DUA PULUH TIGA - ABIGAIL POV

185 17 5
                                    

Oke, akhirnya yuni update. Tidak banyak sih, tapi semoga mengobati rindu kalian pada Abs dan Mas Ray.

Part depan mereka udah halal ya. Dan kisah ini berakhir.

Happy reading teman-teman

^^

"Mbak Bi, udah denger kabar belum?" tanya Mery sekembalinya dia dari ruangan Pak Edgar.

Seperti biasa, Mery suka heboh sendiri ketika mendapat informasi apapun. Dan dia ini yang paling update kalau masalah kabar-kabar seputar kantor. Mungkin karena bosnya adalah Pak Edgar kali ya. Doi kan sumber dari segala sumber. Bahkan ada yang bilang, Pak Edgar anak emas Pak CEO. Nah lho.

"Kabar apa?" tanyaku cuek. Aku dan Mbak Desi sudah biasa dengan kehebohan dia. Sudah tidak heran lagi. Yah, meski ada kalanya kami juga punya rasa ingin tahu yang besar tentang info-info darinya.

"Mutasi. Kayaknya Mbak Bi mau dimutasi ke Palembang deh," jawabnya berbisik.

Well. Aku tidak terlalu terkejut dengan kabar itu. Aku sudah menduganya sejak awal. Jadi, mendengar Mery membisikkan informasi itu, reaksiku biasa saja. Lebih tepatnya, aku mencoba menerima. Toh, itu sudah konsekuensiku menerima lamaran Mas Ray.

"Mbak Bi nggak kaget atau apa gitu? Datar banget responnya. Nggak asyik," keluh Mery mengundang perhatian Mbak Desi yang sedang fokus dengan pekerjaannya.

"Kenapa dia mesti kaget, Mer?" Mbak Desi nimbrung.

Bagi kami, sekedar bergosip sejenak tidak akan membuat pekerjaan kami tertunda. Asal tidak terlalu lama saja.

"Katanya Mbak Bi mau dimutasi ke Palembang, Mbak Des. Tapi lihat deh, dia biasa aja," jawab Mery sebal.

Memang apa yang dia harapkan? Aku syok? Atau mewek dan protes pada management? Aku sadar diri kali ya, kalau aku hanya remahan rempeyek di dasar toples.

"Beneran, Bi. Kamu udah terima suratnya?" tanya Mbak Desi padaku. Dia yang terlihat lebih terkejut.

Aku hanya menggelengkan kepala dan kembali menyelesaikan segala tugasku. Laporan persediaan gudang, laporan hutang supplier, membuat list kontak supplier dan lain sebagainya. Semua laporan itu ku jadikan satu folder yang ku beri nama "Serah Terima".

Suka atau tidak, aku harus bersiap dipindahkan.

Pandangan orang-orang kantor mulai aneh sejak aku kembali dari Surabaya. Mereka sering terlihat berkelompok dan berbisik-bisik. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Terlihat seru sekali. Namun ketika aku melintas, mereka berhenti sambil menatapku. Rasanya tidak nyaman. Seolah aku adalah seorang pesakitan.

Mbak Desi melongokkan kepalanya untuk melihat layar komputerku. "Tuh, kamu bahkan sudah siapkan folder serah terima," tunjuk Mbak Desi dengan dagunya.

"Ini persiapan, Mbak. Kan suami istri nggak boleh dalam satu Divisi," jawabku.

"Iya sih, tapi 'kan masih nggak papa dalam satu kantor juga asal beda divisi," kata Mbak Desi kembali ke kubikelnya.

Mery terlihat berpikir keras. Matanya menatap lurus pada layar komputernya, tetapi aku yakin, pikirannya sedang melayang entah kemana.

"Lagi mikirin apa, Mer? Tugas dari Pak Edgar susah lagi?" tanyaku.

Asal kalian tahu, Mery itu paling sebel sama bos bataknya. Kalau merintah suka seenaknya sendiri. Tapi, namanya juga bos ya. Dimana-mana 'kan selalu benar.

"Nggak. Bos lagi jinak. Nggak merintah apa-apa sepanjang hari ini," jawabnya.

"Terus kenapa itu muka ditekuk?" tanyaku lagi.

Merindukan PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang