Saat mama hendak menyalakan mobil, tiba-tiba pintu mobil diketuk Dewa dari luar. Membuat mama kembali turun dari mobil sedangkan aku dan Gita menunggu di dalam.
Terlihat Dewa dan mama tengah membicarakan sesuatu. Membuat aku bertanya-tanya dalam hati, mengapa Dewa mengejar kami?

Aku mengerjap bingung, saat Dewa tiba-tiba sudah duduk di kursi kemudi menggantikan mama. Sedangkan mama sudah duduk di kursi belakang bersama Gita.

“Lho, Mas Dewa ngapain?” tanyaku dengan kening berkerut.

“Saya mau nganterin kamu ke Bandung, Pitaloka,” jawab Dewa santai. Membuatku memelototkan mata kaget. “Eh, tapi, Mas—“

“Mama tadi juga udah ngelarang tapi bos kamu maksa,” jelas mama pasrah.

“Aduh, harusnya Mas Dewa nggak usah repot-repot. Beberapa hari ini saya udah ngerepotin Mas Dewa, saya jadi nggak enak.”

“Nggak papa, Pitaloka. Ini kemauan saya sendiri, kok. Nggak mungkin saya biarin Mama kamu bolak balik nyetir. Kalo saya bisa bantu, kenapa tidak?”

Aku menggigit bibir bawahku menahan senyum. Dadaku rasanya menghangat, sungguh aku suka perhatian Dewa saat ini. Bahkan, pria itu sampai memikirkan mama.
Aku mengembuskan napas pelan untuk menetralisir perasaanku yang bergelora. “Makasih, Mas.”

Dewa melirikku sebentar sebelum kembali fokus ke arah depan. “ Sama-sama, Pitaloka,” ujarnya seraya tersenyum manis. Senyuman yang sontak membuat debar jantungku semakin menggila. Dasar lemah! Disenyumin aja luluh!

Kemudian di antara kami hanya ada keheningan. Sedangkan mama dan Gita kompak tertidur di kursi belakang. Sepertinya mereka berdua benar-benar lelah. Untunglah Dewa menawarkan diri untuk mengantar, karena jika mama yang menyetir pasti wanita tersayangku benar-benar kelelahan dan bisa jatuh sakit. Jika hal itu benar-benar terjadi, aku pasti akan menyalahkan diriku sendiri.

Sebab bosan pada keheningan yang memenjara, aku pun membuka snack yang kemarin dibelikan oleh Agnia di salah satu supermarket di Bali dan mulai memakannya. Tadinya aku ingin tidur tapi mataku tak mau terpejam, mungkin karena aku sudah banyak tidur di pesawat. Mau menyalakan radio, tapi takut menganggu tidur mama dan Gita.

Aku berdeham kecil. “Mas Dewa mau?” tanyaku basa basi karena tidak enak makan sendiri.

Dewa melirikku sebentar sebelum mengangguk pelan. “Boleh,” jawabnya.

“Mau keripik kentang atau keripik tempe?”

Dewa terdiam cukup lama, sepertinya sedang berpikir. “Tempe aja kalo ada,” jawab pria itu akhirnya.

Aku mengangguk paham, kemudian membuka bungkus snack keripik tempe yang Dewa minta. Aku segera memberikannya pada Dewa setelah bungkus keripik tersebut terbuka sempurna. “Nih, Mas!”

“Suap, Pitaloka! Saya lagi nyetir.”

Sontak perkataan Dewa membuat aku tersentak kaget. Gila, suap katanya. S-U-A-P!

Aku meneguk ludah kasar, lalu dengan tangan yang sedikit gemetar segera menyuap sebuah keripik ke mulut Dewa yang langsung dikunyah oleh pria itu.

“Kamu asli Bandung?” tanya Dewa setelah keripik yang ada di mulut pria itu habis.

Aku menyuapkan keripik lagi ke mulut Dewa. “Nggak. Mama saya asli orang Solo tapi pas nikah pindah ke Jakarta. Jadi, saya lahir dan masa kecilnya juga di Jakarta," jelasku.

“Kok, bisa tinggal di Bandung?”

“Saya pindah ke sana pas lulus SMP. Tapi pas kelas 2 SMA saya balik lagi, kok, ke Jakarta. Waktu itu saya ngekos di rumah Ayu,” jelasku singkat karena aku tidak mungkin menceritakan pada Dewa apa yang sebenarnya terjadi pada keluargaku.

Dewa mengangguk mengerti. Seolah tahu aku enggan membahas tentang ini, pria itu segera berganti topik. “Terus gimana bisa kamu kenal Pak Daniel?”

“Pak Daniel?” tanyaku seraya mengerutkan dahi. “Oh, maksudnya ka Jendra, ya?” lanjutku setelah paham siapa ‘Pak Daniel’ yang dimaksud Dewa.

Dewa hanya mengangguk sekilas sebagai jawaban. Namun, dari tatapan matanya yang tajam, kentara sekali jika ia tengah menunggu sebuah jawaban.

“Saya dulu adik kelasnya ka Jendra waktu SMP. Rumah kami dulu juga sebelahan. Jadi, dulu sering berangkat dan pulang sekolah bareng, eh, lama-lama jadi deket.” Aku terbahak. “Tapi setelah lulus SMP dan saya pindah ke Bandung, saya udah nggak pernah kontakan lagi sama ka Jendra. Bahkan, rapat waktu itu adalah pertemuan pertama kami setelah SMP itu.”

“Kamu langsung inget cowok yang kamu temuin pas SMP, tapi malah nggak inget sama cowok yang kamu temuin di New York tiga tahun lalu,” lirih Dewa seraya membunyikan klakson. Membuat aku tidak begitu mendengar apa yang baru saja dikatakan pria itu. Apalagi perkataan Dewa sangat pelan seperti gumaman.

“Kenapa, Mas?”

Dewa berdecak. “Seret. Saya mau minum, Pitaloka. Makanya kalo diajak ngomong itu fokus. Kalo kamu begini saat rapat, bisa-bisa ke-professionalan kamu diragukan banyak orang.”

Aku melongo. Ini Dewa punya bipolar apa gimana, sih?! Kenapa sifatnya cepat sekali berubah? Apa jangan-jangan Dewa betulan siluman bunglon? Dasar menyebalkan!

Lagi pula aku yakin, apa yang diomongin Dewa tadi bukan soal minta minum. Walau aku tidak mendengar begitu jelas perkataan pria itu, tapi sepertinya aku mendengar kata New York.

Tapi memangnya, ada apa dengan New York?

Dengan kasar aku membuka tutup botol air mineral dan memberikannya pada Dewa. Kali ini tidak ada drama suap-suapan, karena kalau bisa aku ingin mengguyur saja wajah Dewa dengan air mineral yang tengah cowok itu minum.

Dasar bos kampret!

***

Oh, ya, hari ini Sa publish cerita baru judulnya Don't be Afraid.  Kalian jangan lupa mampir, ya!

Trapped  (Terbit) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang