Chapter 5 - A Virgin

29.2K 1.2K 14
                                    

FOREWORD: Penulis amatir. Bacaan ini diperuntukan kepada pembaca berumur 18+. Tulisan ini mengandung sexual content, strong language, dan violence. Jika ada kesamaan nama, tempat, atau jalan cerita itu hanya kebetulan semata. Apologize in advance jika terdapat typo, kesalahan pemilihan diksi, ejaan yang salah dan penulisan yang tak rapi. Bacaan ini dibuat untuk menghibur. And please do not copy my story without my permission. 

Backsound: Album Taylor Swift - Fearless and Speak Now. Album The Script - No Sound Without Silence.

Dan ternyata tidak rames atau omes, sodara-sodaraku sekalian. Mungkin pas sudut pandang Eleanor kali ya.

Just read and enjoy~

CHAPTER FIVE – A VIRGIN


JUSTIN MIGUEL THADDEUS

            Saat kulihat betapa bergairahnya ia menunggangi kuda, seketika itu juga aku tahu apa yang ia suka. Ia suka menunggang kuda meski sedari tadi ia menahan diri untuk tidak tersenyum bahagia untuk menghormatiku dan Abigail. Namun gerak tubuhnya tak dapat membohongiku. Bagaimana ia memukul bokong kuda dengan cambuknya dan berteriak agar kuda itu berlari tepat di belakang kudaku dan Abigail. Tetapi sekarang—setelah aku memintanya pergi meninggalkanku dan Abigail berdua—ia pergi ke bukit yang masih terjangkau oleh penglihatan mataku. Dan dengan bebas—tanpa takut aku atau Abigail memerhatikannya—ia semakin menaiki bukit dengan tubuh dimajukan ke depan, melawan angin. Rambutnya yang terikat itu berterbangan di belakang kepalanya.

            Dengan cara ini, aku bisa memerhatikannya tanpa perlu dicurigai oleh adikku sendiri. Sedari tadi Abigail berbicara denganku namun aku tidak begitu fokus dengan apa yang ia katakan. Ia lebih sering membicarakan kekagumannya pada Ayah—yang dimana topik itu tidak begitu menarik dan penting untukku. Perhatianku terfokus pada Eleanor yang tertawa senang di atas bukit sana sambil sesekali ia melirik ke bawah melihatku dan Abigail. Kemudian adikku menceritakan betapa ia menyukai Eleanor karena Eleanor begitu cermat memerhatikan gaunnya dan memilih gaun yang tepat untuknya. Atau bagaimana Eleanor menghias rambutnya dengan cantik. Aku senang akhirnya Abigail mau menerima Eleanor, meski begitu, aku yakin pasti ada alasan lain yang membuatnya menyukai Eleanor. Sesuatu yang menurutnya tidak perlu kuketahui.

            Mataku kemudian beralih pada Abigail yang memainkan tali kekang kudanya lalu mengembus nafas panjang. Raut wajahnya murung membuatku gelisah. Rasanya tak benar tiap kali melihat wajahnya yang lembut serta polos itu harus tertekuk muram atau menangis. Setelah berlama-lama menundukkan kepalanya, ia mendongak melihatku. Kedua matanya menyipit karena matahari sore hari di belakang kepalaku menyilaukan penglihatannya.

            "Apa yang akan kaulakukan dengan pernikahanku, Justin?" Tanya Abigail penasaran, ia menjilat bibir bawahnya, tanda bahwa ia ragu-ragu menanyakan hal itu padaku.

            "Sesuatu." Aku berkata dengan suara rendah. "Sesuatu yang pastinya akan membatalkan pernikahanmu dengan duke sialan ini."

            "Jangan bilang seperti itu," katanya menegurku halus. "Kau bahkan belum bertemu dengannya. Siapa tahu saja aku menyukainya sama seperti kau menyukai Eleanor," tukasnya tiba-tiba sinis. Apakah sekentara itu sampai adikku yang polos ini tahu kalau aku tertarik pada pelayannya sendiri? Mungkin. Kujaga temperamenku agar ia tidak semakin curiga. Abigail menatapku dengan tatapan menyelidik, mencari-cari tahu sesuatu yang kusembunyikan darinya dari raut wajahku. Dan tentu saja aku tidak akan membiarkan ia tahu segala sesuatu yang berhubungan denganku atau Eleanor. Ia bukanlah pembaca pikiran orang yang ulung. Bahkan sekarang, aku yakin Abigail sedang memaki dirinya sendiri karena tak bisa membaca wajahku yang datar.

Beautiful SlaveWhere stories live. Discover now