilanku padanya. Aku memang kadang sengaja memanggilnya begitu, habis dia juga memanggilku seenaknya bibir kok.

Baiklah biar sedikit kujelaskan, malas juga sebenarnya menceritakan pemuda menyebalkan ini berlembar-lembar dikehidupanku.

Namanya Irgian Senja Dipetra. Nama yang unik menurutku, dia tetangga di samping rumahku yang amat sangat menyebalkan! Hobinya mengangguku sejak kami sama-sama terlahir ke dunia? Kami? Lupakan ucapanku barusan! Aku tidak tahu pastinya kapan, yang aku tahu dia selalu menggangguku sejak aku bisa mencerna informasi dengan otakku ini. Kata Bunda sih, keluarga si Jaja ini--ups, Irgi maksudku, sudah menempati rumah di samping rumahku sejak pertama kali Ayah dan Bunda pindah ketika menikah. Dan soal namanya yang menurutku unik, usut punya usut, dari Tante Aryana--Maminya Irgi--nama itu diberikan karena proses pembuatan Irgi terjadi di pulau Irian saat waktu senja. For your Information, orang tua Irgi itu pencinta alam yang hobi naik gunung. Jadi setelah menikah dan sibuk mengurus Kak Salwa--Kakaknya Irgi yang terpaut sepuluh tahun--dan vakum melakukan kegiatan itu setelah sekian lama, mereka pergi ke Irian untuk menjelajah di sana. Singkat cerita jadilah Irgi. Irgian itu plesetan dari Irian, biar terdengar lebih laki katanya. Lucu ya? Aku yang mendengar waktu itu saja sampai terbahak karena cerita Tante Aryana, tapi karena hal itu juga aku mendapat jitakan dan cubitan di kedua pipiku dari si pemilik nama. Oke, cukup bercerita soal mahluk menyebalkan yang masih ngotot menarik kakiku ini.

"Ja! Gue tendang nih muka lo kalo nggak dilepasin!"

"Coba aja kalo bisa! Gue tarik kaki lo biar lo jatoh sekalian. Cepet turun! Dicariin Tante!"

Arggghhhh dasar Irgi nyebelinnnnn!

"Nggak mau! Gue lagi mau sendiri! Gue lagi sebel sama Bunda!" tolakku mentah-mentah, masih meronta berusaha menyingkirkan tangannya dari kakiku.

"Ck! Bocah banget sih lo! Sebel sampe kabur-kaburan! Mana dicari disetiap pohon nggak ada, malah nongkrong di pohon mangga taman kompleks sebelah! Nyusahin tau nggak!"

Sial, dikira aku monyet apa dicariin disetiap pohon? Aku mendelik menatapnya.

"Memang lo titisan anak monyet kan? Ngambek kok hobinya manjat pohon!"

Dan sialnya dia memang benar. Aku kalau sedang marah dan ingin menyendiri memang lebih memilih duduk di dahan pohon entah pohon apa pun itu. Bahkan saat kecil dulu, aku pernah menangis dan berdiam di pohon sampai malam karena lagi-lagi dibandingkan dengan kakak-kakakku. Membuat Ayah dan Bunda panik mencariku hingga mengerahkan beberapa warga kompleks agar aku lekas ditemukan. Lebih menyebalkannya lagi selalu Irgi yang pertama kali menemukanku di pohon mana pun aku bersembunyi, membuat dia semakin besar kepala dan seenaknya memanggilku seperti tadi.

"Irian Jaya! Gue tabok tuh mulut kalo masih ngatain gue anak monyet!"

"Irgian Senja! Lo bisa nggak sih nggak pleset-plesetin nama gue sama nama pulau?!"

"Lah bagus kan?! Lo harusnya bangga nama lo nggak jauh beda sama nama pulau yang menyimpan mutiara hitam nan berharga itu," tuturku mulai ngawur.

Gerakan tangannya yang menarik kakiku berhenti. Aku yang sejak tadi tidak melihat ke arahnya karena sibuk memeluk pohon mangga ini akhirnya berpaling. Mendapati wajahnya yang terlihat berkali-kali lipat lebih menyebalkan dibanding tadi. Terlebih seringaian puasnya yang seolah menemukan hal yang menyenangkan dari kata-kataku barusan.

"Cie... Ngaku juga kan lo kalo gue ini berharga?! Udah.. Bilang aja kalo lo naksir gue," katanya membuatku ingin muntah melihat ekspresi tengilnya, terlebih alis tebalnya itu bergerak naik turun menggodaku.

"Najonggggggg...! Kalo pun di dunia ini cuma ada lo sama kambing yang tersisa, gue lebih baik nggak milih dua-duanya dari pada hidup lihat muka lo terus! Bikin empet!"

Ekspresi Irgi berubah dingin. Sepasang mata hitamnya menatapku tajam.

Lah kenapa pula nih anak? Biasanya bakal lebih memaki-makiku jika aku sudah membandingkannya dengan hewan atau sejenisnya. Apa Irgi marah? Hei! Bahkan dia lebih sering mengataiku dengan sebutan yang sama, harusnya aku yang lebih marah!

"Terserah kalo lo nggak mau pulang. Bentar lagi magrib, dibawa kuntilanak baru tau rasa," ujarnya menakut-nakutiku dan beranjak pergi.

Aku yang panik--karena memang itu kelemahanku--memanggil Irgi agar ia kembali dan tidak jadi meninggalkanku. Saking takutnya ditakut-takuti mahluk menyeramkan itu malah membuatku tidaak berhati-hati saat melompat turun dari dahan pohon mangga dan tergelincir dari pijakanku sendiri. Irgi yang sempat diam menunggu, bergegas menolongku yang terjun bebas tanpa persiapan, yang berakhir menubruk tubuhnya hingga tubuh kami berdua membentur tanah dengan suara dentuman cukup keras.

Nggg... mungkin hanya tubuh Irgi yang membentur tanah, karena saat ini posisiku jelas menindihnya.

"Dasar cengeng! Baru ditakutin gitu aja sampe nangis. Makanya kalo disuruh turun nggak usah ngeyel," omel Irgi dengan suara redah, atau mungkin kalian bisa mengatakannya lembut? Entahlah, hanya saja aku merasa Irgi tidak mungkin berkata lembut padaku. Hobinya saja mengangguku seperti tadi, bagaimana aku bisa menganggapnya lembut?

"Ini kan gara-gara lo! Udah tau gue takut sama begituan, pake ditakutin!" Aku memukul dadanya sebal. Posisi kami masih sama, hingga Irgi mendorongku pelan agar kami duduk. Tangan besarnya menghapus jejak air mataku yang basah sejak ia menakut-nakutiku sebelum aku jatuh tadi.

"Lah, tempatnya yang begituan kan memang di pohon! Makannya jangan sok suka manjat-manjat disarang begituan deh." Irgi tetap tidak mau disalahkan.

Tapi dari tadi kok kita malah bahas 'begituan'? Kesannya ini pembicaraan kemana gitu. Bikin aku bergidik sendiri, padahal yang kami maksud kan Mbak kunti dan sebangsanya.

"Terus lo lebih suka gue kelayapan jauh buat menyendiri? Biar lo tambah susah gitu nyarinya?"

"Ya janganlah! Ih susah banget sih lo dibilanginnya..." Irgi mencubit pipiku antara gemas dan geram.

Aku hanya cemberut, sudah terlalu biasa menerima cubitannya. Tapi cubitan di pipiku perlahan melonggar, tangan Irgi yang masih berada di pipiku malah sibuk memberi usapan-usapan kecil, membuatku heran dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah. Kedua matanya juga menatapku lekat hingga membuatku risih. Tapi belum sempat aku meluncurkan protesku, Irgi lebih dulu bersuara," Ternyata Kak Bilqist memang jauh kemana-mana dibanding lo ya, Ta? Dia cantiknya nggak ketulungan, lah elo? Bulu idung aja sampe keluar."

Dengan cepat kuraih tangannya yang masih berada di pipiku Kugigit kuat-kuat hingga ia berteriak histeris memintaku melepasnya. Setelah puas, aku berdiri dengan tatapan mendelik penuh permusuhan. Napasku terengah karena emosi.

Rasakan! Siapa suruh mengungkit hal yang sudah jelas dan malah membuat suasana hatiku semakin terpuruk. Dasar Jaja menyebalkan!

Aku berlalu pergi tanpa memperdulikan umpatannya yang mulai ia teriakan untukku.

Cinta Dan SenjaWhere stories live. Discover now