Part 2

1.1K 147 45
                                    

Hadi memandang hamparan pemandangan alam hijau. Lembah berselimut pepohonan seakan permadani alami yang menyuguhkan berjuta pesona. Tempat ini seakan sebuah anugerah Tuhan untuk dijadikan permata yang akan mengantarkan pundi-pundi rupiah. Cicit burung-burung menyapa pagi hari ini, menambah keelokan tempat yang belum banyak terjamah manusia ini.

Suara gesekan kain dari tempat tidur, sama sekali tak membuat Hadi tak bergeming. Pandangan mata pria itu masih mengamati sisi luar jendela yang ditetesi embun. Pikiran Hadi melayang pada satu nama wanita yang masih membekas di hatinya. Kandisha.

Kemarin, dia melihat air mata wanita itu. Ada rasa senang melihat air mata wanita itu. Bukankah itu artinya, Kandisha masih menyimpan dirinya dalam benak dan hati. Kandisha tentu cemburu dengan keberadaan Dian. Dan bagaimana dirinya lebih mengutamakan Dian, sehingga tanpa sadar, Kandisha menangis.

Namun, yang membuat Hadi tercengang, hatinya sendiri merasa sakit. Berdebar tak kuasa ingin memeluk wanita itu. Padahal, Hadi yakin, selama ini dia tak pernah mencintai Kandisha. Mereka bertunangan karena perjodohan orangtua. Dia tahu, Kandisha menyimpan rasa untuknya. Bahkan ketika Hadi memutuskan pertunangan mereka, Kandisha pergi begitu saja dan terlibat kecelakaan lalu lintas.

Nasib masih baik untuk membawa Kandisha kembali sadar. Dan mereka akhirnya memutuskan pertunangan secara baik-baik. Hadi bebas, Kandisha pun tak mengganggu hubungannya dengan Dian.

Akan tetapi, mengapa perasaan Hadi begitu terusik ketika melihat air mata wanita itu kemarin?

"Sayang ...." Sebuah pelukan lembut dari belakang, menyentak kesadaran Hadi kembali.

"Hei ... kau sudah bangun?" Hadi berbalik, tersenyum lembut menatap Dian yang memejamkan mata sambil memeluknya. Dian mendengkus.

"Hari masih begitu pagi, Mas Hadi sudah bangun," rajuknya sambil mengeratkan pelukan. Hadi membelai pundak wanita itu, lalu menuntunnya kembali ke ranjang.

"Aku sedang memikirkan proyek ini. Tidurlah, aku akan melihat-lihat sebentar dokumen pengerjaan yang dikerjaan tim kita."

"Hanya tidur?" tanya Dian cemberut.

"Yups, just sleep." Hadi merebahkan Dian, tangan wanita itu mencengkeram erat jemari Hadi. Bola matanya menatap, memindai emosi pria itu.

"Kau sedang memikirkan sesuatu yang lain." Rasa kantuk tiba-tiba saja menguap hilang. Dian bergegas duduk, memandang tajam prianya. "Kandisha, kau memikirkannya bukan?"

"A-pa, apa yang kau katakan? Aku hanya memikirkan semua proyek ini."

Dian menggelengkan kepalanya. "Kita sudah lama berhubungan, aku sangat tahu bagaimana emosimu, Mas." Tangan wanita itu mendorong tangan Hadi, lalu melengoskan wajah. Hadi menghela napas.

Dian tengah cemburu, dia sangat mengenal tabiat wanita ini kala cemburu menyergap. "Aku tak memikirkan Kandisha." Hadi menyentuh bahu Dian, kemudian mengecup pundaknya.

"Aku merasa kau berubah, Mas. Kau mulai kasihan pada gadis itu. Kau bilang kau tak mencintainya? Lalu kenapa kau memikirkannya?"

"Aku tak memikirkannya, Sayang," rayu Hadi, "hanya kamu cintaku. Kau yang berhak menjadi istriku kelak." Hadi membelai dagu Dian, meraihnya, kemudian mengecup bibir wanita itu. Melihat kasih sayang itu, senyum Dian kembali merekah. Ia kemudian mendekap Hadi, mengecup pipi pria itu.

"Aku tak suka jika kau memikirkan gadis lain," ucap Dian merajuk.

"Ehm." Hadi mengangguk, ia memejamkan mata, tetapi kemudian kembali membuka ketika bayangan wajah Kandisha muncul kala matanya terpejam. Apa yang terjadi padanya?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 15, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta yang (Tak) MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang