Prolog

160K 4.2K 151
                                    

Namaku Cinta, oh bukan... bukan Cinta yang terkenal dengan Rangga-nya itu, bukan. Aku hanya seorang Cinta Bagaskara, siswi SMA biasa yang tidak memiliki kelebihan apa-apa. Bisa dikatakan, aku malah lebih memiliki banyak kekurangan dibandingkan kelebihan---terutama jika dibandingkan dengan kakak-kakakku yang istimewa itu.

Bicara tentang kakak, aku memiliki seorang kakak perempuan dan seorang kakak laki-laki. Kakak laki-lakiku sudah menikah dan memiliki keluarga kecil di luar kota sana. Namanya Kak Arga, kakak yang sama seperti kakak laki-laki pada umumnya, jahil, rese, dan yang pasti overprotektif jika menyangkut orang-orang terdekat. Oh oke, stop membicarakan Kak Arga, karena masalahku sekarang sebenarnya ada pada kakak keduaku yang tidak lain adalah Kak Bilqist.

Yup, seperti namanya yang berarti seorang ratu cantik, Kak Bi--begitu aku biasa memanggilnya--memiliki kepribadian seperti makna yang terkandung dalam namanya. Dia cantik, pintar, baik, dan ramah. Intinya kakakku itu adalah gadis idaman semua kaum pria yang mengenal sosoknya.

Aku dan Kak Bi memang hanya terpaut 2 tahun. Kak Bi kelas 12 dan aku kelas 10. Dia juga seorang mantan ketua OSIS, pokoknya jika kalian melihatnya pasti akan terkagum-kagum karena kakakku yang satu itu terlihat begitu sempurna dalam segala hal. Yah, kecuali kalian tahu kelakuannya di rumah yang suka jalan sambil tidur, dan mengigau tidak jelas kalau tidur dalam keadaan amat lelah. Mungkin itu satu-satunya kekurangan yang Kak Bi miliki.

Dan apa masalahnya denganku? Oh ayolah! Tidakkah kalian mengerti? Kesempurnaannya itu membawa petaka bagiku. Aku yang biasa saja ini sering kali dijadikan bahan perbandingan dengan Kak Bi yang sama sekali tidak adil bagiku.

Di mulai nilai akademisku yang rata-rata dan malah terkadang di bawah rata-rata, dengan Kak Bi yang selalu juara teratas di sekolah. Lalu wajahku yang tidak ada sisi istimewanya ini, dengan Kak Bi yang super menawan dilihat dari sisi manapun. Lantas ketidakmampuanku berorganisasi membuat aku jadi bulan-bulanan empuk teman-teman maupun kakak kelasku.

Mereka sering mengolokku yang tidak ada mirip-miripnya sama sekali dengan kakakku itu, dari mulai olokan tingkat bawah seperti, "Mending lo tanya sama Kakak lo gih, Ta. Kok bisa pinter gitu nggak nurunin ke adeknya?"Memangnya menurut mereka pintar itu turunan?! Sampai olokan tingkat atas yang langsung membuatku biasanya mengamuk dan berakhir dengan tawa puas mereka karena berhasil membuatku terlihat lucu di mata orang-orang, "Jangan-jangan lo anak pungut, Ta? Abis nggak ada mirip-miripnya sama sama kakak-kakak lo sih."

Tidak hanya berhenti sama di sana, penderitaanku semakin menjadi oleh berbagai modus pria yang sering kali membuatku salah paham. Awalnya kukira mereka mendekatiku karena memang ada perasaan padaku, tapi nyatanya mereka mendekatiku hanya sebagai alat untuk bisa mendekati Kak Bi. Aku dimanfaatkan oleh mereka karena Kak Bi, dan itu yang paling aku benci. Hingga akhirnya sampai saat ini, aku tidak mau lagi percaya dengan pria-pria yang mendekatiku jika obrolan kami sudah menyinggung-nyinggung soal Kak Bi. Siapapun mereka, sebaik apa pun orang itu, dan setampan apa pun rupanya, akan langsung aku tinggalkan begitu saja. Masa bodoh dengan ejekan yang kemudian aku terima karena sikapku itu.

Sial memang. Apa di mata mereka aku seburuk itu? Oke, aku akui aku malas belajar, catat! 'malas' bukannya tidak bisa atau karena aku bodoh. Aku pernah mati-matian belajar agar nilaiku tidak diremehkan dan dibanding-bandingkan dengan Kak Bi yang selalu menjadi teratas di sekolah, dan nyatanya aku berhasil. Tapi tanggapan yang kudapat justru malah menyakiti hatiku, mereka malah mengolokku mendapat contekan dari Kak Bi. Padahal coba dipikir. Bagaimana aku bisa minta contekan pada kakakku sementara kami beda angkatan? Menggelikan sekali, kan?

Sayangnya, aku yang saat itu masih kecil terlanjur terluka dan menganggap usahaku itu sia-sia jika masih ada bayang-bayang Kak Bi di belakangku. Maka dari itu aku mogok belajar, dan membiarkan semua nilaiku biasa-biasa saja. Bersikap masa bodoh dengan apa pun persepsi yang mereka mau tentang nilai akademisku.

Penderitaanku berkurang saat Kak Bi lulus SD dan kami berbeda sekolah. Meski segelintir orang-orang yang kenal Kak Bi dan Kak Arga masih tetap sering mengangguku dengan ocehan-ocehan menyebalkan, setidaknya tidak segencar saat Kak Bi ada di sekitarku, dan aku cukup memiliki ruang untuk bernapas saat itu. Tapi rupanya petaka tidak berhenti sampai di sana, Bunda tidak mengizinkanku memilih SMP yang berbeda dengan Kak Bi dengan alasan Kak Arga juga dulu lulusan sekolah itu. Alasan konyol yang membuatku kembali terjebak di SMA yang sama dengan Kak Bi lagi saat ini.

Aku menghela napas. Meratapi nasib, mengapa aku selalu berakhir dengan bayang-bayang kedua Kakakku yang spektakuler itu? Meski Kak Arga nilai akademisnya juga biasa saja dan tidak jauh beda denganku, tapi keaktifannya di bidang olahraga membuat Kak Arga terlihat 'sepadan' dengan Kak Bilqist. Sementara aku? Tolong jangan ditanya, karena kalian akan shock jika mengetahuinya. Aku bahkan tidak pernah berhasil memasukan satu bola pun ke ring basket selama pelajaran olahraga. Betapa menyedihkannya aku ini, kan? Yah, kadang aku memang mengakui diriku menyedihkan, meski aku berusaha untuk tidak lagi semenyedihkan itu.

Satu-satunya hal yang bisa kulakukan mungkin hanya memanjat pohon. Seperti yang kulakukan saat ini, duduk di dahan pohon mangga yang cukup tinggi di taman dekat rumah. Meratapi nasibku yang tak kunjung membaik dari hari ke hari.

"Eh, anak monyet! Dicariin Tante tuh! Pulang sana!" Teriak seseorang di bawah sana mendongak ke arahku dengan raut kesalnya.

Aku mendengus. Mendapati orang paling menyebalkan dalam hidupku yang lagi-lagi mengganggu keasyikanku menyendiri.

Dia kira aku tidak malas ditatapnya seperti itu?!

Cinta Dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang