Day 7 : Angst & Last Breath

Mulai dari awal
                                    

Matahari akhirnya terbit, Sang iblis Muzan mulai lenyap menjadi abu. Membawa mereka pada kemenangan, namun tak ada seorang pun yang merasa bahagia. Mereka telah kehilangan banyak rekan seperjuangan demi kemenangan ini, tentu saja hal ini tidak dapat membuat semua orang bahagia.

Uzui dapat melihat Giyuu menghampiri tubuh bocah berambut merah yang kini sudah tak bernyawa. Sang pilar air itu memeluk erat tubuh Tanjirou, menangis dalam diam.

Uzui ingin menghiburnya, tapi saat ini ia juga mengkhawatirkan keadaan Zenitsu, segera ia melesat menghampiri pemuda yang saat ini pandangannya mulai mengabur.

"U—Uzui-san," panggil Zenitsu sambil mengulurkan tanganya.

"Aku di sini. Kita menang. Kita sudah mengalahkan Muzan," jawab Uzui, menggengam tangan yang tampak begitu rapuh tersebut.

Zenitsu yang tak bisa melihat sosok Uzui dengan jelas, tersenyum lega, "Syukurlah, aku juga...., sudah berusaha...., menepati janjiku bahwa...., aku akan menunggumu...., kembali."

Uzui juga merasa lega, bahwa ia tidak akan kehilangan pemuda pirang ini, namun sepertinya kelegaannya menghilang begitu Zenitsu batuk darah begitu banyak hingga mengotori setengah wajahnya.

"Maaf...., sepertinya...., aku sudah...., hah...., tidak bisa bertahan....,  lebih lama lagi."

"Tidak. Pasti ada cara menangkal racunnya. Kita hanya harus kembali ke kediaman kupu-kupu untuk mengobatimu," kata Uzui, ia dapat merasakan detak jantungnya menjadi lebih cepat dan keringat dingin mulai membasahi dirinya. Ia benar-benar takut kehilang pemuda di depannya ini.

"Maafkan aku. Tapi ada...., satu hal...., yang.... Uhuk-uhuk...., ingin aku...., hah...., sampaikan...., padamu."

Dengan napas terakhirnya, Zenitsu mengucapkan kata-kata yang hanya bisa di dengar oleh Uzui sebelum akhirnya menutup matanya dengan wajah tersenyum damai. Meninggalkan Uzui yang menjerit memanggil namanya berulang kali.

'Kau tak bisa pergi meninggalkanku begitu saja. Kau bahkan belum mendengar balasan dariku, Zenitsu!'

Jeritan Uzui menggema di cakrawala seiring dengan terangnya sinar matahari yang semakin tinggi, menyelimuti semua orang dengan cahayanya, seolah-olah menghibur mereka yang sedang berduka.

'Aku mencintaimu, Tengen-san.'

END
.
.

.
.

.
.
.
.

Hai, terima kasih yang sudah meluangkan waktu untuk membaca karya pertamaku ini. Sebelumnya aku tidak yakin bisa menyelesaikannya hingga hari terakhir tapi berkat vote kalian dan tentunya spoiler chap 184 yang memberi inspirasi cerita ini, membuatku termotivasi untuk terus melanjutkan fanfic ini.

Oh ya, karena ini hari terakhir, khusus yang ini aku buatkan omake. Semoga kalian menyukainya. Oke langsung saja ini dia!
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Omake

Akhir-akhir ini ia terus bermimpi tentang anak bersurai pirang. Ia tidak tau siapa anak itu, tapi setiap kali dia memimpikannya, ia selalu merasakan perasaan bahagia, namun juga diliputi dengan kesedihan. Sungguh ia tak habis pikir, kenapa sebuah mimpi bisa membuatnya tidak bisa tenang seperti ini.

Saat ini, Uzui sedang menemani Giyuu-sensei mengawasi para murid baru, kekurangan orang katanya. Uzui sih tidak masalah, toh dia memang sedang luang. Di tengah pembicaraannya dengan Giyuu-sensei, tiba-tiba saja guru olahraga itu terdiam, menatap sesuatu di tengah kerumunan para siswa baru. Penasaran, Uzui lalu memfokuskan pandangannya. Matanya langsung terbelak.

Di sana, tidak terlalu jauh darinya, ia melihat remaja berambut pirang yang sedang berbincang dengan kedua temannya, yang satu berambut merah dengan bekas luka di dahinya dan memakai anting hanafuda, sedangkan yang satunya lagi bersurai hitam dengan ujung berwana biru. Mereka tampaknya begitu akrab walaupun si rambut hitam-biru sesekali berdebat dengan anak pirang tersebut.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Uzui segera pergi menghampiri mereka, meninggal guru olahraga yang terus terdiam di samping gerbang. Begitu guru kesenian itu semakin dekat dengan anak tersebut, kilasan-kilasan mimpinya muncul semakin jelas dan saat Uzui sampai di depan anak pirang tersebut, ia langsung memeluknya.

"Eh..., Apaan nih? Lepaskan," pinta anak itu, terkejut tiba-tiba di peluk orang asing, apalagi di depan umum.

Uzui jelas tidak ingin melepaskan pelukannya, lalu ia membisikan sesuatu yang selama ini ingin ia ungkapkan pada sosok dalam pelukannya ini, "Aku juga sangat mencintaimu, Zenitsu."

"Eh? EEEHHHH!?" Jerit pemuda itu, membuat mereka menjadi pusat perhatian. Uzui tidak mempedulikan teriakan bocah ini yang menyakiti telinganya, yang jelas ia merasa lega dapat menyapaikan perasaannya pada sosok paling berharga baginya itu.

'Aku sudah menjawab perasaanmu, Zenitsu. Kali ini aku tidak akan kehilangan dirimu lagi. Akan ku jaga dan bahagiakan dirimu di kehidupan ini.'

UZen WeekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang