Ia sadar jika beberapa hari ini ia lebih sibuk dengan Saras dan tak menghiraukan keberadaan istrinya tersebut. "Kewajiban kamu itu ngurus istrimu dan anakmu, Mas. Bukan ngurusin janda orang lain dan anaknya."

Tari melengos begitu saja menaiki tangga ke lantai dua, tanpa menunggu reaksi Pandu yang telah disindirnya.

Mengusap wajahnya dengan kasar, Pandu menghembuskan napas berat dan kembali mencerna ucapan Tari.

Ya ... paling tidak dengan kedatangan keluarga Saras, ia bisa lebih fokus pada istri dan anaknya, dari pada orang lain meskipun itu saudaranya. Ia harus mengambil sikap tegas.
.
.
.
"Kapan kamu terakhir kali pulang kampung, Ndu?" Pertanyaan sang ibu membuat Pandu berhenti menyuapkan sesendok penuh makan malamnya.

"Belum tau, Buk. Kerjaan lagi hetic banget. Belum lagi agenda keluar kota yang kadang-kadang suka dadakan. Pandu nggak bisa gitu aja ngajuin cuti seenaknya."

Seolah Tari tak ingin ikut campur dengan obrolan ibu dan anak, istrinya itu lebih memilih menyibukan diri menyuapi Kailani.

"Ri ... gimana kabar kakakmu?"

"Terakhir komunikasi Abang sehat-sehat aja, Buk. Mungkin sekarang dia lagi bersenang-senang sama satwa liar di Afrika." Tak urung jawaban Tari membuat Pandu tersenyum geli, begitu juga dengan ibu mertuanya.

"Cakra itu lebih milih bercengkerama sama hewan-hewan liar, Buk. Dibanding nyari perempuan buat dikawinin."

"Hush! Omonganmu, Le. Nikah dulu baru kawin."

"Iya iya, Buk. Aku cuma bercanda kok. Tapi emang kenyataannya gitu, Cakra lebih mencintai dunianya daripada mencari istri."

"Ck! Kamu ini. kalo bukan bapakmu yang ndesak kamu buat nikah, kamu juga ndak bakalan nikah, 'kan?"

"Buktinya Pandu udah nikah sama Tari." Jawaban retoris Pandu mendapatkan dengusan dari sang ibu.

"Lani."

"Iya, Eyang Uti."

"Lani ndak mau punya adek gitu?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh si Eyang Uti membuat Pandu mendelik dan Tari yang tersedak.

"Buk! Kok begitu sih nanyanya?"

"Lho kenapa? Ibu pengen cucu lagi, Ndu. Pasti rumah lebih rame lagi kalo kita ngumpul." Pandu mengaruk keningnya. "Lani udah besar lho, mau sembilan tahun, 'kan? Ndak ada salahnya kalian punya anak lagi."

"Emang nggak ada salahnya, Buk-"

"Ya udah. Kalo begitu kalian bikin lagi. Lagian apa toh yang dipertimbangin? Kamu udah mapan? Umur kamu berapa, Le? Temen-temenmu malahan udah punya anak dua ato tiga."

"Buk," panggil Tari lembut membuat sang ibu mertua berhenti mengomeli suaminya. "Doain aja, ya, Buk. Mas sama Tari juga lagi berusaha, sedikasihnya sama Allah."

Pandu tersenyum mendengar ucapan Tari, begitu juga dengan Indah-Ibu Pandu. Pertama kali Pandu membawa Tari dan Cakra kala itu adalah ketika dirinya sedang liburan semester, dan Tari libur kelulusan. Mereka bertiga memutuskan berlibur ke rumah Pandu. Sejak perkenalan itu pula Ibunya menyukai Tari dan menganggap gadis itu adalah putrinya sendiri.

Pernah suatu ketika Pandu dan ibu sedang duduk santai, Lujeng-adik semata wayangnya-tengah membersihkan pelataran rumah dengan Tari. Indah sangat menyukai perangai Tari yang begitu menghormati dirinya dan seluruh keluarganya, bahkan Indah mengutarakan harapannya jika suatu saat Tari yang menjadi menantunya.

Andai dulu tak permintaan akan pernikahan ini, mungkin bukan Tari lah yang berada di depannya. Tak ada Kailani putrinya, juga senyum semringah sang ibu.

Seharusnya ia patut bersyukur akan keluarga kecilnya ini 'kan.

🍁🍁🍁🍁

Sori, aku belum sempat balesin komen kalian satu2 tapi semuanya aku baca kok. Gak ada yg kelewatan sama sekali.

Hujat saja si Pandu. Wkwkwkwkwwk. Kalo menurut kalian dia memang pantas.

Eh, tunggu ... kalian kepengen kisah ini seperti apa sih?

Adegan Tari minggat?

Adegan Tari minta cerai?

Atau adegan2 lainnya yg bikin kalian nyeret pandu ke tempat penjagalan aja?

Makasih buat sesembak author _hapsari_ dan ibun IndraWahyuni6 sudah ngasih saya inspirasi.

Doain aja biar akunya istiqomah nulis cerita ini. Wkwkwwkwkwk...

See you soon gaes.

Sidoarjo, 1 November 2019
-Dean Akhmad-

Terjebak PERNIKAHANOnde histórias criam vida. Descubra agora