Part 6. Gus Azzam Sakit

20.3K 1.3K 95
                                    

Para santriwati mempersiapkan segala kerajinan dan perlengkapan yang akan dibawa ke acara bazar. Setelah siap, mereka menaiki mobil bersama Bu Nyai dan Kang Salam. Gus Azzam tersenyum simpul melihat antuasias para santriwati, apalagi Bu Nyai mengajak mereka menginap ke salah satu pesantren milik sepupu beliau.

"Gus Azzam baik-baik di pesantren, ya?" ucap Bu Nyai sebelum pergi.

"Umi, kan wonten Abi yang bisa jaga pesantren. Ada juga ustadz-ustadzah. Seperti mau ditinggal ke mana." Gus Azzam tersenyum melihat kekhawatiran ibunya.

"Kamu kan sebulan ini sibuk terus. Sekarang waktunya istirahat. Jaga kesehatan."

"Nggeh, Umi. Azzam badhe langsung tilem mantun iki."

Bu Nyai Halimah mengangguk, lalu naik ke dalam mobil setelah Gus Azzam dan Ning Miftah mencium tangan kanannya. Kebetulan saat itu Pak Kyai Fitri sedang ada di luar kota, tidak bisa sekadar mengantar istrinya bersama para santriwati.

Setelah dua mobil pergi meninggalkan pesantren, Gus Azzam berjalan terhuyung ke arah tembok. Dirasakan kepalanya sangat berat, lebih berat dari hari-hari sebelumnya. Tangannya bertumpu pada tembok berwarna putih yang mulai kusam.

"Gus Azzam mboten nopo-nopo?" tanya Ning Miftah khawatir.

Gus Azzam menggeleng pelan, "Saya tidak apa-apa, Ning."

Ning Miftah khawatir, dipandanginya sang suami dengan saksama. Jelas ada apa-apa. Apalagi Gus Azzam terlihat sangat lemas dan pucat.

"Gus saya antar ke kamar?" tanya Ning Miftah seraya memegangi tubuh Gus Azzam yang mulai limbung.

"Saya bisa sendiri."

"Mboten angsal keras kepala. Ayo saya antar ke kamar. Tidak baik dilihat para santriwati di sini." Ning Miftah memperhatikan beberapa santri yang menoleh aneh pada mereka.

Tanpa menunggu persetujuan suaminya, Ning Miftah segera memegangi lengan suaminya, memapah menuju ndalem. Ada rasa khawatir di hati saat merasakan suhu tubuh Gus Azzam, demam. Sejak menikah, lelaki itu terlihat lebih sering melakukan aktivitas berat di sekitar pesantren. Tak hanya itu, dua lingkaran hitam di bawah mata juga menandakan bahwa sang suami jarang sekali tidur. Wanita itu tak tahu apa yang dilakukan sang suami saat malam menjelang.

Setibanya mereka di kamar, Ning Miftah langsung membaringkan Gus Azzam di atas kasur. Tubuh lelaki itu mulai menggigil. Dengan cepat, Ning Miftah mengambil selimut tipis, lalu menyelimuti tubuh suaminya.

"Gus, njenengan demam. Kulo kompres nggeh." Tanpa menunggu persetujuan dari Gus Azzam, Ning Miftah langsung pergi ke dapur menyiapkan air hangat, saputangan kecil, dan baskom.

Rasa khawatir menelusup di hatinya, tak ingin sang suami merasakan demam lebih lama. Selama mengenal Gus Azzam, Ning Miftah belum pernah menjumpai suaminya itu demam. Atau mungkin saat mereka berteman dulu, Gus Azzam menyembunyikan perihal sakitnya pada wanita itu.

Ning Miftah meletakkan sapu tangan yang sudah dibasahi air ke atas dahi suaminya. Tak hanya disiapkan satu sapu tangan, namun ada beberapa juga. Dibukanya baju koko yang melekat, lalu dua sapu tangan diletakkan di ketiak sang suami.

Mata Gus Azzam tertutup, tubuhnya masih menggigil. Ning Miftah beberapa kali mencelupkan sapu tangan ke dalam air, lalu mengompres lagi. Wajah Gus Azzam terlihat sangat pucat, terlalu pucat bahkan.

"Gus, kita ke dokter, ya? Biar Kang Santri yang antar dengan mobil."

Tak ada jawaban, Gus Azzam masih menggigil. Bahkan terdengar gemelutuk gigi-gigi yang beradu. Tanpa menunggu lama, Ning Miftah menyuruh salah satu santri untuk memanggil Kang Santri, lalu meminta Kang Santri mengeluarkan mobil pick up dari gudang. Mobil yang biasanya digunakan untuk mengangkut hasil pertanian karena dua mobil lainnya baru saja berangkat sedangkan satu mobil dibawa oleh Kyai. Kang Santri adalah nama panggilan untuk Mujahid, salah satu pengurus senior.

Istri Kedua Gus (SUDAH TERBIT DAN AKAN DIFILMKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang