Chapter 9 - Poison

19.3K 996 9
                                    

FOREWORD: Penulis amatir. Bacaan ini diperuntukan kepada pembaca berumur 18+. Tulisan ini mengandung sexual content, strong language, dan violence. Jika ada kesamaan nama, tempat, atau jalan cerita itu hanya kebetulan semata. Apologize in advance jika terdapat typo, kesalahan pemilihan diksi, ejaan yang salah dan penulisan yang tak rapi. Bacaan ini dibuat untuk menghibur. And please do not copy my story without my permission. 

Backsound: Album Taylor Swift - 1989, Speak Now, Fearless.

Just read and enjoy~

CHAPTER NINE – POISON


ELEANOR HUGHES


            Dapat kurasakan kedatangannya begitu ia keluar dari pintu belakang istana. Katakanlah sekarang, aku memang munafik. Di satu sisi aku sangat menginginkannya dan menciumnya, di satu sisi lagi aku ingin ia menjauh dariku karena bencana yang ia buat didasari oleh sikapnya yang posesif terhadapku. Ia muncul dengan baju berwarna putih namun tali kancingnya sengaja terbuka di bagian leher ke bawah sehingga dadanya terlihat keras di balik bajunya. Ia memakai celana hitam dengan sepatu bot. Dari penampilannya dari atas sampai bawah, hanya sepasang mata biru yang indahnya melebihi warna langit yang dapat menghipnotis.

            Sebelum jariku tertusuk jarum yang kupegang, segera aku merapikan barang-barang baawaanku ke dalam wadah yang terbuat dari rotan—pemberian Jemima. Aku bangkit dari bawah pohon rindang ini lalu berjalan ke arahnya, tetapi berniat untuk masuk kembali ke dalam istana. Tentu saja ia tidak akan membiarkanku pergi begitu saja. Ia menghalangiku dengan tubuh tingginya hingga kepalaku mendongak. Ia tampak sangat kacau. Janggut dan kumisnya tak tercukur dan kantong matanya membuatku ingin menyuruhnya lebih sering beristirahat.

            Tidak mengatakan apa-apa, aku menyingkir darinya. Namun tangannya yang besar mencengkeram lenganku hingga wadah yang kubawah terjatuh ke atas rumput. Mata birunya menatapku tajam dan rahangnya menegang. Merasakan cengkeraman tangannya di lenganku seolah akan mematahkan tanganku, aku mengerang kesakitan. Matanya melebar dan tatapannya berubah menjadi khawatir. Cengkeraman itu tergantikan oleh sebuah pelukan sekitar pinggangku sehingga tubuh kami saling bersentuhan. Kepalaku mendongak sehingga aku dapat melihat wajahnya yang sangat tampan—bahkan dengan janggut dan kumis itu.

            "Kesabaranku sudah habis Eleanor," katanya tegas. "Aku akan mengakhiri permainan ini hanya dengan satu langkah lagi. Setelah itu, tidak akan ada yang bisa membatasi hubungan kita," lanjutnya membuatku ingin tertawa. Aku mengerucutkan bibirku ke samping lalu melirik ke atas kanan.

            "Biar kutebak. Kau akan membunuh seseorang lagi, bukan? Wah, pangeran Miguel! Sudah berapa kali kau datang ke gereja untuk pengakuan dosamu pada pastur?" Ia mendengus kesal mendengar pertanyaanku yang menyindir. Sepertinya aku melewati batas wilayahnya.

            "Aku tidak membutuhkan pastur untuk mengakui dosaku," katanya tegas. Aku terengah. Ia lebih terihat seperti iblis bila marah seperti ini. Aku... sebenarnya takut sekarang. Mataku terpejam agar aku dapat membayangkan wajah tampannya yang lembut saat ia mengatakan kata-kata yang manis lalu keningku berkerut. Tidak bisa. Yang terlintas di otakku adalah pernikahan pangeran Miguel dan kematian istrinya. Dia kematian istrinya didatangkan dari suaminya sendiri. Kedua alisku bertaut khawatir dan mulutku mengeluarkan desahan putus asa.

            "Kau adalah pria yang baru saja kehilangan istri," bisikku.

            "Yang tidak sama sekali kucintai," tambahnya. Mataku terbuka. "Sekarang, biarkan aku meluruskan hal ini, Eleanor. Kau... tidak akan pernah membenciku karena kau menginginkanku. Kau juga tidak akan peduli siapa pun yang mati sekarang karena yang kaupedulikan hanyalah keinginanmu mendapatkanku. Dan kau—"

Beautiful SlaveWhere stories live. Discover now