Halte dan Bus (Seri 2)

2.5K 339 40
                                    

Cuaca seharian ini sangat cerah.

Angin berhembus pelan dan bunga-bunga mulai bermekaran, tanda musim semi sudah datang.

Chenle berjalan gontai melewati lapangan olah raga sekolahnya. Ia menikmati suasana malam yang seperti ini. Membuatnya nyaman.

Sudah dua minggu sejak liburan musim dinginnya usai. Itu berarti sudah dua minggu juga ia kembali bersekolah, tapi dengan tingkatan yang berbeda.

Dan tentu saja sudah 2 minggu yang ia lewatkan tanpa bertemu dengan laki-laki berambut mangkuk itu.

Sejak kejadian terakhirnya yang sangat memalukan, Chenle memutuskan untuk berhenti naik bus yang sama setiap hari.

Ia memilih untuk berangkat satu jam lebih pagi, lalu mengendarai bus yang berbeda, dengan rute yang jauh lebih panjang, hanya supaya memperkecil pertemuannya dengan pria itu.

Chenle rela mempersingkat waktu tidurnya dan melewatkan sarapan agar bisa memilih bus yang datang lebih pagi.

Jujur saja, Chenle belum berani untuk memperlihatkan mukanya di hadapan pria itu meskipun ini sudah lewat berminggu-minggu.

Chenle menyapa petugas kemanan di pintu gerbang sekolahnya. Ia memamerkan senyuman manisnya lalu berterimakasih saat petugas itu membukakan pintu gerbang.

Chenle berjalan keluar menuju halte bus yang tidak jauh dari sekolahnya.

Hari ini ia pulang lebih larut, rasanya cukup lelah. Sepertinya ia terlalu banyak mengambil mata pelajaran tambahan, matanya sudah tidak bisa diajak kompromi.

Chenle tiba di halte bus.

Suasananya benar-benar sepi dan ia sendirian mengambil duduk di kursi tunggu.

Biasanya kalau seperti ini, pikirannya mulai ngelantur. Berimajinasi tentang penguntit yang mengawasinya diam-diam, atau perampok yang siap mengambil harta bendanya.

Ha! Memangnya harta apa yang ia bawa? Hanya ponsel dan dompetnya yang sangat tipis.

Chenle celingukan menunggu bus yang tak kunjung datang. Ia memeriksa jam di tangannya. Sudah pukul sembilan malam. Ia gelisah.

Samar-samar ia mendengar suara langkah kaki berjalan ke arahnya, lalu suara itu hilang. Chenle menoleh ke sumber suara itu. Ia mendapati seseorang dengan pakaian serba hitam dan hoodie yang menutupi kepalanya.

Chenle begidik. Ia menelan ludah.

Mungkinkah itu penguntit? Atau perampok? Atau malah pembunuh?

Chenle melirik lagi ke arah orang itu, ia terlihat mendekat ke tempatnya.

Chenle menggigir bibirnya, apa ia harus lari?

Atau teriak minta tolong?

Mendengar suara langkah kaki yang semakin dekat, Chenle langsung berdiri. Ia mengambil posisi ke arah yang berlawanan.

Lalu berjalan agak cepat menjauhi halte, masa bodoh, ia harus kabur.

Ia menoleh ke belakang, mendapati sosok tadi mengikutinya. Chenle refleks mempercepat langkahnya sambil komat-kamit berdoa agar segera tiba di tempat yang lebih ramai.

Chenle semakin mengambil langkah lebar-lebar saat ia mendapati orang di belakangnya mulai bergerak sangat dekat dengannya.

Ia terkejut saat pundaknya ditepuk dari belakang, dan lengannya ditarik.

Chenle memekik dengan suara lumba-lumbanya.

"Oh ya ampun! Tolong jangan bunuh aku, tuan! Aku mohon!" Chenle memejamkan matanya, berdiri gemetaran.

A Story About Destiny | Jisung ChenleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang