BAGIAN 5

1.2K 42 0
                                    

"Orang tua yang tidak tahu diuntung! Ternyata kecurigaanku selama ini benar-benar terbukti ... !" sentak Singo Lodoya sambil tersenyum sinis.
Tampak Ki Lintuk diam saja. Namun matanya tetap tajam menatap lurus ke bola mata Singo Lodoya. Sedangkan Nyi Lintuk sudah mengkeret dan berlindung di balik lemari.
"Gusti Adipati Wira Permadi sudah begitu bermurah hati padamu. Huh! Anak dan bapak sama saja, pengkhianat! '' dengus Singo Lodoya. Ki Lintuk masih tetap diam.
"Tidak kusangka, ternyata hatimu begitu kotor ... !" dengus Singo Lodoya.
"Tapi tidak lebih kotor dari hatimu, Singo Lodoya!" balas Ki Lintuk tak kalah tajam.
"Kurang ajar…!” geram Singo Lodoya.
Dan dengan cepat sekali tangan Singo Lodoya melayang hendak menyampok kepala Ki Lintuk. Namun hanya dengan menunduk sedikit saja,  Ki Lintuk berhasil menghindari sampokan tangan Singo Lodoya.
Bahkan tanpa diduga sama sekali sikutnya bergerak dan menghantam iga orang kepercayaan adipati itu.
"Hugh” Singo Lodoya mengaduh pendek.
Masih dengan tubuhnya yang membungkuk. Ki Lintuk segera melayangkan  sebuah pukulan yang keras ke bagian rahang Singo Lodoya. Dan tidak ampun lagi, tubuh Singo Lodoya langsung terpental ke belakang dan menabrak meja kursi hingga patah berantakan. Sementara orang-orang yang tadi ada di kedai itu, langsung berlarian ke luar untuk menyelamatkan diri.
"Grrr ... ! Bedebah!" geram Singo Lodoya seraya bangkit dengan cepat.
Sret!
Singo Lodoya langsung mencabut senjatanya yang berupa golok hitam dan bergerigi pada salah satu sisinya. Sedangkan Ki Lintuk segera bergerak mundur dua tindak begitu melihat lawannya mengeluarkan senjatanya. Kemudian dengan senjata golok hitam bergerigi itu, Singo Lodoya menyerang bagaikan malaikat maut yang siap untuk mencabut nyawanya. Dia terus menggereng bagaikan singa lapar yang melihat daging segar.
Sementara itu Nyi Lintuk mencoba lari dari ruangan itu lewat pintu belakang kedai. Tapi baru saja dia melewati pintu, tiba-tiba Singo Lodoya mengebutkan tangan  kirinya ke arah Nyi Lintuk,
"Akh!" Nyi Lintuk langsung terpekik tertahan.
Sebuah pisau kecil yang dilemparkan Singo Lodoya tepat menancap di dada perempuon tua itu. Seketika itu juga Nyi Lmtuk ambruk ke tanah!
"Keparat! Kejam ... ! " geram Ki Lintuk melihat istrinya ambruk seketika.
"Ha ha ha ..!” Singo Lodoya tertawa terbahak-bahak. "Itulah upahnya bagi seorang pengkhianat!"
"Phuih! Kubunuh kau, keparat... ! "
Ki Lintuk tidak lagi menghiraukan siapa orang yang sedang dihadapinya. Dia tahu kalau Singo Lodoya memiliki tingkat kepandaian yang berada  jauh di atasnya. Tapi menyaksikan istrinya tewas, Ki Lintuk tidak bisa menahan amarahnya lagi. Saat itu juga dia langsung melentingkan tubuhnya ke atas sambil berteriak nyaring dan menerjang Singo Lodoya.
Dan pertarungan sengit di dalam kedai itu tidak bisa terhindarkan lagi. Tampak serangan-serangan Ki Lintuk benar-benar cepat dan berbahaya.   Sementara meja, kursi dan barang-barang lainnya sudah porak-poranda terkena terjangan dan babatan golok dari kedua orang itu.
"Huh! Temyata tua bangka ini punya simpanan juga!" dengus Singo Lodoya dalam hati.
Tampak Ki Lintuk bertarung dengan dipenuhi oleh hawa marah. Dia tidak lagi mengindahkan pertahanan dirinya. Dia terus menyerang dengan membabi buta sambil mengeluarkan jurus-jurus andalannya.  Kesemrawutan serangan-serangan Ki Lintuk itu dimanfaatkan oleh Singo Lodoya  dengan tepat. Pada satu saat, ketika Ki Lintuk sedang menyarangkan pukulannya ke arah kepala Singo Lodoya, orang kepercayaan adipati itu  langsung merundukkan kepalanya, dan dengan kecepatan kilat dia segera mernutar tubuhnya sambil melayangkan kaki kanannya ke arah perut  Ki Lintuk.
"Hugh!"  Ki Lintuk mengeluh tertahan begitu merasakan nyeri pada perutnya.
Dan pada saat tubuh Ki Lintuk itu membungkuk menahan sepakan kaki lawannya, tiba tiba Singo Lodoya sudah menghantamkan pukulan mautnya ke kepala laki-laki tua itu. Untunglah, dengan cepat Ki Lintuk berhasil mengelakkannya. Tapi tanpa diduga sama sekali, pukulan Singo Lodoya telah berubah arah. Dan ....
Buk!
"Akh!"
Ki Lintuk langsung terjerembab ke belakang. Tampak dadanya memar dan berwarna biru kemerahan kena hantaman telak Singo Lodoya. Sedangkan dan sudut bibirnya mengucur darah kental berwarna kehitaman. Kini Singo Lodoya tidak memberi kesempatan lagi. Dia segera melompat cepat seraya mengayunkan golok hitam bergeriginya ke arah dada Ki Lintuk.
Sungguh di luar dugaan, pada saat yang kritis itu, tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat cepat dan memapak serangan Singo Lodoya.
Tring! "Heh!"
Tentu saja Singo Lodoya terkejut bukan main. Buru-buru dia melompat mundur dua tombak. Kini tangan kanannya dirasanya seperti terserang jutaan semut. Pedih dan panas. Tarnpak kedua matanya membeliak lebar, begitu melihat Ki Lintuk sudah berada di pundak seorang pemuda tampan.
"Kurang  ajar ... !” geram Singo Lodoya.
**
"Memalukan, menganiaya orang tua yang sudah tidak berdaya!" dengus Rangga sambil menurunkan tubuh Ki Lintuk dari pondongannya.
"Anak muda, aku peringatkan kau! Jangan campuri urusanku!" bentak Singo Lodoya.
"Aku tidak akan mencampuri urusanmu kalau kau tidak menganiaya orang tua!" sahut Rangga dingin.
"Alasan! Kau memang mau cari mampus di sini!" geram Singo Lodoya.
"Ki, sebaiknya segera selamatkan istrimu. Dia belum tewas, mungkin masih bisa diselamatkan," kata Rangga tidak mempedulikan umpatan Singo Lodoya.
''Hiya ... ,  hiya!"
Singo Lodoya langsung mengebutkan tangan kirinya ketika Ki Lintuk bergerak menghampiri istrinya yang menggeletak di tanah. Tentu saja Rangga terkesiap melihat dua berkas cahaya  keperakan meluncur deras ke arah Ki Lintuk.
"Hup!',
Bagaikan seekor burung rajawali, tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu segera melenting bagai kilat ke arah dua sinar keperakan itu. Dua kali Rangga memutar di udara untuk menangkap senjata itu. Dan begitu kakinya mendarat kembali di tanah, tampak di tangannya sudah tergenggam  dua bilah pisau perak yang dilepaskan oleh Singo Lodoya.
"Licik...! " dengus Rangga menggeram.
"Hati-hati, Rangga," Ki Lintuk memperingatkan.
"Cepatlah kau bawa istrimu ke luar. Retna Nawangsih sudah menunggu," perintah Rangga.
Kini Ki Lintuk tidak membuang-buang waktu lagi, dia segera membopong tubuh istrinya, dan melangkah cepat ke luar dari kedai. Tapi rupanya  Singo Lodoya tidak mau membiarkan begitu saja, maka ketika kaki Ki Lintuk hampir mencapai pintu ke luar, seketika itu juga dia melentingkan  tubuhnya dengan ujung golok yang mengarah punggung Ki Lintuk.
''Awas,  Ki. .. !" seru Rangga tersentak.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu rnelompat. Dan tangannya sempat menyambar beberapa keping kayu yang berserakan di kedai itu.    Maka dengan mengerahkan tenaga dalam yang sempurna, Rangga langsung melemparkan potongan-potongan kayu itu ke arah Singo Lodoya.
"Uts!"
Singo Lodoya terpaksa mengurungkan niatnya hendak membokong Ki Lintuk. Dia jadi sibuk menghindari kayu-kayu yang dilemparkan oleh Rangga dengan cepat dan beruntun. Sementara itu Ki Lintuk tampak sudah berhasil ke luar dari kedai. Di luar sana tampak Retna Nawangsih  sudah menunggunya di atas kereta kuda.
"Kurang ajar! Kau benar-benar cari  mampus, bocah edan!" geram Singo Lodoya sengit.
"Aku muak melihat kecuranganmu, Singo Lodoya!" balas Rangga tidak kalah dinginnya.
"Phuih! Kau harus mampus, bocah!"
Singo Lodoya tidak lagi mempedulikan Ki Lintuk dan istrinya. Kini dia langsung menyerang Rangga dengan jurus-jurus mautnya! Sementara Pandekar Rajawali Sakti itu segera melentingkan tubuhnya keatas menjebol atap. Dan Singo Lodoya pun segera mengikutinya dengan cepat. Sesaat kemudian tampak pertarungan langsung terjadi di atas atap.
Saat itu Ki Lintuk sudah berada di atas kereta kuda. Sebuah kereta yang selalu siap di depan kedai. Ki Lintuk biasa menggunakan kereta kuda itu untuk segala keperluannya. Tampak Retna Nawangsih juga sudah siap dengan tali kekang di tangan. Sejenak dia mengamati Rangga yang sedang bertarung di atas atap melawan Singo Lodoya.
"Kakang...," terdengar suara lemah Nyi Lintuk yang lirih.
"Oh, Nyi...." Ki Lintuk yang tengah memperhatikan pertarungan di atas atap itu langsung menoleh ke arah istrinya.
"Aku... , aku sudah tahu kalau anak kita sudah dihukum pancung, Kakang. ..  ," lemah suara Nyi Lintuk.
Tampak Retna Nawangsih juga mengalihkan perhatiannya pada perempuan tua itu.
"Aku..., Aku merasa tidak kuat lagi, Kakang.... Oh! Dengarkan pesanku, jangan turuti hawa nafsumu. Bagaimanapun juga Gusti Wira Permadi adalah junjungan kita. Kakang..., aku....  Akh ... ! "
"Nyi... !   Nyi... ! "
Ki Lintuk menggoyang-goyangkan tubuh istrinya. Tapi Nyi Lintuk sudah terkulai lemas tak bernyawa lagi. Darah yang ke luar dari lukanya terlalu banyak. Dan pisau yang menembus dadanya langsung menusuk  ke jantung. Kini Ki Lintuk hanya bisa memeluk tubuh istrinya dengan air  mata berderai membasahi pipinya yang sudah keriput. Sementara Retna Nawangsih tampak hanya menggigit bibirnya untuk menahan air matanya. Gadis itu jadi teringat ketika kedua orang tuanya tewas dibunuh oleh orang-orangnya Wira Permadi.
Sementara itu pertarungan antara Rangga dan Singo Lodoya masih berlangsung dengan sengit. Kini pertarungan itu tidak lagi berlangsung di atas atap, tapi sudah di depan kedai Ki Lintuk. Entah sudah berapa jurus yang mereka kerahkan. Tapi belum ada juga yang kelihatan terdesak.
"Retna! Cepat bawa Ki Lintuk dan istrinya pergi, nanti aku menyusul!” seru Rangga.
"Baik, Kakang ... ! " sahut Retna Nawangsih tersentak.
"Hus, hus! Hiya ... !"
Begitu tali kekang kuda itu dihentak dengan kuat, kuda coklat itu segera berlari kencang membawa kereta. Rangga sempat melirik kepergian kereta kuda itu.
"Setan belang! Monyet buntung! Kau benar-benar mempermainkanku, bocah edan!" dengus Singo Lodoya geram.
Rangga memang melayani Singo Lodoya dengan setengah hati. Dia sengaja mengulur-ulur  waktu untuk memberi kesernpatan pada Retna Nawangsih untuk pergi jauh membawa Ki Lintuk dan istrinya. Dan saat kereta kuda tersebut sudah tidak kelihatan lagi, Rangga langsung melompat meninggalkan Singo Lodoya.
"Hey! Mau lari ke mana kau, bocah!?" seru Singo Lodoya geram.
"Maaf, belum saatnya kita bertarung!" sahut Rangga.
Singo Lodoya pun segera melompat mengejar, tapi pada saat itu juga bayangan Pendekar Rajawali Sakti itu sudah lenyap dari pandangan. Dan  Singo Lodoya hanya bisa mengumpat dan memaki-maki habis-habisan.
***
Rangga mencoba untuk tidak larut dalam suasana duka di Puncak Gunung Batur Kuring.  Maka setelah upacara penguburan Nyi Lintuk, dia segera meninggalkan puncak gunung itu. Tujuannya sudah jelas, dia ingin mengambil kembali kuda hitam Dewa Bayu yang sempat dicuri oleh Singo Lodoya untuk dipersembahkan pada Adipati Karang Setra.
Untuk kedua kalinya Retna Nawangsih mencegat Pendekar Rajawali Sakti di batas Kaki Gunung Batur Kuring. Dan untuk kedua kalinya pula Rangga tidak mampu untuk menolak keinginan Retna Nawangsih. Bahkan kali ini bukan hanya Retna Nawangsih yang ikut, tapi juga Jaladara,   seorang putra tunggal dari Bayan Sudira.
Rangga sebenarnya enggan diikuti, tapi dia tidak ingin mengecewakan kedua anak muda itu yang bersikeras ingin mengembalikan Karang Setra  pada masa jayanya dulu. Dan Pendekar  Rajawali Sakti itu juga tidak menyangsikan kalau Retna Nawangsih dan Jaladara telah memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup tinggi.
"Sebenarnya aku tidak ingin kalian ikut serta menempuh bahaya,"  kata Rangga sambil terus melangkah menuju Kadipaten Karang Setra.
"Kau tidak akan tahu seluk-beluk istana kadipaten, Pendekar  Rajawali Sakti. Maka dari itu Ayah menugaskan aku untuk mendampingimu," kata Jaladara
"Tapi kalian harus hati-hati. Terutama pada Singo Lodoya, dia sangat tangguh!'' pesan Rangga memperingatkan.
“Tapi masih ada yang lebih tangguh lagi daripada Singo Lodoya,” celetuk Retna Nawangsih.
"Oya ? ... siapa dia?" Rangga tertegun.
"Pendeta Gurusinga, Si Cebol Tangan Baja," sahut Retna Nawangsih menjelaskan.
"Dan yang paling penting adalah Pendeta Pohaji. Dia seorang pendekar yang sulit dicari tandingannya. Bahkan Bibi Dewi Purmita saja belum tentu bisa menandinginya," selak Jaladara.
Rangga tampak semakin dalam mengerutkan keningnya. Dia tidak menduga sama sekali kalau Wira Permadi ternyata dikelilingi oleh tokoh-tokoh sakti.
Pendeta Pohaji adalah orang yang paling disegani sejak masa Kadipaten  Karang Setra diperintah oleh Adipati Arya Permadi dua puluh tahun  yang lalu. Dan Rangga sudah mendengar tentang kehebatan pendeta itu dari Dewi Purmita. Meskipun Rangga agak lupa dengan  wajah pendeta   itu, tapi sedikit banyak dia masih bisa ingat. Pendeta Pohaji adalah salah seorang kepercayaan ayahnya. Rangga tidak menyangka kalau pendeta   itu memihak Wira Permadi. Demikian pula dengan Dewi Purmita, Bayan Sudira, Rakatala dan bekas abdi setia almarhum Adipati Arya Permadi lainnya. Mereka semua tidak mengerti kenapa Pendeta Pohaji sampai berpihak pada Wira Permadi.
"Kahan yakin kalau Pendeta Pohaji berpihak pada Wira Permadi?" tanya Rangga.
''Entahlah," desah Retna Nawangsih.
"Tapi kenyataannya memang begitu," sambung Jaladara.
"Hm ... , selama aku berada di Kadipaten Karang Setra ini, hanya nama Singo Lodoya saja yang kudengar. Belum pernah sekali pun aku mendengar nama Pendeta Pohaji, kecuali oleh Dewi Purmita," kata Rangga setengah bergumam.
"Terus terang, aku sendiri juga heran. Kenapa setiap kali ada perayaan tahunan, Pendeta Pohaji tidak pernah muncul?" kata Jaladara lagi.
"Kau kenal dengan Pendeta Pohaji?" tanya Rangga.
"Waktu aku berusia sepuluh tahun, sebelum terjadi musibah yang menimpa Gusti Adipati Arya Permadi, aku sering dilatih dasar-dasar ilmu olah kanuragan olehnya. Aku kenal betul siapa Pendeta Pohaji, dia adalah seorang yang arif dan bijaksana. Memang rasanya tidak mungkin kalau dia sampai berpihak pada orang-orang durhaka seperti Gusti Wira Permadi!" sahut Jaladara sedikit emosi.
"Hm ... ," Rangga menggumam tidak jelas.
"Kalau aku sih belum pernah melihat orangnya, tapi sering mendengar cerita tentang pendeta itu," Retna Nawangsih mengakui.
Rangga masih tetap diam membisu. Pikirannya terus berputar keras, mencerna setiap keterangan yang diperolehnya tentang keadaan Kadipaten  Karang Setra setelah kematian ayahnya. Dan dari semua yang didapat, memang tidak semua abdi setia mendiang Adipati Arya Permadi mengundurkan diri. Dan tidak sedikit pula yang kemudian melarikan diri ke luar dari kadipaten. Bahkan banyak juga yang tewas di ujung pedang algojo, karena menentang orang-orang yang pernah ada hubungan persaudaraan dengan mendiang adipati. Terutama para selir yang memiliki anak. Mereka berlomba-lomba adu kekuatan untuk mencalonkan anaknya menggantikan kedudukan sebagai adipati. Dan yang beruntung adalah Wira Permadi, karena dia memiliki paman dan bibi dari ibunya yang memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi.
Baru tiga tahun Wira Permadi menduduki jabatan sebagai adipati, tapi sepak terjangnya benar-benar sudah terasa. Di sekeliling Wira Permadi  berdiri tokoh-tokoh sakti yang berwatak kejam, licik dan serakah! Tidak heran kalau kemudian rakyatlah yang menjadi korban keserakahan mereka.
Rangga masih saja berdiam diri dengan otak yang berputar keras. Di sepanjang perjalanan hanya Retna Nawangsih dan Jaladara yang bicara.  Sedikit pun Pendekar Rajawali Sakti tidak mendengarkan percakapan mereka. Dan setiap kali ditanya, jawabannya hanya gumaman dan dengusan pelan.
Dan pada saat mereka akan melewati pintu gerbang yang tidak dijaga. Rangga segera rnemerintahkan pada Retna Nawangsih dan Jaladara untuk  berhenti. Tiba-tiba telinga Pendekar Rajawali Sakti yang tajam dapat mendengar suara halus yang mencurigakan. Dan belum sempat Rangga bisa berbuat sesuatu, tiba-tiba ....
Zing,  zing ...   !
"Awas...!" seru Rangga.
***
Puluhan anak panah tampak bertebaran bagai hujan meluruk ke arah Rangga, Retna Nawangsih dan Jaladara. Ketiga orang muda itu segera bergerak dengan cara sendiri-sendiri.
Rangga yang menyadari keadaan tidak menguntungkan ini, segera mengerahkan  jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
"Hiaaat... !" teriak Rangga melengking.
Dan ia segera melentingkan tubuhnya berputar-putar di angkasa sambil menyampok anak-anak panah yang mengarah pada dirinya. Dan di sekitar tempat itu terciptalah angin keras menderu-deru yang membuat anak-anak panah yang datang bagai hujan itu, bertaburan tak tentu arah sebelum mengenai tubuh Rangga. Retna Nawangsih dan Jaladara yang melihat itu langsung melompat ke belakang Rangga. Sedangkan beberapa tubuh tampak bergeletakan di tanah disertai dengan jeritan yang menyayat karena anak-anak panah yang meluncur ke segala arah itu berbalik kembali ke penyerangnya!
"Hebat. ..!" desah Jaladara kagum.
"Ha ha ha... !"
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang menggelegar dan memekakkan telinga. Jelas sekali kalau suara tawa itu disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Sejenak Rangga menghentikan gerakannya. Dan bersamaan dengan itu, muncullah seorang laki-laki yang berkepala gundul dan mengenakan jubah bagai pendeta. Dia berdiri di atas sebongkah batu besar. Sesaat kemudian muncul juga puluhan orang yang mengenakan seragam prajurit kadipaten. Mereka langsung mengepung dari segala arah.
"Pendeta Gurusinga ... ," gurnam Jaladara yang mengenali laki-laki gundul dan berjubah seperti pendeta itu.
"Hati-hati, tampaknya mereka tidak bermaksud baik," kata Rangga berbisik.
Tampak Rangga memandang tajam pada Singo Lodoya yang berdiri di samping Pendeta Gurusinga. Rupanya Singo Lodoya tidak puas, dan mengadukan pertarungannya dengan Pendekar Rajawali Sakti pada Pendeta Gurusinga.
"Yang mana orangnya, Singo Lodoya?" Tanya Pendeta Gurusinga.
"Itu, Paman Pendeta. Yang pakai baju rompi putih," tunjuk Singo Lodoya.
"Kau tidak salah?"
"Tidak! Kenapa memangnya?"
"Jelas kalau kau tidak bisa menandinginya. Dia adalah Pendekar Rajawali Sakti. Apa kau tidak melihat pedang yang ada di punggungnya? Tidak ada seorang pendekar pun yang memiliki pedang seperti itu selain Pendekar Rajawali Sakti."
"Dari mana kau tahu, Paman Pendeta?" Tanya Singo Lodoya.
"Semua tokoh rimba persilatan pasti tahu."
Singo Lodoya terdiam. Dia memang pernah mendengar tentang sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi dia belum pernah bertemu langsung dengan orangnya. Tidak disangka kalau dia sempat bertarung dengan pendekar ternama saat ini, Pantas saja kalau pendekar itu melayaninya tidak sungguh-sungguh.
"Kau masih penasaran, Singo Lodoya?" tanya Pendeta Gurusinga.
"Siapapun dia, aku tidak akan puas kalau belum mengoyak dadanya!" jawab Singo Lodoya mantap.
"Bagus! Kau hadapi dia, biar yang dua lagi bagian para prajurit. "
"Lihat saja nanti, aku akan persembahkan kepalanya untukmu, Paman Pendeta!"
Seketika itu juga Singo Lodoya langsung melompat ke arah Rangga. Indah sekali gerakannya, ringan, dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun.  Dan begitu kakinya menjejak tanah, dia Iangsung mencabut senjata andalannya yang berupa golok hitam dengan satu sisi bergerigi.
"Sekarang kau tidak bisa kabur lagi, Bocah!" kata Singo Lodoya garang.
"Hm ...,"  Rangga hanya tersenyum saja.
Pendekar Rajawali Sakti itu sudah mengukur sampai di mana tingkat kepandaian Singo Lodoya. Namun demikian, dia tidak mau menganggapnya enteng. Dia tahu bahwa orang-orang rimba persilatan dari golongan hitam tidak pernah berlaku jujur dalam pertarungan. Sejenak Rangga menggeser kakinya ke kanan. Sementara matanya yang tajam terus mengawasi gerak-gerik Singo Lodoya yang sudah mulai membuka jurus-jurus  andalannya.
"Tehan seranganku! Hiyaaa ... ! " seru Singo Lodoya.
Secepat kilat, Singo Lodoya langsung menyerang dengan jurus-jurus andalannya yang dahsyat, terutama dengan golok hitamnya. Sedangkan  Rangga segera melayaninya dengan berkelit ke kiri dan ke kanan tanpa menggeser kakinya setapak pun.
Pada saat itu, Pendeta Gurusinga juga segera memerintahkan kepada para prajuritnya untuk menyerang Retna Nawangsih dan Jaladara. Tak pelak lagi, pertarungan terbuka langsung terjadi dengan sengitnya. Tampak Retna Nawangsih dan Jaladara segera mencabut pedangnya untuk menghadapi mereka. Sementara Rangga masih terus melayani Singo Lodoya tanpa menggeser posisi kakinya. Hal itu tentu saja membuat Singo  Lodoya jadi semakin berang. Dia merasa diremehkan.
"Sombong! Cabut senjatamu, keparat!" bentak Singo Lodoya menggeram sengit.
"Tanpa senjata pun aku mampu menghadapimu, Singo Edan!" ejek Rangga sengit.
"Monyet buduk...! Terimalah jurus 'Golok Maut' andalanku!"
Dan kali ini serangan Singo Lodoya benar-benar luar biasa. Sampai-sampai Rangga berlompatan kesana kemari menghindarinya. Tebasan golok  hitam Singo Lodoya terus mengepung ruang gerak Pendekar Rajawali Sakti. Sedikikit pun dia tidak memberi kesempatan pada lawannya untuk  mengambil napas.
"Huh! Kalau begini terus, bisa mati konyol!" dengus Rangga.
"Orang  ini tidak bisa diremehkan!"
Rangga yang semula tidak bermaksud melukai atau membunuh Singo Lodoya, jadi hilang kesabarannya melihat Singo Lodoya begitu bernafsu ingin membunuhnya. Dan saat itu juga Rangga segera mengubah jurusnya dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Heh!"
Betapa terkejutnya Singo Lodoya begitu melihat kedua tangan Rangga tiba-tiba berubah menjadi merah membara bagai terbakar. Dan belum lagi hilang rasa kagetnya itu, mendadak Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan tangannya ke arah golok hitam yang bergerigi itu.
"Uts!"
Buru-buru Singo Lodoya menarik kembali senjatanya. Tapi gerakannya kalah cepat. Ujung goloknya berhasil disentil oleh ujung jari Pendekar Rajawali Sakti.
Trak!
Seketika itu juga Singo Lodoya terperanjat setengah mati. Tampak ujung goloknya sudah terpotong kena sentilan jari tangan Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan pada saat Singo Lodoya kehilangan kontrol diri, secepat kilat Rangga menerjang sambil melancarkan pukulannya dengan bertubi-tubi. Sedangkan Singo Lodoya tidak sempat lagi untuk mengelak. Kini dadanya menjadi sasaran empuk pukulan yang beruntun itu.
Tak sedikit pun terdengar suara dari mulut Singo Lodoya. Tubuhnya langsung terpental deras dan membentur batu. Sementara dadanya remuk dan terbakar. Seketika itu juga Singo Lodoya tewas!
"Kakang ... ! " tiba-tiba Retna Nawangsih memekik tertahan.
"Retna ... !" Rangga tersentak kaget.

***

14. Pendekar Rajawali Sakti : Api di Karang SetraWhere stories live. Discover now