SEBULAN

221 7 0
                                    

Sabtu, 22 Juni 2019


Dear, Allah..

Hari ini, sebulan sudah aku dan Abang terpaksa berpisah. Sakit rasanya ya Allah. Rindu, sesal, marah, semua masih bercampur jadi satu. Kenyataan yang memang sudah dari awal aku pahami, bahwa hubungan ini tak pernah bisa berlanjut, kembali membayang di pelupuk mataku.

Keluarga kami masing-masing, masih saja terus membayangi kehidupan kami. Masih terus memantau, dan menjaga kami dengan ketat. Seolah kami menjadi tahanan berbahaya. Yang jika lepas sejenak dari pengawasan, akan membunuh orang-orang yang ada di sekelilingnya.


Ya Allah..
Aku merindukannya. Sangat.
Hingga saat ini, kabar Abang kadang masih aku peroleh dari teman-teman dekatnya.

Tetap berdosakah aku jika masih merindukannya?
Tetap berdosakah aku jika masih mengharapkan pertemuan dengannya?

Masih sering ku baca ulang chat kami melalui pesan aplikasi. Kembali ke masa itu, masa ketika tak berjumpa sehari rasanya begitu lama. Masa ketika menahan rindu menjadi suatu hal yang menyesakkan. Hingga akhirnya airmata menjadi pelampiasan sesakku.

***

Sebulan ini menjadi saat yang luar biasa buatku ya Allah. Aku tak tahu, bisakah aku melalui semua ini dengan baik?

Tangisan masih sering aku keluarkan ketika mengingatnya. Ritual yang biasa kami lakukan menjelang tidurpun masih aku lakukan sampai sekarang.

"Nite sayang."
"Jangan tidur malem-malem ya."
"Tidur yang nyenyak."
"Sleep tight and have a nice dream."
"I love you."

Tapi bedanya, sekarang aku lakukan sendiri, dalam hati. Tanpa balasan.

Ya Allah..
Ketika menuliskan ini, aku tak kuasa membendung airmataku. Dia keluar lagi, berulang kali. Hingga kadang aku berpikir, sudah benarkah niatku bertobat? Kenapa setiap mengingat Abang hatiku masih sakit?

Hingga akhirnya timbul tanya dalam benakku, samakah apa yang dia rasakan sekarang? Masihkah dia merindukanku? Sakitkah dia dengan perpisahan ini?

***

Sebulan ini, ku jalani semuanya dengan terpaksa. Ku tenggelamkan sedihku dalam cangkir dan botol kopi. Hitam maupun instan. Panas ataupun dingin.

"Jangan memintaku untuk berhenti minum kopi. Karena itu sama saja memaksaku untuk kehilanganmu sekali lagi. Aku begitu menyukai kopi, seperti akupun begitu menyayangimu," elakku ketika Abang memintaku untuk menghentikan hobiku yang semakin sering ku lakukan ketika berpisah dengannya.

"Kenapa?"

"Karena kopi dan kamu, sama-sama sudah menjadi candu bagiku."

Ya, Abang tak pernah suka aku minum kopi. Padahal, itu salah satu minuman favoritku. Tapi selalu ku tahan untuk tidak mengkonsumsinya, sewaktu aku masih bersamanya. Ku hargai keberatannya.

Allahu Rabbi...
Ku biarkan pola makanku yang semakin kacau. Berharap ketika fisikku melemah, akan meringankan sakit hatiku yang teramat dalam.
Dalam sebulan ini, pola makanku benar-benar berantakan.

Tapi rupanya Engkau begitu menyayangiku. Apa yang aku harapkan, tak pernah Engkau kabulkan. Dengan riwayat maag yang dulu lumayan sering kambuh, migrain yang tak pernah bosan untuk sekedar mampir, juga dada yang tiba-tiba sesak.

Dan itu semua tak pernah terjadi ketika aku berada dalam fase galau akut.

Ya Allah ya Rabb..
Entah apa yang akan terjadi padaku nanti, semua ku serahkan pada-Mu. Tolong ringankanlah niatku untuk melupakannya, walau aku tahu hal ini sangat sulit. Bantu aku untuk menjauhinya.
Jadikan kami pribadi yang tegar setelah perpisahan ini. Jadikan kami pribadi yang jauh lebih baik, dan kembali ke koridor kami masing-masing.

Aamiin ya Rabbal'alamiin..

Dear, ALLAHWhere stories live. Discover now