Prolog

7 0 0
                                    

Mungkin,

Beginilah rasanya akan mati.


Ketika genggamannya mulai luruh di telapak tanganku,

Sesaat kurasakan, kebebasan menjejali rongga dadaku.

Langit cerah tak tersaput awan,

Sinar lembut mentari yang menyilaukan mata,

Semilir angin yang menelisik rambut.


Tidak.

Sungguh bukan itu.

Sekelebat perjalanan hidupku muncul bak pemutaran film,

Sungguh, bukan langit itu.

Bukan mentari itu.

Bukan semilir itu.


Dua wajah yang tersenyum padaku,

Dua wajah yang yang penuh harap padaku,

Kerlip bintang-bintang pada gelapnya malam,

Ancaman-ancaman itu,

Darah yang mengucur deras,

Pisau yang mengilap tajam,

Dan,

Wajahmu yang tertawa riang,

Dirimu yang mewarnai hidupku,

Kau yang seharusnya paling kubenci dalam hidupku.

Mengapa harus kau?


Tanpa sadar,

Senyum lirih turut menghiasi genangan air mata.

Mungkin senyum terakhir,

Mungkin air mata terkahir,

Dan reranting pohon mulai mencabik-cabik sekujur tubuhku.


Sedikit lagi,

Kudapati tubuhku menghantam sesuatu.

Seketika,

Segala rasa sakit menggerogoti setiap senti tubuhku.

Samar-samar,

Kudengar jeritan dan derap langkah mendekati diriku.


Sepertinya,

Sang waktu telah menjemput,

Sudah saatnya kututup mataku.

Selamat tinggal.

The Moon in Your EyesOù les histoires vivent. Découvrez maintenant