Dua Puluh Delapan

Mulai dari awal
                                    

Katanya, Ibu adalah teman pertama untuk si kecil. Bisa dimulai bahkan sejak masih dalam kandungan. Belum bisa melihat secara langsung, tapi aku sudah membayang-bayangkan wajahnya. Apa matanya persis seperti milikku? Apa hidungnya akan semancung Ayahnya? Mungkin, nanti dia bisa menyaingi tinggi tubuh Yuta.

Sering mengajak si kecil bicara, menanyakan apa yang sedang ia lakukan di dalam sana? Atau menceritakan hal-hal yang baru saja aku alami. Terdengar konyol, tapi ini adalah permulaan membangun kedekatan dengan si kecilku.

Berniat mengajak Yuta untuk melakukannya juga, aku ingin si kecil merasa dekat dengan sang Ayah. Mengenal suara dan merasakan usapan tangannya. Memberitahu si kecil, kalau semua menyayangi dia. Mendamba kehadirannya dalam keluarga.

Malaikatku tidak boleh merasakan rasanya tidak diinginkan.

Menghela napas kasar, aku baru sadar kedua kakiku menuntun menuju pusat buah-buahan. Terpikir ingin makan semangka di siang yang terik seperti ini, aku memutuskan untuk membeli satu buah.

"Grace?"

Bahuku ditepuk tepat sebelum melangkah masuk. Menoleh, mendapati wajah yang sangat aku kenali. Tersenyum kikuk, dengan satu tangan terangkat ragu. Berdiri beberapa langkah di belakangku.

"Benar lo Seo Grace, kan?"

Seperti ada tombol play otomatis dalam benak yang menampilkan kilasan kejadian beberapa waktu terakhir, aku dibuat bungkam sesaat. Tidak bisa langsung menjawab, cukup terkejut dengan kebetulan yang sama sekali tidak diharap.

"Gue gak salah orang, kan? Lo Seo Grace istri Yut-"

"Y-yuta gak ada disini kalau itu yang mau kamu tanya."

Dia tersenyum, kali ini lebih lebar. "Gue gak cari dia. Justru bersyukur ketemu lo sendirian. Gue gak akan bisa nyapa istrinya kalau Yuta ada disini."

Dahiku berkerut, belum paham sepenuhnya apa maksud dari ucapannya barusan.

"Di depan sana ada cafe yang baru buka, lo gak keberatan kalau kita ngobrol sebentar?" Suaranya mencicit diakhir kalimat. Terdengar ragu, dengan jari yang menunjuk ke arah belakang.

Sekilas, aku menatapnya dari atas hingga bawah, kemudian kembali lagi. Untuk pertama kali, aku melihat dia berpakaian seperti gadis-gadis dua puluh tahunan lainnya. Tidak terbuka dengan kesan feminine.

Menggigit bibir dalam, akhirnya aku mengangguk pelan. "Setelah aku selesai membayar ini semua, ya?"

Mungkin tidak ada salahnya berbincang dengan dia.

Mungkin mantan kekasih Yuta tidak seburuk yang selama ini aku bayangkan.

Mungkin... ini hanya permainan lain dari Semesta.



*****



"Cold Brew dan Citrus Squash."

"Terimakasih."

Aku menggeser gelas berisi minuman rasa jeruk itu mendekat. Menyesapnya beberapa kali, tersenyum tipis saat rasa dingin memenuhi kerongkongan. Aku tidak bisa bohong, aku sangat haus dan di luar sana panas sekali.

Gadis di seberangku melakukan hal serupa. Kedua susut bibirnya melengkung ke atas setelah usai menyesap kopi dinginnya. Sepertinya, minuman yang dia pesan sesuai harapan.

"Lo-" dia berhenti. Menyamankan posisi duduk sebelum melanjutkan. "Kamu belanja sendiri? Yuta gak nemenin?" Intonasinya merendah saat mengucap nama Yuta.

Aku menggeleng. "Dia lagi sakit, belum terlalu kuat buat beraktivitas."

"Yuta sakit?" Beonya spontan.

Istri Paruh Waktu | Nakamoto YutaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang