Epilog

14.6K 1.3K 65
                                    

"Kemenangan kali ini saya persembahkan untuk Cinta saya..."

Kalimat itu baru saja kubaca dari salah satu majalah sport yang pagi ini sudah tersedia di meja kerjaku.

"Ckckck orang itu, makin pinter ngengombal aja dia," decakku meletakan majalah itu kembali ke atas meja.

"Udah? Gitu doang reaksi lo? Nggak gimana gitu, Ta?!" Lily menatap heran padaku.

Aku menggeleng. Sahabatku yang satu ini memang tetap setia dengan sikap ikut campurnya. Kuraih lagi majalah yang ada di atas meja, menyerahkan pada Lily tanpa menjawab pertanyaanya yang sudah berulang kali kudengar.

"Ck, lo tuh gangguin kerjaan gue aja tahu, Ly. Ini dapur! Dan nggak setiap orang boleh masuk dapur gue!" kataku menatap jengah ke arahnya.

"Elah kayak sama siapa aja lo. Ini gimana urusannya si Irgi? Dia—"

"Chef!" panggil seseorang menyela kalimat yang akan diluncurkan Lily.

Kami berdua sontak mengarah padanya, aku dengan tatapan tanyaku, dan Lily dengan tatapan sebalnya karena kebiasannya mengangguku dianggu? Nah bingungkan?! Aku pun sama!

"Kenapa Hanif?" suaraku agar salah satu karyawanku itu tidak menggubris tatapan mengerikan Lily.

"A-anu Chef, ada pelanggan yang mau Chef langsung yang memasakan makanannya," katanya terbata, sesekali masih melirik Lily yang masih bertahan di dapurku.

"Siapa? Kak Dimas?" tanyaku dengan sebelah alis terangkat. Biasanya memang hanya orang-orang tertentu yang memintaku memasak langsung, tentu saja yang mengenalku. Sementara pelanggan restoranku yang lain tidak masalah meski koki lain yang memasaknya. Makanan di restoranku sudah pasti enak kok, kalau tidak, mana mungkin pelanggan kami membludak hanya dalam waktu 3 tahun setelah launching 'kan?

Kurasakan sikutan di perutku, rupanya Lily si menyebalkan yang melakukannya. Dan wanita satu ini kini sudah berganti melotot ke arahku. Sementara aku hanya tertawa kecil karena mengerti arti dari sikapnya.

"Laki gue tuh! Nggak mungkin dia ke sini tanpa ngasih tahu gue. Lagian kenapa yang terlintas di otak lo laki orang sih? Irgi tuh urusin!" sungutnya sebal.

"Bukan, Chef. Bukan Pak Dimas, tapi—"

"Ya udah biar saya yang temuin orang itu. Di mana dia duduk?" ujarku tidak sabar, Hanif ini agak berkendala dalam mengingat pelangganku, jadi akan lama kalau menunggunya berpikir siapa yang datang.

"Meja favorit Chef," jelasnya.

Keningku berkerut. Meja favoritku? Di pojok ruangan yang dekat jendela itu? Setahuku hanya aku, Lily, Dimas dan Irgi yang suka duduk di sana. Kalau Lily yakin itu bukan Dimas, lalu siapa? Irgi? Tidak mungkin orang itu... Dia baru memenangkan pertandingannya di Inggris sana kemarin, buktinya berita kemenangannya saja baru sampai di mejaku. Biasanya Irgi baru kembali dua hari kemudian, lagi pula Inggris kan jauh, jadi tidak mungkin dia. Lalu siapa?

Aku mengalihkan perhatianku pada Lily yang malah menatapku dengan jenis tatapan yang sama, bertanya. Menggigit bibir, aku pun menghela napas dan memutuskan menemui pelangganku itu, dari pada lama berpikir dan tidak menemukan jawabannya.

"Nah, sekarang lo silakan pergi dari dapur gue, Nyonya Lily... Gue mau kerja," kuraih pundak Lily dan mendorongnya keluar bersamaku.

Tidak terdengar penolakan, hanya decakan kecil yang terdengar dari bibirnya. Tapi bukannya pergi, wanita satu ini malah mengikuti langkahku untuk menemui pelangganku. Saat kupinta ia menghentikan tingkahnya itu, Lily malah bilang bahwa ia penasaran siapa yang berani memintaku memasak khusus untuknya. Hah... Meski sudah menikah, sikapnya sama sekali tidak mencerminkan hal itu.

Cinta Dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang