BAGIAN 2

1.2K 49 0
                                    

Rangga mengurungkan niatnya untuk membaringkan tubuhnya ke pembaringan. Dia mendengar pintu kamar penginapannya ada yang mengetuk dari luar. Kemudian dengan rasa malas dia melangkah ke pintu. Tampak Ki Lintuk sudah berdiri di sana. Dengan ramah Rangga mempersilakannya untuk masuk. Laki-laki tua itu tampak membawa sebuah guci arak dan dua gelas yang terbuat dari perunggu di atas baki.
Rangga membiarkan saja ketika laki-laki tua itu meletakkan baki di atas meja. Ki Lintuk sempat melirik pada sebilah pedang yang gagangnya berbentuk kepala burung di pembaringan. Kemudian dia berbalik dan tetap berdiri menghadap Rangga yang sudah duduk di kursi dekat pintu.
"Boleh aku bertanya sesuatu, Tuan?" pinta Ki Lintuk sopan.
"Silakan, Ki" sahut Rangga seraya meminta Ki Lintuk duduk.
Ki Lintuk pun segera duduk di dekat meja yang membelakangi jendela kamar.
"Apa yang ingin kau tanyakan, Ki?" tanya Rangga.
"Setiap tamu yang akan menginap di sini, biasanya memberitahu nama. Tadi aku lupa untuk menanyakannya," sahut Ki Lintuk.
"Namaku Rangga, Ki. Aku hanya seorang kelana yang tidak tentu arah dan tujuannya. Dan aku datang ke sini hanya untuk singgah sebentar," sahut Rangga memperkenalkan diri.
"Tidak ada yang dicari?" tanya Ki Lintuk setengah menyelidik.
"Rasanya tidak," sahut Rangga menggeleng lemah.
Sejenak Ki Lintuk terdiam. Kepalanya tampak terangguk-angguk dengan kening yang berkerenyut.
"Ada apa, Ki? Apakah ada sesuatu yang mencurigakan pada diriku?" tanya Rangga merasa tidak enak.
"Oh, tidak. Tidak, Tuan. Hanya .... "
"Hanya apa, Ki?"
"Nama Tuan jadi mengingatkan saya pada seseorang."
Seketika jantung Rangga berdetak kencang. Dia sendiri tidak tahu, perasaan apa yang ada di dalam dirinya. Pandangannya agak tajam menembus bola mata laki-laki tua yang duduk tepat di depannya.
"Namamu mirip dengan putra Gusti Adipati Karang Setra yang hilang dua puluh tahun lalu," kata Ki Lintuk pelan seperti bergumam pada dirinya sendiri.
Kini dada Rangga semakin keras saja berdebar. Sedangkan Ki Lintuk tampak mengamatinya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Sepertinya dia ingin meyakinkan dirinya, bahwa Rangga bukanlah seperti orang kebanyakan. Kulitnya putih bersih, sedangkan tubuhnya tinggi dan kekar, wajahnya juga tampan. Pendek kata Rangga lebih pantas kalau menjadi seorang putra raja atau bangsawan, bukan seorang pengembara yang berkelana dari satu tempat ke tempat yang lain.
"Kalau saja putra Gusti Adipati masih hidup, pasti sudah sebesar dan setampan Tuan. Namanya juga Rangga, lengkapnya Rangga Pati Permadi. Dua puluh tahun yang lalu beliau mendapat musibah di kaki Bukit Cubung dekat Lembah Bangkai. Seluruh keluarga, punggawa dan pengawal tewas. Hanya Gusti Rangga yang selamat, tapi dia hilang dan sampai sekarang tidak tentu rimbanya," kata Ki Lintuk menceritakan tanpa diminta.
Sementara Rangga makin menjadi-jadi getaran jantungnya. Pikirannya jadi tidak menentu. Ingin rasanya dia mengatakan, bahwa dirinyalah putra adipati itu! Tapi mulutnya seperti terkunci. Kini semua peristiwa itu kembali terlintas dalam benaknya. Sebuah kejadian yang mengerikan dan tak mungkin terlupakan sepanjang hidupnya.
Kedatangannya ke Kadipaten Karang Setra ini sebenarnya tidak disengaja. Langkah pengembaraannya saja yang telah membawanya sampai ke sini. Namun sejak siang tadi dia sudah merasakan berbagai macam kejanggalan. Dan semuanya itu telah menjadikan beban pikirannya sampai kini. Sejenak Rangga tertegun ketika matanya memandang keluar lewat jendela. Tampak di depan sana berdiri seseorang yang menghadap kamarnya.
"Siapa orang itu, Ki?" tanya Rangga.
"Orang ...? Siapa ... ?" Ki Lintuk segera memalingkan mukanya ke arah Rangga memandang.
Tepat pada saat itu, orang yang tadi berdiri di bawah pohon langsung lenyap. Rangga segera bangkit dan melangkah ke jendela. Kemudian dia melayangkan pandangannya keluar. Namun hanya kegelapan yang tampak. Pendekar Rajawali Sakti itu pun segera membalikkan tubuhnya menghadap Ki Lintuk yang sudah berdiri di sampingnya.
"Tampaknya tidak ada siapa-siapa... " kata Ki Lintuk pelan.
"Mungkin hanya bayanganku saja, Ki," sahut Rangga berusaha menenangkan diri.
"Sudah larut malam, aku permisi dulu." pamit Ki Lintuk.
Rangga tidak mencegah lagi. Dia membiarkan saja laki-laki pemilik penginapan ini keluar dari kamarnya. Sejenak Rangga menutup pintu kamarnya sambil menarik napas panjang. Dia yakin kalau di bawah pohon itu tadi ada seseorang yang berdiri sambil memandang ke kamarnya.
Kini pikiran Rangga beralih pada Ki Lintuk. Kedatangannya ke kamar ini tentu bukan hanya untuk membawakan arak. Pasti ada sesuatu yang hendak diketahui, atau.... Ah! Rangga segera menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak ingin cepat-cepat membuat dugaan. Meskipun sepanjang siang tadi dia mendapatkan beberapa keanehan dan kejanggalan tapi semuanya berusaha disimpannya dalam hati.
"Aku yakin, pasti ada sesuatu yang telah terjadi di tanah kelahiranku ini," gumam Rangga dalam hati. Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu melayangkan pandangannya ke luar melalui jendela. Kemudian ia mengerahkan ilmu pembeda gerak dan suara untuk mencoba mengetahui keadaan sekelilingnya. Kepalanya dimiringkan ke kiri dan ke kanan. Tapi sampai lama dia berbuat begitu, tidak mendengar satu suara pun yang mencurigakan.
"Siapa sebenarnya orang itu? Apa maksudnya mengintaiku?'' tanya Rangga dalam hati.

14. Pendekar Rajawali Sakti : Api di Karang SetraWhere stories live. Discover now