2

10.4K 1.4K 98
                                    

Perhatian!
Bab dengan banyak narasi; cenderung membuat bosan.

.

.

.

Haechan memutuskan keluar dari rumah, ke mana pun asal tak bertemu batang hidung dengan sang ibu, atau perdebatan tentang ketidaksenangannya berada di rumah baru tak akan berakhir.

Dengan jaket membalut tubuh kurusnya, celana jins, sepatu sport serta masker yang menutupi mulut dan hidung, laki-laki tujuh belas tahun itu melangkah cepat dengan kepala tertunduk. Kedua tangan terbenam dalam saku jaketnya, menghalau udara dingin musim gugur. Cukup menyesal ketika sadar tidak mengenakan syal, namun terlalu malas untuk kembali ke rumah dan bertemu ibunya lagi. Haechan butuh waktu sendiri untuk saat ini.

Ia tidak tahu ke mana langkah pastinya menapak. Namun seolah sudah familier, ia tidak merasa aneh sedikit pun tatkala melintasi jalan setapak menuju puncak dataran tinggi. Mengabaikan suara debur ombak, burung camar yang saling bersahutan, atau angin yang membawa bau-bau asin lautan. Lelaki itu terus menyusuri jalan menanjak tersebut, jalur yang sempat ia lihat melalui jendela kamarnya semalam.

Napas Haechan terengah di balik masker. Tangannya meregam inhaler kecil di dalam saku jaket, sama sekali tak ingin mengeluarkannya untuk membantunya bernapas dengan lebih baik.

Begitu mengetahui bahwa penyakit yang ia derita menjadi semakin parah, berikut dengan fungsi pernapasan yang tak lagi dapat diandalkan kecuali dengan bantuan obat dan inhaler, Haechan berubah menjadi bocah keras kepala. Ia jadi lebih suka memaksakan diri, seolah menantang akhir bahwa ia bisa lebih baik dari ituㅡtanpa ketergantungan inhaler maupun obat-obatan mahal yang selalu ibunya usahakan.

Keluarganya bukanlah golongan yang benar-benar kaya, sehingga Haechan sadar betul betapa besar usaha sang ibu untuk membuatnya 'sembuh'ㅡmeski itu adalah hal paling akhir yang dapat terjadi sekalipun. Haechan tidak ingin bergantung penuh pada obat maupun alat bantu pernapasan, sebab itu sama sekali tidak akan membantu ibunya. Meski wanita itu bersikeras bahwa usaha apa pun akan dapat menyenangkannya, namun semua berbanding terbalik dengan apa yang Haechan rasakan.

Melihat wanita itu bekerja amat keras, mengumpulkan pundi-pundi uang hanya demi dihabiskan dalam sepekan pengobatannya, membuat Haechan merasa amat bersalah. Sehingga, apabila ada yang bisa ia lakukanㅡdengan mengurangi ketergantungannya pada obat-obatanㅡmaka beban ibunya akan sedikit berkurang.

Setidaknya, ia masih bisa menahan rasa sesak di dadanya. Mengatur napas sebaik mungkin hingga rasa sempit dan panas tajam yang menyerang dapat hilang perlahan-lahan.

Dengan napas terengah setelah meraih puncak bukit, Haechan mendekati salah satu pohon tinggi, bersandar di sana dengan mata terpejam dan masker yang dibuka, berusaha mengatur napas dan mengembalikan dadanya yang terasa panas menjadi normal.

Napasnya tersendat. Inhaler di dalam saku ia genggam dengan erat, berusaha menahan diri untuk tak mengeluarkan benda itu. Namun nyatanya, Haechan tidak mampu menahan. Napasnya tersendat begitu kuat; seolah lupa bagaimana cara mengeluarkan karbon dioksida dan menghirup oksigen dengan benar.

Tak ada pilihan, lelaki itu menarik inhaler keluar dari saku jaket dengan gerakan cepat, pun meghirupnya rakus. Setelah beberapa saat, ia merasa lebih baik.

Setelah menaikkan masker kembali menutupi mulut dan hidungnya, Haechan mengedarkan pandang, memperhatikan tempat di mana ia berada.

Tak jauh yang bisa ia tangkap selain pohon demi pohon dengan daun kekuningan yang menjulang, sedang cahaya matahari mengintip dari sela-sela dahan, bagai berlian yang bertaburan.

[✓] Ocean Eyes Arc #1 [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang