01. Petunjuk Kekalahan

1K 76 5
                                    

"Thorn, bisa tolong aku?" Gempa baru saja melepas apron dari tubuhnya dan berjalan mendekati Thorn.

Yang dipanggil segera menengok, ia yang sebelumnya tengah asil menonton televisi segera bangkit berdiri. Ia mendapat sebuah tugas kecil dari laki-laki yang sudah mengemban tugas sebagai seorang Mama di rumah ini.

Thorn si pemilik manik mata hijau diminta untuk pergi ke kamar saudaranya dan memanggilnya karena makan malam akan segera siap. Tidak ada bantahan, dengan senang hati ia menerima tugas tersebut. Bukan tugas buruk juga karena ia memang dekat dengan saudaranya yang satu ini, ia dan saudaranya ini adalah dua hal yang jarang terpisahkan ditambah dengan satu lagi saudaranya yang memiliki warna mata seperti api yang membara.

"Taufan, saatnya makan malam!"

.

.

.

Sudah dua hari sejak kejadian itu, Thorn sering berkunjung ke kamar yang ia sebut sebagai kamar milik saudaranya. Namun tidak ada satu pun dari saudaranya yang lain mengingat sosok yang sebelumnya menempati kamar itu.

"Sudah dua hari dia mengoceh soal teman khayalannya yang ia angap sebagai saudaranya itu," komentar Solar yang tengah menikmati secangkir teh hangat bersama Halilintar dan Gempa di ruang makan.

Ketiganya tidak saling menatap, tetapi sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Halilintar sibuk dengan buku novelnya, Solar sibuk dengan smartphone-nya sementara Gempa sibuk dengan laptopnya.

Halilintar melirik Solar dari balik buku novelnya. Netra merah itu tampak tengah mengintimidasi Solar yang masih sibuk melihat layar smartphone miliknya setelah menyeruput teh.

"Kita biarkan saja dulu, jika semakin lama keadaannya semakin parah sebaiknya kita membawanya ke psikolog." merasa percakapan yang dimulai Solar bertopik cukup penting, Halilintar menutup novelnya setelah memberikan pembatas pada halaman terakhir yang ia baca.

Di sisi lain Gempa juga menutup laptopnya dan menghembuskan napas. Wajahnya terlihat sangat khawatir, tentu ia sangat mengkhawatirkan saudaranya. Ia tidak pernah menyangka hal seperti ini pada akhirnya akan terjadi pada keluarganya.

Smartphone milik Solar kini sudah terletak di atas meja, Solar juga ingin membahas hal ini dengan lebih serius. Bagaimana pun juga Thorn adalah saudaranya juga.

"Jangan bersedih, Gem. Aku yakin Thorn pasti akan kembali seperti sedia kala." senyuman Solar yang ada di dekatnya membuat Gempa sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Setidaknya kini Gempa tahu bahwa yang mengkhawatirkan keadaan Thorn bukan hanya dirinya tetapi juga Halilintar dan Solar. Mungkin Ice serta Blaze juga merasakan hal yang sama, tetapi mereka belum menunjukkan tanda yang lebih nyata.

Ketika mereka tengah sibuk mengkhawatirkan Thorn, di sisi lain Thorn justru tampak mengkhawatirkan sesuatu. Sesuatu yang bahkan ia tidak ketahui, tetapi ia yakin ada yang perlu ia khawatirkan karena ia merasa kehilangan sesuatu yang penting.

Setiap hari ia selalu berdiam di kamar yang sebelumnya ditempati Taufan. Saudaranya yang lain mengaku bahwa kamar itu hanya kamar tamu dan semua barang yang ada di sana hanyalah barang bekas yang biasa mereka pinjamkan pada saudara atau teman yang datang menginap di rumah mereka.

Jelas Thorn membantahnya dan mengaku bahwa ada satu lagi saudara kembarnya yang tinggal di kamar itu, tetapi Thorn tidak bisa menyebutkan namanya. Selama dua hari itu Thorn mencoba untuk mengingat nama dari laki-laki yang ia anggap sebagai kembarannya itu.

"Siapa ...? Aku tahu kau masih di sini. Aku bisa merasakan kehadiranmu di kamar ini." Thorn bergumam seorang diri sambil menggenggam selembar foto yang di tengahnya tampak kosong. Tempat yang kosong tersebut diyakini Thorn sebagai tempat dimana saudara kembarnya itu seharusnya berada.

"Siapa?" sudah cukup lelah berdiri selama setengah jam, Thorn akhirnya memutuskan untuk duduk di sisi ranjang milik Taufan. Pikirannya masih terus mencari tahu siapa yang selalu menghantuinya sejak dua hari lalu.

Ingatannya tentang orang ini sama sekali tidak ada, lenyap begitu saja tanpa ada jejak. Thorn jelas-jelas tidak memiliki ingatan apapun tentang sosok itu, tetapi hatinya berkata lain. Hatinya seakan memberikan petunjuk bahwa ada sosok yang harus ia selamatkan.

Petunjuk yang Thorn miliki hanyalah selembar foto, sebuah topi dan sebuah kamar. Namun tidak ada satu pun ingatan yang bangkit. Sosok ini seakan benar-benar tidak pernah hadir di dalam hidupnya, tetapi dirinya memiliki keingin tahuan besar untuk mengetahui siapa sosok yang hilang.

"Kamu ... aku pasti akan menemukanmu." tubuh Thorn terbaring di ranjang tersebut. Mata hijaunya menatap langit-langit kamar yang hanya dihiasi sebuah bohlam lampu yang tengah bersinar. Saat itu tiba-tiba ia merasakan kantuk yang teramat berat, sehingga tidak lama ia terlelap.

Namun apakah tidurnya kali ini akan membawanya kepada petunjuk selanjutnya untuk menemukan sosok itu?

Kemana Taufan pergi? Dan kenapa topi tersebut masih tersisa di dunia ini?

Hey, siapa yang tengah memandangi Thorn dari pojok ruangan?

.

.

.

"Kau ini lucu sekali, apa kau masih ingin terus melihatnya?" remaja dengan warna mata merah menyala itu tampak menahan tawa ketika tengah melihat remaja yang hampir serupa dengannya tengah mencoba untuk menembus dinding yang mengurungnya.

Tidak ada jawaban dari remaja yang ia ajak bicara. Ia terus mencoba untuk menembus dinding di depannya tanpa memedulikan remaja yang ternyata lebih banyak mengoceh dibandingkan dengannya.

"Kau menaruh harapan pada orang yang salah, anak seperti dia bisa melakukan apa? Mungkin pada akhirnya kau hanya akan terus terperangkap di sini dan tidak akan pernah kembali." ini sudah yang ketiga kalinya remaja itu mengompori remaja lainnya yang tengah berusaha untuk menggapai remaja yang ada di luar dinding.

Usahanya terlihat sia-sia, tetapi kedua tangannya tampak belum berhenti untuk membenturkan diri ke dinding tersebut. "Cih, aku tidak akan kalah darimu!" bentaknya.

"Ohoho, kalau begitu bangkitlah. Lawan aku dengan kekuatan yang kau punya, mungkin jika kau menang maka kau bisa keluar dari sini." tatapan itu adalah tatapan yang menantang sekaligus meremehkan. Dagu dari remaja dengan warna mata merah menyala itu meninggi seiring kesombongan yang ada pada dirinya semakin membesar.

Aku ingin kembali.

"Baiklah, mari kita buktikan siapa yang lebih kuat!"

Maafkan aku, aku tidak cukup kuat.

"Huh, marilah!"

Jika aku tidak bisa kembali, apa itu akan lebih baik?

"Ayo lawan aku! Kemana nyali besarmu itu pergi!?" tidak butuh waktu lama bagi remaja bermata merah itu untuk mengalahkan lawannya. Kini ia tengah menendang tubuh lawannya dengan bangga dan menginjak kepalanya lawannya. Senyuman penuh kemenangan di wajahnya terukir sempurna, menampakkan betapa senang dirinya dapat mengalahkan lawannya.

"Kau ini lemah, kau tidak bisa melakukan apa-apa selain menangis dan meminta pertolongan orang lain. Siapa yang butuh orang lemah dan menjijikan sepertimu?"

-To Be Continue-

-Narake-

EksistensikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang