15

4.7K 687 130
                                    

Maaf kalau banyak typo bertebaran. Proof reading cuma satu kali. Hope you enjoy it~ ♡♡♡

.

.

.

Dingin; bagai jatuh dan tenggelam dalam tumpukan salju tebal tak tertembus matahari. Sesak; seolah ditendang ke dalam sumur tak berdasar, dengan lubang permukaan tertutup lempengan bundar kayu tebal. Di saat bersamaan, tubuh Haechan sepenuhnya berkeringat, dengan rasa hangat yang perlahan memanas, seperti api unggun perkemahan musim panas di awal malam; besar, membara, bersinar, yang hawanya tetap terasa meski berdiri beberapa meter jauhnya. Satu entakan napas dan Haechan membuka mata, napas tidak beraturan. Sesuatu terasa mengimpit, menekan dadanya, menduduki perutnya. Mata cokelatnya terbuka lebar, awas memandang seluruh kegelapan kamar. Tangan yang nyaris kaku meregam permukaan seprai begitu kuat, mengacak hingga tak lagi berbentuk. Dan pada hitungan kesepuluh dalam kepala, satu-satunya hal yang masih berfungsi secara normal, tubuh Haechan tersentak bangun, duduk di atas ranjang.

Seluruh tubuhnya terserang rasa sakit, hingga Haechan nyaris tak bisa berpikir, atau mengeluarkan suara, berteriak minta tolong. Apa yang ia rasakan begitu membutakan, menulikan, membisukan, saking sakit rasa yang kini meledak di dalam tubuhnya, merembet melalui pembuluh darah dan nadi, mencari-cari jantung dan hati, memeras lambung hingga usus dua belas jari, membuatnya merasa mual, sakit, tidak karuan, sebelum akhirnya rasa itu bertemperasan menuju otaknya. Ia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi, namun memiliki keyakinan bahwa apa yang terjadi bukanlah yang pertama kali. Entah kapan, tetapi ingatannya merasa familier.

"Bernapas."

Sebuah suara, yang Haechan sangat tahu milik siapa, terdengar di tengah rasa sakit itu. Haechan sedikitnya menyadari bagaimana tubuhnya terlihat saat ini; tegang, berkeringat seolah mandi, mata melotot selebar piring makan malam, dengan dada naik turun seolah dipompa, namun tidak menghasilkan udara yang cukup bagi paru-parunya. Untuk sesaat, Haechan merasa dirinya kembali, pada titik di mana obat dan inhaler merupakan kawan yang sangat berarti. Haechan membencinya, perasaan itu, membawa rasa takut seperti terjangan badai yang meluluh-lantak otaknya, berbaur dengan rasa sakit dalam satu inteligensia: menghancurkannya.

"Bernapas."

Aku mencoba! Aku benar-benar mencoba!

Suara yang sangat jelek tiba-tiba terdengar, berdengung di telinga yang Haechan pikir telah menuli, seperti erangan monster kesakitan di ujung ajal setelah ditebas pedang perak sang ksatria. Tak lama, lelehan panas terasa mengaliri wajahnya, yang Haechan sudah tak tahu lagi bagaimana bentuknya, apakah masih sama, atau meleleh bersama aliran sungai di pipinya, berubah tak beraturan seperti es krim yang terjatuh di trotoar dan leleh di bawah sinar cahaya matahari panas. Suara jelek itu terdengar semakin keras, dan Haechan baru menyadari bahwa itu adalah suara yang keluar dari mulutnya sendiri, ketika sosok dalam kegelapan mendekat, melangkah ke arahnya dan segera memeluknya, menarik wajahnya agar terbenam di dada bidang nan kukuh.

Haechan memejamkan mata, tubuh yang bergetar tertelan dalam dekapan Mark, dan untuk alasan yang tak terbaca, kenyamanan merambat dalam dirinya. Suara jelek itu mereda, begitu pula rasa sakit di kepala. Tangannya tanpa sadar bergerak, meregam kedua sisi lengan Mark dengan erat, seolah memerintah si pemuda untuk tetap dalam posisi itu.

"Tidak apa-apa," bisik pemuda itu, mengusap belakang kepala Haechan dengan gerak penuh penenangan. "Itu hanya efek samping kecil, kau bisa menahannya."

Haechan sama sekali tidak bisa menemukan suara untuk sekadar berkata. Tubuhnya seolah tidak mau sinkron dengan otak, menolak semua gagasan yang mengalir di setiap pembuluh saraf. Bahkan, kedua tangan yang menarik tubuh Mark semakin dekat tidak mau menghiraukan jerit protes benaknya, bahwa mereka tidak seharusnya seperti ini. Mark tidak seharusnya ada di sini, di kamar ini, memperhatikannya tidur atau apa pun, dan sekarang memeluk dan menenangkannya. Mark seharusnya tidak di sini, pemuda itu seharusnya bersama Jungwoo, dan mengingat percakapan terakhir mereka dua hari lalu, Mark pun seharusnya memenuhi janji omongannya sendiri, bahwa ia tidak akan mendekat, tidak akan bicara, apalagi memeluk Haechan seperti ini. Semua seolah salah, namun terasa benar di saat bersamaan. Hingga kemudian, Haechan perlahan menemukan ketenangan secara utuh, membuat tubuhnya sedikit demi sedikit mulai rileks. Tenggorokannya sudah bisa memproses gerakan, menelan ludah yang terasa pahit dan memuakkan, namun setidaknya, rasa mual di perutnya mulai memudar.

[✓] Ocean Eyes Arc #1 [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang