He with Art, My Earth

29 6 0
                                    

Hawa dingin menjalar kala aku keluar dari kelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hawa dingin menjalar kala aku keluar dari kelas. Hari ini hujan. Aku mengeratkan sweater yang kukenakan, melirik jam di pergelangan tangan, 16.23. Pikir saja, manusia budiman mana yang masih betah disekolah jam segini. Biar kuberitahu, hari ini hari Sabtu. Hari dimana seharusnya aku libur. Apa boleh buat, kelasku mendapat jadwal sebagai petugas upacara Senin besok sehingga kami harus berlatih agar tidak mengecewakan sang wali kelas.

Sebenarnya, latihan kami telah usai sejak dua jam yang lalu. Kemudian hujan turun. Banyak diantara temanku yang dijemput oleh orang tua-nya dengan mobil dan sebagian lainnya memilih untuk menerobos hujan lebat itu. Seru, begitu kata mereka. Hanya kutunjukan senyum miring, jika aku sampai dirumah dengan keadaan basah kuyup lalu sakit, apakah akan ada yang peduli? Atau haruskah aku menunggu seorang ayah yang menjemput anak gadisnya diwaktu hujan? Ayah, ya. Memangnya aku punya?

Suara derasnya hujan dan petrikor melingkupi langkahku menyusuri koridor ini. Netraku melihat anak-anak pramuka yang sedang berkutat dengan pioneringnya di bawah guyuran hujan deras. Akan kutakan mereka bodoh. Namun, setidaknya mereka menikmati kebodohan itu. Sedangkan aku? Baiklah, aku akan mencerca keadaanku terlebih dahulu. Sungguh ironi yang mengagumkan.

Jelas aku tidak memiliki benda yang penting tidak penting seperti payung. Aku memilih duduk di bangku panjang depan koperasi. Jika aku meneruskan langkah, maka akan terlihat parkiran dan gerbang sekolah di depan sana. Aku memejamkan mataku, ingin menikmati dulu dinginnya hujan saat ini. Semesta, aku ingin menyerah.

"Senja? Ngapain disini?"

Aku menengok. Melihat siapa yang memanggil namaku. Pemuda berhoodie biru itu berjalan mendekat. Ada ransel hitam di punggungnya. Ah, dia senior-ku di klub seni lukis. Maksudku, dia adalah ketua klub seni lukis tahun lalu yang mana saat ini sedang tidak aktif karena sudah kelas 12. Tak kusangka dia masih mengingatku.

"Tadi abis latihan upacara." Aku menjawab jujur.

Dia melihatku heran. "Sendirian?"

Aku tersenyum tipis. "Nggaklah. Yang lain udah pada pulang."

Dia mengangguk mengerti. "Kamu sendiri nggak pulang?"

"Hujan." Kataku sambil menunjuk derasnya air hujan.

Dia tertawa, entah karena apa. "Sama, ya? Saya juga nunggu reda, tapi nggak reda-reda. Udah mau sore gini." Sahutnya.

Aku hanya mengiyakan saja. Otakku masih berusaha mengingat siapa namanya. Dulu, dia adalah ketua yang baik di mata orang-orang. Selalu mendengarkan anggotanya yang sedang butuh inspirasi atau sekedar memberikan kata-kata penyemangat.

Aku sendiri jarang berinteraksi dengannya. Yang kuingat, dulu klub seni lukis pernah disuruh oleh kepala sekolah untuk memperindah dinding-dinding kumuh gedung serbaguna dan aku mendapat bagian dinding yang sama dengannya. Siapa ya, namanya? Anan, Awan, Athan, Arnan, Afnan, Alan?

He With Art, My EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang