15

699 113 3
                                    

Makhluk itu merasuki keheningan dalam diri Alivia; meraba kepedihan, menariknya muncul ke permukaan, dan menyebarkan sensasi mati rasa ke sepenjuru tubuh.

Suara tersangkut di tenggorokkan, seolah terkunci di pangkal lidah, dan membekukan bibir dalam bungkam.

Insting purba memanggil, memaksa kata agar tak surut oleh kehampaan, mendorong, merongrong, meminta diwujudkan dalam suara. Alivia menjerit. Kencang. Pilu. Teramat menyedihkan. Jeritan ketidakberdayaan.

Tidak ada yang sanggup menolong Alivia dari kelam si makhluk. Dia berusaha melawan saat tangan-tangan sedingin es mencengkeram dan membawanya jauh dari meja makan. Teriakan Eru terasa bak ilusi. Maya. Tidak nyata. Suara gelas dan piring pecah mengisi simponi kekacauan. Alivia ditarik menjauh ... pergi meninggalkan Eru.

Makhluk itu membawa Alivia melintasi lorong, berbaris lukisan, wajah-wajah pelayan yang hening, dan menuju ruang tak berpenghuni. Teramat kasar Alivia dilempar hingga pinggulnya membentur sisi ranjang. Rasa sakit menyebar, tangis ranpa suara muncul, dan Alivia terbakar benci. Ditatapnya si makhluk yang melayang, hening, kosong. Kemudian makhluk itu mengabaikan Alivia, ia melayang melewati pintu yang langsung tertutup rapat begitu Alivia bermaksud hengkang.

Ruangan tanpa jendela. Batu cahaya berpendar terang dengan rona merah bercampur oranye. Setiap kali Alivia mencoba mengehela napas, ia bisa mencium aroma lilac—terlampau wangi, hampir-hampir terasa pahit di lidah. Pinggulnya berdenyut, sakit, nyeri.

Alivia tidak ingin mati.

Mati yang menyedihkan.

Setidaknya Alivia menginginkan kematian sebagai salah satu kondisi yang tidak memprihatinkan. Bila harus mati, ia harus mati setelah berjuang. Dengan seluruh daya serta darah yang mengalir di tubuh, akan ia pastikan Shesha dan vampir mana pun yang bermaksud menyentuhnya mati.

Kematian tanpa pengampunan.

Alivia berusaha membuka pintu. Benda itu tidak menunjukkan tanda-tanda bersedia memenuhi permintaan Alivia. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu. Kesempatan. Dia bisa mendapatkannya. Malam itu, ketika ia melukai lycan, telah ia serahkan hidupnya kepada Sang Malam. Kali ini, dia tidak keberatan menyerahkan nyawa demi satu peluang.

Derap langkah kaki.

Terdengar.

Segera Alivia menjauhi pintu, menanti kehadiran Shesha.

Tetapi, begitu pintu terbuka, bukan Shesha yang datang. Dua pelayan menghampiri Alivia. “Kami akan mempersiapkanmu,” kata salah satu dari mereka.

“Mempersiapkanku? Untuk apa?” Alivia mencoba menemukan celah, namun kedua pelayan kian rapat menutupi jalan pelarian.

Pelayan berambut cokelat meraih tangan Alivia, sama sekali tidak peduli ketidaknyamanan si manusia. Dengan cekatan ia melepas simpul gaun, kemudian rekannya pun membantu memasangkan gaun merah darah ke tubuh Alivia. Keduanya sibuk mendandani Alivia, abai pada kilat belati yang jatuh di dekat kaki Alivia. Dalam hati Alivia berdoa agar keduanya tidak menyadari senjata yang sengaja Alivia tendang hingga berada di luar ruangan.

“Biarkan aku merapikan rambutmu,” kata si pelayan berambut hitam. Dia mendudukkan Alivia di depan meja rias. Dengan cekatan ia merapikan setiap helai rambut Alivia hingga membentuk gelombang merah seindah laut di kala senja. Bibir Alivia dimerahkan, perona merah muda dibubuhkan di kedua pipinya, kemudian keduanya menaburkan bubuk emas.

Sudut mata Alivia sibuk memperhatikan pintu yang tidak dikunci. Peluang. Tidak ada kesempatan lain. Tangan Alivia meraih sisir emas, dirabanya ujung gagangnya yang runcing. Ketika si pelayan berambut hitam bermaksud memasangkan tiara, Alivia bangkit dan menghunjamkan ujung sisir ke mata kanan pelayan. Darah pekat membasahi tangan Alivia. Wanita itu mundur, teriakan bercampur erangan memekakkan telinga, dan darah merah mengucur membasahi permadani. Kawannya memamerkan taring, kali ini Alivia memilih menghindar dan lari. Belati yang awalnya ingin ia ambil pun terpaksa ditinggalkan. Alivia tidak memiliki banyak waktu. Prioritasnya kali ini ialah melarikan diri.

Wanita itu terus mengejar, ke mana pun Alivia pergi. Ketika terdesak, Alivia memilih meraih pedang yang dipasang sebagai hiasan dinding. Kemudian, dia masuk ke salah satu kamar dan bersembunyi di samping pintu. Degup jantung bertalu, seiring keringat yang menetes di pelipis. Alivia merasakan kehadiran wanita itu yang kian mendekat. Entah dhampir ataupun kelas bawahan, vampir ini jelas bisa membaui aroma manusia. Bisa Alivia rasakan derap langkah kian mendekat.

Hanya sekali. Satu kesempatan.

Alivia menunggu. Dia tidak ingin membuang peluang. Langkah kaki. Satu, dua, tiga ... Alivia menebas. Garis merah menghias leher si perempuan. Garis merah. Teramat terang. Mengalirkan darah. Vampir itu menyentuh leher. Berusaha bernapas, namun Alivia tak rela memberi kesempatan. Segera dihunusnya pedang, menembus jantung, kemudian tubuh pun tumbang.

Mayat. Memeluk. Pedang. Dalam derita.

Terengah-engah Alivia menyaksikan genangan darah. Dia tidak ingin membunuh ... dahulu kala, ia pikiran menghabisi yang bernyawa tidak melintas dalam kepalanya. Tetapi kini, di antara nyawa miliknya dan vampir, ia lebih memilih kehidupan dan menyerahkan kematian kepada siapa pun yang ingin melukainya.

“Eru,” katanya. “Eru!”

Tanpa arah pasti Alivia berlari menyusuri lorong. Setiap ruang terasa sama dan tiada bedanya. Dia meraih apa pun yang mungkin mengantarnya menemui Eru, namun hanya ada pemandangan mewah; furnitur mahal, buku-buku bersampul kulit, dan di saat terakhir—ketika ia hampir menyerah—ia menemukan ruang lain. Lain, yang berbeda dari sebelumnya.

Kurungan setinggi langit-langit tampak aneh di ruang yang didominasi emas dan nuansa merah. Jeruji besi mengelilingi sosok yang tengah membelakangi Alivia. Tubuh ramping, bekas luka di sepanjang punggung, dan begitu sosok itu berbalik, Alivia mengenalinya sebagai lycan yang bertarung di Santuarium.

“Kau ... kau petarung di Santuarium.”

Pria itu menelengkan kepala. “Mainan Shesha?”

“Aku bukan mainannya!”

“Kalau begitu kau sial sekali, ya?”

Kedua tangan Alivia terkepal, rasa marah berdentam-dentam memaksa dipuaskan. Dia tidak datang sejauh ini untuk hal sia-sia. Kesempatan lain. Lelaki ini ialah, kesempatan yang Sang Malam berikan kepada Alivia. “Bantu aku,” katanya. “Kumohon.”

“Apa yang kauinginkan?”

“Tolong selamatkan temanku. Kau bisa mengalahkan Shesha.”

Pria itu tertawa, teramat sinis. “Lihat leherku,” katanya. “Aku terikat.”

“Katakan kepadaku. Cara membebaskanmu.”

“Mudah saja.” Dia meregangkan tubuh, kemudian berujar, “Olesi dengan darah vampir.”

“Kalau semudah itu kenapa tidak kaulakukan sendiri? Kau memiliki banyak kesempatan membunuh mereka.”

“Tidak bisa, Sayang. Mantranya melarangku membunuh vampir mana pun.”

Alivia teringat darah vampir yang pertama kali ia serang. “Kalau aku menolongmu,” kata Alivia, gugup. “Berjanjilah kau akan menolong temanku.”

“Hei, lycan tidak pernah ingkar janji. Kami bukan lintah yang gemar mempermainkan makhluk lain.”

Sebenarnya Alivia bermaksud mendebat, namun ia mengurungkan niat. Segera ia menghampiri kurungan, satu tangannya terulur melewati jeruji, kemudian jemarinya menyentuh segel yang mengurung lycan tersebut.

Suara patah terdengar, kemudian benda yang melingkari leher pria itu pun hancur. “Akhirnya....”

“Janjimu,” Alivia menuntut.

“Sayang, aku selalu menepati janjiku. Nah, sekarang tolong mundur.”

Alivia mematuhi perintah si lycan. Pria itu mencengkeram jeruji dan dengan mudahnya menciptakan jalan keluar.

“Sekarang. Saatnya balas dendam.”

***

Diterbitkan pada 5 Oktober 2019.

***

Hai teman-teman. :) Semoga bab kali ini cukup memuaskan. Huhuhu, ^_^’’ dengan kemampuan saya yang payah dan pas-sangat-pas-pasan ini, saya berharap teman-teman menikmati bab ini. Hohohoho. Saya sangat senang dan bersyukur atas perhatian dan waktu yang teman-teman luangkan untuk karya saya. Terima kasih, teman-teman.

Salam hangat,

G.C

Nocturne (SELESAI)Where stories live. Discover now